Salam Sejahtera Bagi Kita Semua bagi sahabat Sumber Doa, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul KRONIK COVID-19 INTERNASIONAL (Bagian 2), kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Kronik Covid-19 Internasional, Artikel Lockdown loneliness, Artikel Social Bubble, Artikel Travel Bubble, yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.
Ikuti juga Kronik Covid-19 Internasional (Bagian 1)
28 Juli 2020
BAYANGKAN, JIKA KITA HARUS MENUNGGU VAKSIN COVID-19 SAMPAI 5 TAHUN!
Saya awali dengan kutipan penggalan berita mutakhir (27 Juli 2020) berikut ini:
"U.S. drugmaker Pfizer and German biotech BioNTech said they began their late-stage human trial for a potential coronavirus vaccine as pharmaceutical companies race to win regulatory approval.
The trial will include up to 30,000 participants between the ages of 18 and 85 across 120 sites globally, including 39 U.S. states, the companies announced. If successful, they expect to submit it for final regulatory review as early as October. They plan to supply up to 100 million doses by the end of 2020 and approximately 1.3 billion doses by the end of 2021."
https://www.cnbc.com/2020/07/27/coronavirus-live-updates.html
Bayangkan, berapa tahun dibutuhkan untuk seluruh dunia (8 milyar orang) dapat divaksinasi jika, sebagai contoh saja, dua perusahaan obat yang dirujuk dalam kutipan di atas (Pfizer Amerika dan BioNTech Jerman) hanya bisa hasilkan 1,3 milyar dosis pada akhir 2021.
Jika nanti ternyata, satu orang butuh 2 shot (2 dosis suntikan) untuk menghasilkan imunitas humoral yang protektif kuat, berarti dosis yang dibutuhkan jadi dobel, 16 milyar dosis.
Jadi, kapan pandemi Covid-19 bisa diakhiri lewat vaksinasi? Ya, mungkin butuh waktu minimal sampai 5 tahun. Ini tantangan dan masalah besar bagi dunia. Big big challenges and problems! Heavy suffering! Penderitaan berat!
Makin banyak jenis vaksin yang aman dan efektif dikembangkan dan diproduksi, dan makin banyak pabrik obat besar yang terlibat dalam produksi vaksin, makin cepat pandemi Covid-19 global dapat diakhiri. Persaingan yang sehat dan cerdas harus ada, supaya hanya vaksin-vaksin unggulan yang nanti akan digunakan. Vaksin-vaksin abal-abal tak akan bisa kompetitif.
Selain itu, vaksin-vaksin juga harus dijual tanpa profit, harus tidak dijual ke para penawar dengan harga tertinggi!
Hak cipta dan kekayaan intelektual dalam menghasilkan test-test diagnostik, obat-obat dan vaksin-vaksin tetap harus dipertahankan dan diakui, tetapi tidak boleh digunakan untuk memonopoli dan meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dunia sedang dalam pandemi. Vaksin-vaksin perlu menjadi "global public goods". WHO mungkin lembaga dunia yang berada di garis depan dalam menetapkan kriteria pemanfaatan vaksin-vaksin dengan adil, merata, murah dan tersedia untuk semua orang dalam dunia.
https://www.indiachinainstitute.org/2020/07/09/the-use-and-abuse-of-global-public-good
Namun, apakah para kapitalis Barat yang membiayai pabrik-pabrik obat yang memproduksi vaksin-vaksin, dengan biaya yang luar biasa besar, mau menjual vaksin-vaksin tanpa profit, dus mereka menjadi para sosialis? Susah menjawabnya.
Selain itu, meski tanpa profit pun, berhubung biaya produksi sudah sangat tinggi (karena metode-metode baru yang pertama kali dicoba dalam percepatan pengembangan dan produksi vaksin-vaksin), harga jual modal pun sudah akan tinggi untuk vaksin-vaksin Barat!
Apalagi, Donald Trump, terkait obat-obatan dan vaksin-vaksin Covid-19, menjalankan politik "America First". Pokoknya, buat negaranya dulu, tak peduli dengan negara-negara lain. China menyebut politik ini "selfish". Politik keserakahan, ketamakan, tanpa kepeduliaan pada kebutuhan negara-negara lain, khususnya negara-negara miskin dan belum berkembang.
Kita sudah tahu, dalam program penyediaan vaksin, Trump menjalankan "Operation Warp Speed", yakni penyediaan vaksin-vaksin dalam jumlah besar dan dalam waktu cepat untuk 300 juta orang Amerika. Minimal, AS telah mendanai proyek pengembangan dan produksi 5 vaksin yang potensial.
Pabrik-pabrik obat dan lembaga-lembaga universitas yang ikut dalam perlombaan vaksin telah dibayar di muka oleh Trump. Sejumlah 2 milyar USD telah dibayar AS ke Pfizer dan BioNTech untuk 100 juta dosis vaksin Covid-19 yang akan dikirim ke AS Desember 2020, meski uji klinis tahap akhir saat ini belum selesai.
Dalam dengar pendapat Kongres, Selasa, 21 Juli 2020, Representatif Frank Falone menyatakan bahwa dia khawatir Trump dapat memaksa FDA AS untuk meng-approve dengan prematur suatu vaksin. Katanya, "Aku takut, FDA akan dipaksa Trump Administration untuk menyetujui suatu vaksin yang tidak mempunyai efektivitas."
https://www.aljazeera.com/amp/ajimpact/pay-pfizer-biontech-2bn-covid-19-vaccines-200722130058951.html
Well, kita lebih berharap banyak pada pemerintah Indonesia sendiri, kalau menyangkut ketersediaan vaksin-vaksin Covid-19 yang dapat lebih dipercepat.
Kemitraan RI dan Sinovac Biotech, China, yang memproduksi vaksin CoronaVac (vaksin terinaktivasi, dengan metode yang sudah lama teruji, yang kini sedang uji klinis tahap III di sejumlah negara), adalah suatu langkah yang dapat mengatasi tantangan dan masalah besar Indonesia terkait vaksin-vaksin Covid-19.
"Kasus positif terinfeksi di Indonesia sudah tembus 100.000, dan masih akan terus menanjak. The worst has not come yet!"
☆ ioanes rakhmat
28 Juli 2020
________________________
26 Juli 2020
NONA CORONA TIDAK MENGHARGAI BATAS-BATAS NEGARA. AKIBATNYA, KASUS GLOBAL KINI SUDAH TEMBUS 16.000.000
"Virus SARS-CoV-2 tidak menghargai batas-batas negara."
• Tedros Adhanom Ghebreyesus (direktur umum WHO)
"Virus menyeberangi batas-batas negara. Jadi, betapa cetek pandangan seseorang jika dia berpikir bahwa aku akan vaksinasi rakyatku tapi setiap orang lain aku tinggalkan tanpa vaksinasi, dan kami tetap akan aman. Ini betul-betul tak masuk akal."
• Jagan Chapagain (kepala IFRC)
"Kecuali suatu vaksin tersedia untuk setiap negara, maka Covid-19 akan menjadi suatu ancaman global yang tak pernah berakhir."
• Jeremy Farrar (The Guardian)
"Setiap pandemi tidak mengenal batas-batas negara."
• Deborah Wetzel (Worldbank.org)
Ya, semua pernyataan di atas betul. Virus SARS-CoV-2 hari ini, Minggu 26 Juli 2020, sudah menginfeksi tembus 16.000.000 orang di dunia, tanpa dapat dikurung dalam batas-batas satu atau dua negara saja. Lockdown tanpa protokol pencegahan penularan dilaksanakan dengan ketat, hanya ditertawakan si Nona Corona.
Penularan global bukan makin lambat, tapi makin dipercepat. Lima negara teratas dalam jumlah kasus kini mencakup AS, Brazil, India, Russia, dan Afrika Selatan. Lihat gambar di bawah ini.
Yang paling berat terdampak di dunia justru negara sangat maju Amerika Serikat. Sabtu, 25 Juli 2020, total kasus mencapai 4.178.730, dengan jumlah total kematian 146.463 orang. Kasus baru per 25 Juli di sana mencapai jumlah yang semakin tinggi, yakni 73.715, dengan rerata kasus baru dalam 5 hari terakhir (21-25 Juli) mencapai 71.107. Prediksi Dr. Anthony Fauci bahwa kasus harian Amerika akan mencapai 100.000 tampaknya akan terbukti benar.
"Hanya lewat kerjasama dan kemitraan global jangka pendek dan jangka panjang, pandemi Covid-19 akan dapat ditanggulangi, dengan memakai senjata pamungkas vaksin-vaksin yang aman dan terbukti efektif. Katakan tidak pada politisasi vaksin."
☆ ioanes rakhmat
Minggu, 26 Juli 2020
_________________________________
22 Juli 2020
DI TINGKAT GLOBAL, CORONAVIRUS MENULAR MAKIN CEPAT....
Di tingkat global, tak ada tanda yang menunjukkan pelambatan penularan coronavirus. Sebaliknya, yang sedang terjadi adalah virus ini makin cepat menular.
"Setelah kasus pertama Covid-19 dilaporkan di Wuhan, China, pada awal Januari 2020, dibutuhkan waktu 15 minggu untuk mencapai jumlah jasus 2 juta. Kontras dengan itu, diperlukan waktu cuma 8 hari untuk kasus melonjak di atas 15 juta dari sebelumnya 13 juta yang dicapai pada 13 Juli."
Data kasus positif Covid-19 pilihan per 22 Juli 2020, pk. 06:24 PM
Global 15.140.922
USA 4.028.684
Brazil 2.159.654
India 1.195.676
Russia 789.190
Indonesia 91.751
Mesir 89.078
China 85.314
Swedia 78.166
Singapura 48.744
Korsel 13.879
Jepang 25.736
Malaysia 8.831
Thailand 3.261
Vietnam 401
Kamboja 197
N.B. Perhatikan data Indonesia. Kasus positif terus menanjak cepat, kini, 22 Juli 2020, telah mencapai 91.751 kasus. Tetapi BNPB tetap yakin bahwa mereka sudah berada pada jalur yang benar dalam menanggulangi epidemi Covid-19. Fakta dan keyakinan tidak bertemu.
"Nona Corona tampil juara balap. Hati-hati, lengah sedikit, digilas olehnya!"
☆ ioanes rakhmat
22 Juli 2020
https://www.haaretz.com/israel-news/EXT-INTERACTIVE-coronavirus-tracker-israel-world-updates-real-time-statistics-covid-19-cases-deaths-1.8763410
https://mobile.reuters.com/article/amp/idUSKCN24N0KK
__________________________________
21 Juli 2020
DUNIA SEDANG HADAPI TANTANGAN BERAT TERKAIT VAKSIN COVID-19
Para peneliti menemukan bahwa untuk mendapatkan suatu imunitas yang protektif, setiap orang memerlukan dua kali suntikan vaksin Covid-19, dan setelah menerima dua suntikan ini mereka harus menunggu beberapa minggu sampai antibodi yang bekerja efektif terbentuk dalam sistem-sistem imun mereka. Jika mereka tidak mau menunggu, mereka tetap rentan terinfeksi SARS-CoV-2 meski sudah menerima vaksinasi.
THE WORLD IS FACING BIG CHALLENGES. Researchers find that to have a protective immunity, every person needs TWO SHOTS of Covid-19 vaccine, and after the shots they should wait for several weeks until working antibodies are generated in their immune systems. If they don't want to wait, they are still susceptible to SARS-CoV-2 infection even though they have been vaccinated.
https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-07-20/double-shot-covid-vaccine-tests-raise-new-pandemic-challenge
https://indianexpress.com/article/coronavirus/double-shot-covid-19-vaccine-tests-6516049/
_______________________________
ANTARA "MUKJIZAT" dan FAKTA COVID-19 DI AS KETIKA TRUMP MULAI MELAKUKAN SENSOR DATA
17 Juli 2020
MIRACLES ARE HAPPENING in the U.S. as CDC's Covid-19 data rerouted to Trump's hands, being interfered and censored.
Mukjizat sedang terjadi di AS saat pengelolaan data Covid-19 CDC AS sudah diambil alih oleh Trump. Dicampuri dan disensor.
16 Juli 2020
Kasus baru 73.388
17 Juli 2020
Kasus baru 2.293
Penurunan drastis jumlah kasus baru dalam satu hari dari 73.388 ke 2.293, bukankah suatu mukjizat yang telah dilakukan Trump?
TAPI, TAK ADA MUKJIZAT DI AS. Berikut ini data Covid-19 yang paling mungkin autentik, yang diterima langsung oleh Johns Hopkins University dari negara-negara bagian, tanpa campur tangan dan sensor si Trump. Sejauh ini.
17 Juli 2020
Kasus baru aktual 77,255
13-17 Juli 2020
Rata-rata kasus dalam 5 hari terakhir
70,667.
NO MIRACLE IN THE US.
Here is the Covid-19 data from Johns Hopkins University, without Trump's interference and censorship, so far.
July 17, 2020
New cases actual data
77,255
13-17 July 2020
Average new cases
70,667
Di bawah ini kotak-kotak grafik negara-negara bagian AS yang menggambarkan tren pertambahan dan tren pengurangan kasus-kasus baru per 17 Juli 2020. Semakin merah, tren pertambaham kasus-kasus baru semakin besar. Semakin hijau, semakin besar tren pengurangan kasus-kasus baru.
Kotak-kotak termerah mencakup Louisiana (LA), Florida (FL), Texas (TX), Alabama (AL), Tennesse (TN). Terlihat dua kotak grafik hijau muda: Arizona (AZ) dan Delaware (DE).
Tampak, wabah Covid-19 sedang menyerang lebih kuat lagi di seluruh Amerika. Tapi Trump dan para politikus lingkaran dalamnya menyangkal fakta ini. Mereka tak bisa mengubah fakta epidemiologis ini. Jadilah mereka sekarang memainkan angka-angka data Covid-19 nasional sesuka mereka. CDC AS disingkirkan, tugas dan tanggungjawabnya diambil alih.
Dalam pidato singkatnya di Darby, Pennsylvania (17 Juni 2020), Joe Biden dari Partai Demokrat mengkritik Presiden Trump sebagai seorang (yang mengklaim diri) "Presiden perang" yang telah menyerah kalah total dalam pertempuran melawan Covid-19 dan telah meninggalkan banyak kerusakan. Tontonlah video berikut ini.
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/
https://coronavirus.jhu.edu/data/new-cases
About Trump's interference and censorship of CDC Covid-19 data, read this https://www.cnbc.com/amp/2020/07/16/us-coronavirus-data-has-already-disappeared-after-trump-administration-shifted-control-from-cdc-to-hhs.html.
"Ketika kepentingan politik masuk ke pengelolaan data Covid-19, maka rakyat makin banyak yang rentan terinfeksi dan terbunuh oleh SARS-CoV-2. Kasihan."
☆ ioanes rakhmat
17 Juli 2020
Pk. 23:50
____________________________
15 Juli 2020
SARS-CoV-2 VIRUS PATHOGEN YANG MENULAR LEWAT AEROSOL DALAM UDARA DAN BERTAHAN SAMPAI 16 JAM
Suatu eksperimen baru lewat instrumen penghasil aerosol (yang berdiameter 1-3 μm, sementara aerosol yang terbentuk natural berdiameter < 5μm) yang diberi muatan virus-virus (SARS-CoV-1, MERS-SARS, SARS-CoV-2) menghasilkan temuan ini: virus SARS-CoV-2 (yang lonjong dan yang bulat) dalam aerosol dapat mempertahankan kestabilan, kehidupan, kekuatan dan daya infeksinya sampai 16 jam (= 960 menit). Lihat gambar di bawah ini. Tap atau ketuk gambarnya, lalu zoom-in.
Eksperimen dijalankan dalam suhu ruangan 23°c, dengan tingkat kelembaban udara 53%, dan tanpa sumber sinar ultraviolet.
Alyssa C. Fears, William B. Klimstra, Paul Duprex,...., Chad J. Roy, "Persistence of Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 in Aerosol Suspensions", Emerging Infectious Diseases, CDC, Vol. 26, Number 9, September 2020, original publication date June 22, 2020.
https://wwwnc.cdc.gov/eid/article/26/9/20-1806-f1.
Penting diketahui bahwa parameter-parameter environmental juga memainkan peran dalam penularan lewat aerosol dalam udara. Suhu udara, kelembaban udara, cahaya Matahari, khususnya UVA dan UVB (sinar UVC tidak dapat mencapai permukaan Bumi), kepadatan penduduk di suatu wilayah, kecepatan gerak udara, tekanan udara, dan cuaca, dalam tingkat tertentu, berpengaruh pada penyebaran virus lewat udara.
Ini peringatan saya: Selama manusia masih bernafas, berbicara, bersin, batuk, bernyanyi, berteriak, tertawa, dan tidak memakai masker wajah, virus-virus SARS-CoV-2 mengapung di udara selamanya, selalu siap menginfeksi anda. Satu virus mati setelah 960 menit, virus-virus lain yang tak terhitung jumlahnya, muncul dan mengapung dalam aerosol di udara. Selalu begitu.
Anda jadi takut karena informasi ini? Tidak perlu. Jangan takut. Virus-virus, bukan bakteri, baik yang pathogenik maupun yang non-pathogenik, berada pada akar terdalam pohon evolusi biologis yang mulai berlangsung kurang lebih 3,4 milyar tahun lalu. "Virus-virus harus ditempatkan jauh di bawah pada akar pohon kehidupan."
Felix Broecker & Karin Moeling, "What viruses tell us about evolution and immunity: beyond Darwin?", Annals of the New York Academy of Sciences, 29 April 2019.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6850104/.
https://www.sciencealert.com/not-all-viruses-are-bad-for-you-here-are-some-that-can-have-a-protective-effect.
Virus-virus ada di mana-mana bersama dengan spesies-spesies lain sampai saat ini, dalam udara yang mengandung aerosol yang natural dan yang non-natural dan dalam tubuh inang-inang mereka. Lingkungan yang bebas virus tidak ada. Jadi, kita memerlukan proteksi dari virus-virus yang pathogenik sejak kita dilahirkan. Vaksin-vaksin yang efektif melindungi kita dari infeksi virus-virus yang berbahaya, sejak bunda-bunda kita memperanakkan kita.
https://www.kickstarter.com/projects/umsystems/uvmask-inactivate-9999-of-all-pathogens-and-air-pollutants.
Apa yang anda harus lakukan sekarang? Selalu pakai masker wajah kapan pun anda meninggalkan rumah anda. Dan buat udara indoor dalam rumah anda selalu bersirkulasi melalui ventilasi-ventilasi yang cukup, dan jaga untuk tetap segar, bersih, dan dimurnikan oleh filter-filter yang sangat efisien. Kita membutuhkan penggantian udara dan udara indoor yang dimurnikan dan difiltrasi, di tempat apapun (sebuah restoran, sebuah ruang rapat, sebuah kelas, sebuah rumah, sebuah kantor, dll) di lokasi manapun.
Langkah-langkah pencegahan untuk menghindari adanya aerosol yang bermuatan virus dalam udara indoor yang saya telah gambarkan ringkas di atas, sayangnya, akan sangat mahal.
"Kita semua kini sedang hidup dalam ruang-ruang dunia gawat darurat."
☆ ioanes rakhmat
15 Juli 2020
________________________________
12 Juli 2020
VIRUS DAPAT TAHAN BERAPA LAMA?
N.B. Lihat penelitian terbaru di atas, post 15 Juli 2020.
Telah diselidiki, jadi bukan sebuah opini asal bunyi, bahwa SARS-CoV-2 dapat berada stabil dalam aerosols ("droplet nuclei" dengan diameter <5μm) selama 3 jam di udara, dan pada permukaan bahan-bahan atau benda-benda padat ("fomites"): plastik hingga 3 hari, baja antikarat (stainless steel) hingga 2 hari, karton hingga 1 hari, dan tembaga hingga 4 jam. Perhatikan gambar di bawah ini. Tap atau ketuk gambarnya untuk mendapat ukuran besar, lalu zoom-in.
Sumber:
Neeltje van Doremalen, Trenton Bushmaker,..., Emmie de Wit, "Aerosols and Surface Stability of SARS-CoV-2 as compared with SARS-CoV-1", New England Journal of Medicine, 382: 1564-1567, April 16, 2020.
28 Juli 2020
BAYANGKAN, JIKA KITA HARUS MENUNGGU VAKSIN COVID-19 SAMPAI 5 TAHUN!
Saya awali dengan kutipan penggalan berita mutakhir (27 Juli 2020) berikut ini:
"U.S. drugmaker Pfizer and German biotech BioNTech said they began their late-stage human trial for a potential coronavirus vaccine as pharmaceutical companies race to win regulatory approval.
The trial will include up to 30,000 participants between the ages of 18 and 85 across 120 sites globally, including 39 U.S. states, the companies announced. If successful, they expect to submit it for final regulatory review as early as October. They plan to supply up to 100 million doses by the end of 2020 and approximately 1.3 billion doses by the end of 2021."
https://www.cnbc.com/2020/07/27/coronavirus-live-updates.html
Bayangkan, berapa tahun dibutuhkan untuk seluruh dunia (8 milyar orang) dapat divaksinasi jika, sebagai contoh saja, dua perusahaan obat yang dirujuk dalam kutipan di atas (Pfizer Amerika dan BioNTech Jerman) hanya bisa hasilkan 1,3 milyar dosis pada akhir 2021.
Jika nanti ternyata, satu orang butuh 2 shot (2 dosis suntikan) untuk menghasilkan imunitas humoral yang protektif kuat, berarti dosis yang dibutuhkan jadi dobel, 16 milyar dosis.
Jadi, kapan pandemi Covid-19 bisa diakhiri lewat vaksinasi? Ya, mungkin butuh waktu minimal sampai 5 tahun. Ini tantangan dan masalah besar bagi dunia. Big big challenges and problems! Heavy suffering! Penderitaan berat!
Makin banyak jenis vaksin yang aman dan efektif dikembangkan dan diproduksi, dan makin banyak pabrik obat besar yang terlibat dalam produksi vaksin, makin cepat pandemi Covid-19 global dapat diakhiri. Persaingan yang sehat dan cerdas harus ada, supaya hanya vaksin-vaksin unggulan yang nanti akan digunakan. Vaksin-vaksin abal-abal tak akan bisa kompetitif.
Selain itu, vaksin-vaksin juga harus dijual tanpa profit, harus tidak dijual ke para penawar dengan harga tertinggi!
Hak cipta dan kekayaan intelektual dalam menghasilkan test-test diagnostik, obat-obat dan vaksin-vaksin tetap harus dipertahankan dan diakui, tetapi tidak boleh digunakan untuk memonopoli dan meraih keuntungan sebesar-besarnya. Dunia sedang dalam pandemi. Vaksin-vaksin perlu menjadi "global public goods". WHO mungkin lembaga dunia yang berada di garis depan dalam menetapkan kriteria pemanfaatan vaksin-vaksin dengan adil, merata, murah dan tersedia untuk semua orang dalam dunia.
https://www.indiachinainstitute.org/2020/07/09/the-use-and-abuse-of-global-public-good
Namun, apakah para kapitalis Barat yang membiayai pabrik-pabrik obat yang memproduksi vaksin-vaksin, dengan biaya yang luar biasa besar, mau menjual vaksin-vaksin tanpa profit, dus mereka menjadi para sosialis? Susah menjawabnya.
Selain itu, meski tanpa profit pun, berhubung biaya produksi sudah sangat tinggi (karena metode-metode baru yang pertama kali dicoba dalam percepatan pengembangan dan produksi vaksin-vaksin), harga jual modal pun sudah akan tinggi untuk vaksin-vaksin Barat!
Apalagi, Donald Trump, terkait obat-obatan dan vaksin-vaksin Covid-19, menjalankan politik "America First". Pokoknya, buat negaranya dulu, tak peduli dengan negara-negara lain. China menyebut politik ini "selfish". Politik keserakahan, ketamakan, tanpa kepeduliaan pada kebutuhan negara-negara lain, khususnya negara-negara miskin dan belum berkembang.
Kita sudah tahu, dalam program penyediaan vaksin, Trump menjalankan "Operation Warp Speed", yakni penyediaan vaksin-vaksin dalam jumlah besar dan dalam waktu cepat untuk 300 juta orang Amerika. Minimal, AS telah mendanai proyek pengembangan dan produksi 5 vaksin yang potensial.
Pabrik-pabrik obat dan lembaga-lembaga universitas yang ikut dalam perlombaan vaksin telah dibayar di muka oleh Trump. Sejumlah 2 milyar USD telah dibayar AS ke Pfizer dan BioNTech untuk 100 juta dosis vaksin Covid-19 yang akan dikirim ke AS Desember 2020, meski uji klinis tahap akhir saat ini belum selesai.
Dalam dengar pendapat Kongres, Selasa, 21 Juli 2020, Representatif Frank Falone menyatakan bahwa dia khawatir Trump dapat memaksa FDA AS untuk meng-approve dengan prematur suatu vaksin. Katanya, "Aku takut, FDA akan dipaksa Trump Administration untuk menyetujui suatu vaksin yang tidak mempunyai efektivitas."
https://www.aljazeera.com/amp/ajimpact/pay-pfizer-biontech-2bn-covid-19-vaccines-200722130058951.html
Well, kita lebih berharap banyak pada pemerintah Indonesia sendiri, kalau menyangkut ketersediaan vaksin-vaksin Covid-19 yang dapat lebih dipercepat.
Kemitraan RI dan Sinovac Biotech, China, yang memproduksi vaksin CoronaVac (vaksin terinaktivasi, dengan metode yang sudah lama teruji, yang kini sedang uji klinis tahap III di sejumlah negara), adalah suatu langkah yang dapat mengatasi tantangan dan masalah besar Indonesia terkait vaksin-vaksin Covid-19.
"Kasus positif terinfeksi di Indonesia sudah tembus 100.000, dan masih akan terus menanjak. The worst has not come yet!"
☆ ioanes rakhmat
28 Juli 2020
________________________
26 Juli 2020
NONA CORONA TIDAK MENGHARGAI BATAS-BATAS NEGARA. AKIBATNYA, KASUS GLOBAL KINI SUDAH TEMBUS 16.000.000
"Virus SARS-CoV-2 tidak menghargai batas-batas negara."
• Tedros Adhanom Ghebreyesus (direktur umum WHO)
"Virus menyeberangi batas-batas negara. Jadi, betapa cetek pandangan seseorang jika dia berpikir bahwa aku akan vaksinasi rakyatku tapi setiap orang lain aku tinggalkan tanpa vaksinasi, dan kami tetap akan aman. Ini betul-betul tak masuk akal."
• Jagan Chapagain (kepala IFRC)
"Kecuali suatu vaksin tersedia untuk setiap negara, maka Covid-19 akan menjadi suatu ancaman global yang tak pernah berakhir."
• Jeremy Farrar (The Guardian)
"Setiap pandemi tidak mengenal batas-batas negara."
• Deborah Wetzel (Worldbank.org)
Ya, semua pernyataan di atas betul. Virus SARS-CoV-2 hari ini, Minggu 26 Juli 2020, sudah menginfeksi tembus 16.000.000 orang di dunia, tanpa dapat dikurung dalam batas-batas satu atau dua negara saja. Lockdown tanpa protokol pencegahan penularan dilaksanakan dengan ketat, hanya ditertawakan si Nona Corona.
Penularan global bukan makin lambat, tapi makin dipercepat. Lima negara teratas dalam jumlah kasus kini mencakup AS, Brazil, India, Russia, dan Afrika Selatan. Lihat gambar di bawah ini.
Yang paling berat terdampak di dunia justru negara sangat maju Amerika Serikat. Sabtu, 25 Juli 2020, total kasus mencapai 4.178.730, dengan jumlah total kematian 146.463 orang. Kasus baru per 25 Juli di sana mencapai jumlah yang semakin tinggi, yakni 73.715, dengan rerata kasus baru dalam 5 hari terakhir (21-25 Juli) mencapai 71.107. Prediksi Dr. Anthony Fauci bahwa kasus harian Amerika akan mencapai 100.000 tampaknya akan terbukti benar.
"Hanya lewat kerjasama dan kemitraan global jangka pendek dan jangka panjang, pandemi Covid-19 akan dapat ditanggulangi, dengan memakai senjata pamungkas vaksin-vaksin yang aman dan terbukti efektif. Katakan tidak pada politisasi vaksin."
☆ ioanes rakhmat
Minggu, 26 Juli 2020
_________________________________
22 Juli 2020
DI TINGKAT GLOBAL, CORONAVIRUS MENULAR MAKIN CEPAT....
Di tingkat global, tak ada tanda yang menunjukkan pelambatan penularan coronavirus. Sebaliknya, yang sedang terjadi adalah virus ini makin cepat menular.
"Setelah kasus pertama Covid-19 dilaporkan di Wuhan, China, pada awal Januari 2020, dibutuhkan waktu 15 minggu untuk mencapai jumlah jasus 2 juta. Kontras dengan itu, diperlukan waktu cuma 8 hari untuk kasus melonjak di atas 15 juta dari sebelumnya 13 juta yang dicapai pada 13 Juli."
Data kasus positif Covid-19 pilihan per 22 Juli 2020, pk. 06:24 PM
Global 15.140.922
USA 4.028.684
Brazil 2.159.654
India 1.195.676
Russia 789.190
Indonesia 91.751
Mesir 89.078
China 85.314
Swedia 78.166
Singapura 48.744
Korsel 13.879
Jepang 25.736
Malaysia 8.831
Thailand 3.261
Vietnam 401
Kamboja 197
N.B. Perhatikan data Indonesia. Kasus positif terus menanjak cepat, kini, 22 Juli 2020, telah mencapai 91.751 kasus. Tetapi BNPB tetap yakin bahwa mereka sudah berada pada jalur yang benar dalam menanggulangi epidemi Covid-19. Fakta dan keyakinan tidak bertemu.
"Nona Corona tampil juara balap. Hati-hati, lengah sedikit, digilas olehnya!"
☆ ioanes rakhmat
22 Juli 2020
https://www.haaretz.com/israel-news/EXT-INTERACTIVE-coronavirus-tracker-israel-world-updates-real-time-statistics-covid-19-cases-deaths-1.8763410
https://mobile.reuters.com/article/amp/idUSKCN24N0KK
__________________________________
21 Juli 2020
DUNIA SEDANG HADAPI TANTANGAN BERAT TERKAIT VAKSIN COVID-19
Para peneliti menemukan bahwa untuk mendapatkan suatu imunitas yang protektif, setiap orang memerlukan dua kali suntikan vaksin Covid-19, dan setelah menerima dua suntikan ini mereka harus menunggu beberapa minggu sampai antibodi yang bekerja efektif terbentuk dalam sistem-sistem imun mereka. Jika mereka tidak mau menunggu, mereka tetap rentan terinfeksi SARS-CoV-2 meski sudah menerima vaksinasi.
THE WORLD IS FACING BIG CHALLENGES. Researchers find that to have a protective immunity, every person needs TWO SHOTS of Covid-19 vaccine, and after the shots they should wait for several weeks until working antibodies are generated in their immune systems. If they don't want to wait, they are still susceptible to SARS-CoV-2 infection even though they have been vaccinated.
https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-07-20/double-shot-covid-vaccine-tests-raise-new-pandemic-challenge
https://indianexpress.com/article/coronavirus/double-shot-covid-19-vaccine-tests-6516049/
_______________________________
ANTARA "MUKJIZAT" dan FAKTA COVID-19 DI AS KETIKA TRUMP MULAI MELAKUKAN SENSOR DATA
17 Juli 2020
MIRACLES ARE HAPPENING in the U.S. as CDC's Covid-19 data rerouted to Trump's hands, being interfered and censored.
Mukjizat sedang terjadi di AS saat pengelolaan data Covid-19 CDC AS sudah diambil alih oleh Trump. Dicampuri dan disensor.
16 Juli 2020
Kasus baru 73.388
17 Juli 2020
Kasus baru 2.293
Penurunan drastis jumlah kasus baru dalam satu hari dari 73.388 ke 2.293, bukankah suatu mukjizat yang telah dilakukan Trump?
TAPI, TAK ADA MUKJIZAT DI AS. Berikut ini data Covid-19 yang paling mungkin autentik, yang diterima langsung oleh Johns Hopkins University dari negara-negara bagian, tanpa campur tangan dan sensor si Trump. Sejauh ini.
17 Juli 2020
Kasus baru aktual 77,255
13-17 Juli 2020
Rata-rata kasus dalam 5 hari terakhir
70,667.
NO MIRACLE IN THE US.
Here is the Covid-19 data from Johns Hopkins University, without Trump's interference and censorship, so far.
July 17, 2020
New cases actual data
77,255
13-17 July 2020
Average new cases
70,667
Di bawah ini kotak-kotak grafik negara-negara bagian AS yang menggambarkan tren pertambahan dan tren pengurangan kasus-kasus baru per 17 Juli 2020. Semakin merah, tren pertambaham kasus-kasus baru semakin besar. Semakin hijau, semakin besar tren pengurangan kasus-kasus baru.
Kotak-kotak termerah mencakup Louisiana (LA), Florida (FL), Texas (TX), Alabama (AL), Tennesse (TN). Terlihat dua kotak grafik hijau muda: Arizona (AZ) dan Delaware (DE).
Tampak, wabah Covid-19 sedang menyerang lebih kuat lagi di seluruh Amerika. Tapi Trump dan para politikus lingkaran dalamnya menyangkal fakta ini. Mereka tak bisa mengubah fakta epidemiologis ini. Jadilah mereka sekarang memainkan angka-angka data Covid-19 nasional sesuka mereka. CDC AS disingkirkan, tugas dan tanggungjawabnya diambil alih.
Dalam pidato singkatnya di Darby, Pennsylvania (17 Juni 2020), Joe Biden dari Partai Demokrat mengkritik Presiden Trump sebagai seorang (yang mengklaim diri) "Presiden perang" yang telah menyerah kalah total dalam pertempuran melawan Covid-19 dan telah meninggalkan banyak kerusakan. Tontonlah video berikut ini.
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/
https://coronavirus.jhu.edu/data/new-cases
About Trump's interference and censorship of CDC Covid-19 data, read this https://www.cnbc.com/amp/2020/07/16/us-coronavirus-data-has-already-disappeared-after-trump-administration-shifted-control-from-cdc-to-hhs.html.
"Ketika kepentingan politik masuk ke pengelolaan data Covid-19, maka rakyat makin banyak yang rentan terinfeksi dan terbunuh oleh SARS-CoV-2. Kasihan."
☆ ioanes rakhmat
17 Juli 2020
Pk. 23:50
____________________________
15 Juli 2020
SARS-CoV-2 VIRUS PATHOGEN YANG MENULAR LEWAT AEROSOL DALAM UDARA DAN BERTAHAN SAMPAI 16 JAM
Ini screenshot dari suatu video, sebagai sebuah ilustrasi saja bagaimana microdroplets (merah) selama 20 menit makin tersebar meluas. Ilustrasi ini tidak ada hubungannya dengan eksperimen yang mau dilaporkan di bawah ini.
Suatu eksperimen baru lewat instrumen penghasil aerosol (yang berdiameter 1-3 μm, sementara aerosol yang terbentuk natural berdiameter < 5μm) yang diberi muatan virus-virus (SARS-CoV-1, MERS-SARS, SARS-CoV-2) menghasilkan temuan ini: virus SARS-CoV-2 (yang lonjong dan yang bulat) dalam aerosol dapat mempertahankan kestabilan, kehidupan, kekuatan dan daya infeksinya sampai 16 jam (= 960 menit). Lihat gambar di bawah ini. Tap atau ketuk gambarnya, lalu zoom-in.
Eksperimen dijalankan dalam suhu ruangan 23°c, dengan tingkat kelembaban udara 53%, dan tanpa sumber sinar ultraviolet.
Alyssa C. Fears, William B. Klimstra, Paul Duprex,...., Chad J. Roy, "Persistence of Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 in Aerosol Suspensions", Emerging Infectious Diseases, CDC, Vol. 26, Number 9, September 2020, original publication date June 22, 2020.
https://wwwnc.cdc.gov/eid/article/26/9/20-1806-f1.
Penting diketahui bahwa parameter-parameter environmental juga memainkan peran dalam penularan lewat aerosol dalam udara. Suhu udara, kelembaban udara, cahaya Matahari, khususnya UVA dan UVB (sinar UVC tidak dapat mencapai permukaan Bumi), kepadatan penduduk di suatu wilayah, kecepatan gerak udara, tekanan udara, dan cuaca, dalam tingkat tertentu, berpengaruh pada penyebaran virus lewat udara.
Ini peringatan saya: Selama manusia masih bernafas, berbicara, bersin, batuk, bernyanyi, berteriak, tertawa, dan tidak memakai masker wajah, virus-virus SARS-CoV-2 mengapung di udara selamanya, selalu siap menginfeksi anda. Satu virus mati setelah 960 menit, virus-virus lain yang tak terhitung jumlahnya, muncul dan mengapung dalam aerosol di udara. Selalu begitu.
Anda jadi takut karena informasi ini? Tidak perlu. Jangan takut. Virus-virus, bukan bakteri, baik yang pathogenik maupun yang non-pathogenik, berada pada akar terdalam pohon evolusi biologis yang mulai berlangsung kurang lebih 3,4 milyar tahun lalu. "Virus-virus harus ditempatkan jauh di bawah pada akar pohon kehidupan."
Felix Broecker & Karin Moeling, "What viruses tell us about evolution and immunity: beyond Darwin?", Annals of the New York Academy of Sciences, 29 April 2019.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6850104/.
https://www.sciencealert.com/not-all-viruses-are-bad-for-you-here-are-some-that-can-have-a-protective-effect.
Virus-virus ada di mana-mana bersama dengan spesies-spesies lain sampai saat ini, dalam udara yang mengandung aerosol yang natural dan yang non-natural dan dalam tubuh inang-inang mereka. Lingkungan yang bebas virus tidak ada. Jadi, kita memerlukan proteksi dari virus-virus yang pathogenik sejak kita dilahirkan. Vaksin-vaksin yang efektif melindungi kita dari infeksi virus-virus yang berbahaya, sejak bunda-bunda kita memperanakkan kita.
Video: masker wajah UVC yang mahal harganya!
https://www.kickstarter.com/projects/umsystems/uvmask-inactivate-9999-of-all-pathogens-and-air-pollutants.
Apa yang anda harus lakukan sekarang? Selalu pakai masker wajah kapan pun anda meninggalkan rumah anda. Dan buat udara indoor dalam rumah anda selalu bersirkulasi melalui ventilasi-ventilasi yang cukup, dan jaga untuk tetap segar, bersih, dan dimurnikan oleh filter-filter yang sangat efisien. Kita membutuhkan penggantian udara dan udara indoor yang dimurnikan dan difiltrasi, di tempat apapun (sebuah restoran, sebuah ruang rapat, sebuah kelas, sebuah rumah, sebuah kantor, dll) di lokasi manapun.
Langkah-langkah pencegahan untuk menghindari adanya aerosol yang bermuatan virus dalam udara indoor yang saya telah gambarkan ringkas di atas, sayangnya, akan sangat mahal.
"Kita semua kini sedang hidup dalam ruang-ruang dunia gawat darurat."
☆ ioanes rakhmat
15 Juli 2020
________________________________
12 Juli 2020
VIRUS DAPAT TAHAN BERAPA LAMA?
N.B. Lihat penelitian terbaru di atas, post 15 Juli 2020.
Telah diselidiki, jadi bukan sebuah opini asal bunyi, bahwa SARS-CoV-2 dapat berada stabil dalam aerosols ("droplet nuclei" dengan diameter <5μm) selama 3 jam di udara, dan pada permukaan bahan-bahan atau benda-benda padat ("fomites"): plastik hingga 3 hari, baja antikarat (stainless steel) hingga 2 hari, karton hingga 1 hari, dan tembaga hingga 4 jam. Perhatikan gambar di bawah ini. Tap atau ketuk gambarnya untuk mendapat ukuran besar, lalu zoom-in.
Sumber:
Neeltje van Doremalen, Trenton Bushmaker,..., Emmie de Wit, "Aerosols and Surface Stability of SARS-CoV-2 as compared with SARS-CoV-1", New England Journal of Medicine, 382: 1564-1567, April 16, 2020.
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/nejmc2004973.
Jadi, ada penularan lewat medium udara ("aerosol transmission") dan medium permukaan bahan-bahan padat ("fomites transmission").
Mungkin tidak semua orang langsung paham bagaimana "fomites transmission" bisa terjadi.
Simpel saja penjelasannya: virus-virus yang menempel pada permukaan material padat, pindah menempel ke tangan kita atau ke medium lain yang melekat pada tubuh kita ketika kita menyentuh atau bersinggungan dengan benda-benda padat tersebut. Sesudah itu, tangan kita atau medium lain tersebut yang sudah terkontaminasi virus, kita (biasanya tanpa berpikir lagi) masukkan ke dalam lubang hidung atau ke dalam mulut atau kita sentuhkan ke mata kita, atau kita sapukan pada wajah, atau mulut, atau hidung atau mata kita. Alat pengukur suhu tubuh (thermometer) yang sebelumnya sudah dipakai penderita Covid-19 juga akan menularkan virus ke orang lain yang memakainya (lewat lubang anus, dll) jika alat ini belum didisinfektan. Dan seterusnya.
Selanjutnya, kita fokus ke "aerosol transmission".
Karena selalu ada banyak orang batuk, bersin, bercakap-cakap, berteriak, atau bernyanyi, setiap saat di mana-mana, maka akan selalu ada virus yang tersembur ke udara dalam aerosol, lalu bergerak ketika angin berhembus, meski satu virus hanya bisa bertahan paling lama 3 jam dalam gelembung microdroplets yang tak kasat mata.
Kita perlu berpikir lebih lanjut. Jika virus bisa bertahan hingga 3 jam dalam gelembung aerosols, maka berapa jauh virus-virus bisa berpindah tempat selama 3 jam gerakan udara? Ini tentu bergantung pada kecepatan gerak udara, cuaca, tekanan udara, dan kepadatan wilayah. Udara luar bergerak masuk ke udara indoor, dan sebaliknya. Atau tetap bergerak di udara terbuka, atau tetap mengambang di ruang indoor yang tak memiliki ventilasi atau mesin pengalir udara seperti kipas angin atau mesin penyaring udara.
Keberadaan virus-virus yang mengalir lewat udara ya.... tak pernah habis. Setelah virus yang satu binasa dalam 3 jam, akan muncul virus-virus lainnya dalam aliran udara. Begitu seterusnya.
Meski kita dapat dibuat lebih ngeri dengan adanya "fomites transmission" bahkan ketika kita berada dalam rumah, penularan paling umum adalah penularan droplets dari manusia ke manusia, ketika kita berhadapan muka dengan orang lain, atau ketika kita berada di tengah kerumunan atau keramaian apapun. Nah, penularan lewat "human-to-human contact" ini juga berlangsung lewat droplets yang tersembur kuat dalam ruang (indoor atau outdoor) yang tidak hampa udara. Udara selalu jadi medium. Waduh!
Loh, ada masker wajah tokh? Face mask adalah pelindung kita dari bahaya tertular. Masker wajah membuat potensi keterpaparan kita pada infeksi virus minim, "minimum exposure". Tanpa masker, kita berada dalam kondisi "maximum exposure". Muda-mudi yang sedang berpacaran, apakah sebaiknya tidak usah berciuman mulut dengan mulut? Ya, jawablah sendiri.
Well, sudah satu bulan terakhir ini, sebagian orang Amerika telah menjadi sinting, tak waras. Mereka bukan menjaga diri supaya tak tertular, tapi sebaliknya.
Mereka mengadakan pesta Covid, "Covid Party": orang yang tidak terinfeksi berkumpul beramai-ramai dengan orang-orang yang sudah terinfeksi. Tanpa memakai masker wajah. Tanpa "social distancing". Namanya juga pesta. Mereka, konon, mau membuktikan bahwa epidemi Covid-19 itu hoax, fake news. Kasihan ya. We pity you, American millennials!
Mereka pesta di suatu tempat, dalam ruang indoor atau ruang outdoor. Tempat pesta baru diberitahu beberapa jam sebelumnya, supaya rahasia terjaga. Lalu mereka bertaruh dengan mengumpulkan uang. Siapa yang dalam 1-2 minggu ke depan tertular virus lalu jatuh sakit, akan menerima bagian dari jumlah uang yang terkumpul, atau hadiah lain. Yang sudah tak waras ini, sedihnya, adalah generasi milenial Amerika.
Pesta-pesta Covid sudah diadakan antara lain di Tuscaloosa, Alabama, juga di Texas yang dihadiri kurang lebih 300 murid SMA.
Belum lama ini (10 Juni) malah seorang bunda Amerika membawa puterinya, remaja, usia 17 tahun, yang mengidap banyak penyakit (kanker, otoimun, gangguan saraf, dan obesitas) ke Covid Party di sebuah gereja di Florida yang dihadiri 100 anak-anak. Kok gitu?
Ya..... mungkin supaya si puteri ini sekalian terinfeksi virus, dan akan pasti berujung pada kematian. Orang yang punya penyakit kronis ikutan (komorbiditas) umumnya akan mati ketika terserang Covid-19. Pada 23 Juni, si remaja puteri itu mati terserang Covid-19.
Tentu saja, polisi Amerika dan pemerintah negara-negara bagian serta pekerja medis tetap siaga terhadap kemungkinan adanya pesta-pesta Covid. Semacam arisan Covid, kayaknya. Madness.
https://globalnews.ca/news/7131600/students-coronavirus-pongfest/
https://globalnews.ca/news/7132752/alabama-students-covid-19-parties/
https://edition.cnn.com/2020/07/02/us/alabama-coronavirus-parties-trnd/index.html
https://www.newsweek.com/florida-teen-dies-after-mother-took-her-church-coronavirus-party-then-treated-her-1515781
https://www.washingtonpost.com/nation/2020/07/07/florida-carsyn-davis-coronavirus/
"Di saat epidemi sedang mengganas, kewarasan dan akal sehat kerap malah disepelekan. Karena banyak faktor. Gangguan mental, salah satu faktornya. Juga iman keagamaan yang membuta. Disinformasi dan kebodohan."
☆ ioanes rakhmat
12 Juni 2020
Pk. 23:10
_______________________________
9 Juli 2020
SEKALI LAGI: PENULARAN LEWAT UDARA ATAU "AIRBORNE TRANSMISSION" REAL TERJADI
Pada 6 Juli 2020, sebanyak 239 ilmuwan (dari 32 negara) telah menulis sebuah surat terbuka ke WHO dan badan-badan kesehatan dunia lainnya. Isinya, tentang coronavirus yang menular lewat udara.
Mau baca naskah Pdf-nya sendiri, tak panjang, hanya 9 halaman? Jika ya, ini link-nya
https://academic.oup.com/cid/article/doi/10.1093/cid/ciaa939/5867798.
Lihat juga https://www.nytimes.com/2020/07/04/health/239-experts-with-one-big-claim-the-coronavirus-is-airborne.html
https://www.washingtonpost.com/world/europe/coronavirus-airborne-spread-world-health-organization/2020/07/05/9de19c38-bed8-11ea-b4f6-cb39cd8940fb_story.html
Para ilmuwan itu menyatakan bahwa PENULARAN LEWAT UDARA (PLU) atau "AIRBORNE/AEROSOL TRANSMISSION" (AT) adalah fakta ilmiah yang harus diterima tanpa keraguan yang masuk akal, sepenuhnya sudah terbukti, "beyond reasonable doubt", dan bahwa PLU adalah "the most likely mechanism", suatu "cara yang paling mungkin". AT menimbulkan "risiko yang real" bagi manusia di tengah pandemi Covid-19.
Menurut para ilmuwan itu, "droplets" (yang mengandung banyak virus) dengan diameter masing-masing 5 mikron (5 μm) dapat melayang dihembus udara indoor atau udara outdoor (sebagai "aerosols") sampai puluhan meter dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi saat mereka batuk atau bersin atau bersuara keras, dengan ketinggian aerosol 1,5 meter dari permukaan tanah.
Oh ya, 1 mikron (1 μm) itu sama dengan 1 per 1 juta meter. Jadi, droplets yang berdiameter 5 μm yang terhembus keluar dari saluran pernafasan sangat ringan dan kecil, tidak terlihat oleh mata telanjang, dan tidak jatuh ke permukaan tanah, tetapi terbang mengikuti hembusan angin/udara sebagai partikel-partikel aerosols.
Jika anda tidak memakai masker wajah, droplets yang berisi virus yang mengapung dan bergerak lewat hembusan angin akan masuk ke dalam paru-paru anda sangat dalam di saat anda menarik nafas. Baik ketika anda berada lama di ruang indoor ramai tanpa ventilasi maupun di saat anda berada di ruang outdoor publik terbuka yang dipadati manusia.
Saya telah menulis topik AT ini sekian bulan lalu pada Kronik Covid-19 International (Bagian 1), pada post tanggal 6 April 2020. Lengkap dengan gambar.
Juga saya pasang di situ sebuah video pemotretan dengan kamera khusus (berkecepatan tinggi) bagaimana droplets terhembus pertama kali (dari hidung atau dari mulut), lalu bertahap mulai memenuhi ruangan indoor dan mengapung lama di udara sekitar selama tidak ada gerakan udara. Jika ventilasi dibuka, dan udara bergerak, droplets baru akan bergerak ke arah ventilasi, meninggalkan ruang indoor. Ini video reportase sebuah riset ilmiah di Jepang.
Ini link ke tulisan saya tersebut https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2020/01/virus-ncov-2019-bukan-azab.html?m=0.
Anda perlu membaca (lagi) tulisan saya itu. Scroll down hingga tiba di post tanggal 6 April 2020. Hayo, tengoklah.
Baiklah, video pemotretan droplets tersebut saya pasang ulang (dalam versi lebih panjang) di bawah ini. Seraplah pengetahuan yang disampaikannya.
https://www3.nhk.or.jp/nhkworld/en/ondemand/video/9999604/
Perhatikan juga video di bawah ini untuk menambah pengetahuan anda tentang AT dalam ruang indoor sebuah restoran ber-AC, yang membuat udara bergerak meliuk bolak-balik membawa partikel droplets yang tersembur dari mulut atau hidung seorang tamu restoran (yang sudah terinfeksi) ke mana-mana. Lalu virus corona menginfeksi tamu-tamu yang lain yang berada dalam jangkauan hembusan udara dari AC.
Pada video itu juga diberi gambaran-gambaran kapan dan di mana anda sebagai individu berada di zona aman (hijau) dan kapan dan di mana anda berubah masuk ke zona berisiko tertular (merah). Merah atau hijau di sini tidak mengacu ke kawasan epidemiologis aman atau ke kawasan epidemiologis berisiko tinggi tertular, tetapi ke pergeseran-pergeseran sikon yang anda sebagai individu sedang alami dan jalankan sendiri.
Waktu saya menulis pada 6 April 2020, WHO baru menyatakan akan meneliti penularan virus (dalam droplets) lewat udara; tapi juga mengatakan bahwa droplets yang terhambur keluar waktu orang yang terinfeksi batuk atau bersin atau berbicara akan langsung jatuh ke tanah (karena gaya gravitasi). Virus jadinya tidak akan ditularkan ke orang lain lewat hembusan udara.
Bahkan sampai 29 Juni 2020, WHO masih kukuh berpendapat bahwa PLU adalah mungkin hanya setelah ada prosedur-prosedur medik yang dijalankan di rumah-rumah sakit yang menghasilkan aerosols, atau droplets yang ukurannya lebih kecil dari 5 mikron. WHO membedakan aerosols yang sangat kecil (yakni microdroplets) dan droplets yang lebih besar, meski pun orang yang terinfeksi menyemburkan keduanya yang menyebabkan virus corona menginfeksi orang lain.
Sebelumnya, dalam berita 16 Maret 2020 (yang dimutakhirkan 23 Maret), pejabat-pejabat di WHO sudah menyatakan bahwa PLU dapat terjadi di ruang-ruang indoor fasilitas-fasilitas kesehatan setelah ada tindakan-tindakan medik.
Ihwal berapa lama aerosols yang bermuatan virus dapat bertahan mengapung di udara bergantung pada faktor-faktor lain seperti suhu udara, kelembaban udara, dan berapa banyak dan berapa lama sinar UV Matahari dapat masuk atau menghangati muka Bumi. Tampaknya, sangat sulit atau bahkan mustahil untuk menyebut durasi umum yang dibutuhkan (dalam hitungan menit atau jam) untuk aerosol atau droplets dapat bertahan di udara terbuka atau dalam ruang indoor.
https://www.cnbc.com/2020/03/16/who-considers-airborne-precautions-for-medical-staff-after-study-shows-coronavirus-can-survive-in-air.html
Direktur WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, sekian bulan silam sebetulnya sudah mengingatkan bahwa SARS-CoV-2 menular lewat udara yang bergerak yang berisi aerosols atau droplets. Tetapi pendapatnya ini tidak mewakili WHO. Entah kenapa.
Tapi pada 8 Juli 2020, sebagai jawaban atas surat terbuka 239 ilmuwan tersebut di atas, WHO baru menyatakan adalah mungkin ("maybe" atau "possible") PLU terjadi, tapi mereka masih mau meneliti lebih lanjut, dan pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada akan dikumpulkan dan diintisarikan.
WHO mengakui ada "bukti-bukti yang makin terlihat" bahwa PLU adalah "mungkin" dan "tak dapat diabaikan", tapi "tidak definitif." Jadi, bukti-bukti yang ada perlu dikumpulkan, ditafsirkan, dan WHO terus mendukung hal ini.
Ada sebuah pernyataan yang dibuat WHO tentang soal PLU dalam rubrik tanya/jawab online, yang awalnya saya temukan lewat Twitter. Dinyatakan begini,
"Di dalam ruang-ruang indoor seperti restoran, nightclub, tempat ibadah atau tempat kerja di mana orang dapat berteriak, berbicara, atau bernyanyi, di mana ruang-ruang sangat dipadati manusia dan ventilasi tidak cukup tersedia, di mana orang-orang yang sudah terinfeksi berada bersama-sama dalam waktu yang lama dengan orang-orang lain, PLU tidak dapat diabaikan selama pandemi berlangsung."
https://www.who.int/news-room/q-a-detail/q-a-how-is-covid-19-transmitted
Jadi, jelasnya, hingga saat ini belum ada penegasan bulat dan kuat dari WHO bahwa coronavirus juga tersebar lewat gerakan udara yang berisi droplets. Lihat video pernyataan mutakhir WHO di bawah ini.
https://economictimes.indiatimes.com/news/international/world-news/who-acknowledges-evidence-emerging-of-airborne-spread-of-covid-19/articleshow/76840850.cms
Memang sukar dipercaya kalau WHO memberi sikap dan pengetahuan yang berbeda dari sikap dan pengetahuan banyak ilmuwan sejak berbulan-bulan lalu tentang PLU.
Jelas, PLU yang membuat jumlah orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 cepat bertambah, harus ditangani.
Ya, pertama, di ruang outdoor publik pakailah selalu masker wajah dengan benar, dan "physical distancing" jangan ditawar-tawar. Usahakan sesingkat mungkin anda berada di ruang outdoor publik, hanya untuk urusan-urusan yang penting dan mendesak. Makin lama anda berada di luar rumah, tidak "stay at home", anda masuk ke risiko yang makin tinggi.
Kedua, dalam ruang indoor di manapun, dalam rumah sendiri, atau dalam sebuah ruang besar publik seperti restoran atau gedung pertemuan umum, dll, udara harus terus-menerus mengalir terbuang keluar lewat lubang-lubang ventilasi. Harus ada pergantian udara lama dengan udara baru, bersirkulasi terus-menerus, lewat ventilasi.
Makin banyak dan cepat udara outdoor masuk lewat ventilasi-ventilasi ke ruang indoor, dan makin banyak dan cepat udara indoor keluar melalui ventilasi-ventilasi, makin baik. Sirkulasi udara yang lancar dan cepat akan membuang microdroplets yang potensial terhimpun dalam ruang indoor suatu bangunan. Makin tinggi "ventilation rate" suatu bangunan, makin terlindungi para penghuninya.
Tapi terpikir oleh saya satu hal. Bagaimana jadinya, jika anda berdiam di suatu wilayah yang sangat dekat dengan pasar-pasar tradisional yang becek dan setiap hari dipadati manusia, pedagang dan pembeli, atau di dekat kawasan-kawasan kumuh yang padat penduduk, di mana orang-orang miskin hidup, sekarat dan mati di sana?
Yang saya maksudkan, bukan cuma gaya hidup dan kontak sosial dan komersial yang berlangsung di kawasan-kawasan itu. Tetapi terutama udara outdoor di sana yang sudah terkontaminasi berat oleh microdroplets yang berisi muatan virus dari luar biasa banyak manusia di situ. Apakah anda akan membiarkan udara outdoor yang buruk dan berbahaya semacam itu masuk ke dalam ruang indoor rumah anda untuk sirkulasi udara keluar dan masuk dapat teratur berlangsung dalam rumah anda?
Saya merasa sulit untuk menjawabnya. Tapi, saya kira, untuk situasi lingkungan semacam itu anda memerlukan bantuan kipas-kipas angin, mesin pemutar udara indoor, sekaligus mesin "air purifier" atau mesin pemurni udara. Selain itu, pemerintah setempat perlu aktif dengan teratur dan berkala menyemprotkan disinfektan asap di kawasan-kawasan tersebut, dan secara berkala juga melakukan testing PCR yang besar dan gencar yang akan ditindaklanjuti.
Ya, anda perlu mesin penyaring udara ("air filter") yang relatih murah yang dapat menangkap kurang lebih 20% partikel virus. Di rumah-rumah sakit, filter-filter udara dengan efisiensi tinggi bisa menyaring sampai 80%. Pemurni udara ("air purifier") portabel bahkan dapat menangkap 99,97% partikel virus. Filtrasi maksimal udara indoor membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dalam ruang kabin pesawat udara, saat pesawat sudah tinggal landas, mesin-mesin filter udara dengan efisiensi tinggi dijalankan untuk udara terus-menerus dibersihkan dan dimurnikan. Tetapi, saat para penumpang masuk ke dalam kabin, udara luar yang membawa aerosols yang mengandung virus ikut masuk memenuhi ruangan. Hanya perlu 3 hingga 4 menit, ruang kabin dapat dipenuhi aerosols yang bermuatan virus, akibatnya penularan terjadi di saat pesawat belum tinggal landas. Berbahaya juga jadinya.
Dalam rumah-rumah di negeri-negeri 4 musim, setiap rumah dilengkapi dengan sistem-sistem pemanasan ruangan dan ventilasi. Nah, pertahankan kelembaban udara di kisaran 40% hingga 60%. Jika tidak ada sistem seperti itu, misalnya di negeri 2 musim seperti Indonesia, mesin pelembab udara ("air humidifier") yang portabel juga bisa digunakan. Beberapa merk AC sudah dilengkapi dengan mesin pelembab udara yang dapat disetel. Makin lembab udara, makin lemah daya tahan virus.
https://www.nytimes.com/2020/03/04/opinion/coronavirus-buildings.html
Oh ya, anda berisiko besar tertular virus jika makan di sebuah restoran ber-AC tanpa udara terbuang keluar lewat ventilasi-ventilasi, tetapi hanya berputar-putar dalam satu ruang tertutup. Semakin lama anda berada dalam ruang indoor restoran tersebut, semakin tinggi risiko anda tertular.
Di sejumlah negara, kini di ruang-ruang indoor besar yang ber-AC (gedung perkantoran atau ruang besar sebuah restoran, dll), AC yang ada sudah dilengkapi dengan mesin disinfektan yang memancarkan radiasi sinar UV-C untuk membunuh coronavirus, selain juga sudah dilengkapi filter udara yang efisien. Udara juga dibuat mengalir, lewat ventilasi-ventilasi, supaya ada pergantian udara.
Tentang disinfektan UV-C, saya sudah tulis pada Kronik Covid-19 Internasional (Bagian-1), post 30 Mei 2020.
https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2020/01/virus-ncov-2019-bukan-azab.html?m=0
Di bawah ini saya lampirkan dua gambar yang menjelaskan dengan baik UV-A, UV-B dan UV-C. Yang sampai ke permukaan Bumi kita hanya sinar UV-A dan UV-B. Tapi, lewat instrumen, kita dapat menghasilkan UV-C buatan.
https://www.researchgate.net/publication/324009336_Nutraceuticals_for_Skin_Care_A_Comprehensive_Review_of_Human_Clinical_Studies
https://skincareclub.wordpress.com/2011/02/25/uva-uvb-uvc-rays/amp/
Ruang ibadah gereja-gereja juga sudah saatnya dilengkapi mesin-mesin disinfektan UV-C jika ibadah online sudah mau diakhiri, dikembalikan ke ibadah seperti sebelumnya, dengan banyak warga berkumpul di dalam ruang ibadah. Jika sanitasi atau disinfektasi ruang-ruang ibadah indoor itu tidak dilakukan dengan mesin disinfektan UV-C, sangat mungkin ibadah-ibadah konvensional gereja-gereja akan menjadi kegiatan-kegiatan "super-spreader" virus corona. Dus, gedung-gedung gereja saat dipenuhi warga yang beribadah akan berubah menjadi "hotbeds" coronavirus.
Tentu, realistik saja, jika gereja-gereja menggunakan mesin disinfektan UV-C, dibutuhkan biaya besar untuk membeli dan merawatnya. Kalau hal ini tidak mungkin dilakukan, ya disinfektan cair yang disemprotkan sebagai asap putih satu atau dua jam sebelum ibadah, juga akan sangat menopang prevensi penyakit dan penjagaan kesehatan warga yang mau beribadah.
Bisa juga, ibadah umum gereja dilakukan di lapangan terbuka bersih dan hijau, dan sudah didisinfektan sebelumnya. Setiap 5 sampai 10 orang warga gereja (yang berasal dari 1 keluarga besar atau 1 rumah tangga besar) diberi tempat dalam kawasan-kawasan terbatas dalam lingkaran-lingkaran besar yang dipersiapkan lebih dulu di lapangan itu. Ada jarak tertentu antar setiap lingkaran, misalnya 5 m sampai 10 m.
Ingatlah juga untuk membiarkan cahaya Matahari masuk ke dalam rumah anda dan menghangati ruang-ruang indoor rumah anda berjam-jam lamanya. Sinar UV-A dan UV-B dari Matahari yang sampai ke Bumi mampu membunuh virus corona, tetapi belum diketahui berapa jam dibutuhkan untuk UV-A dan UV-B dapat membunuh virus tersebut.
Semula diyakini bahwa sinar Matahari yang kuat, dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi, akan dapat memperlambat penyebaran SARS-CoV-2 lewat udara outdoor.
Hal itulah yang diharapkan terjadi oleh orang Amerika ketika musim panas tiba. Ternyata, hal yang diharapkan ini tidak terjadi. Penularan berlangsung tetap cepat dan meluas. Padahal sudah diketahui, sinar UV-A dan UV-B Matahari dapat membunuh virus corona dengan membutuhkan waktu berjam-jam lamanya.
Jadi, mustinya ada sekian faktor lain yang membuat orang Amerika mengalami penularan yang begitu cepat dan meluas. Yakni,
• tidak dijalankannya "social distancing"
• penolakan warga untuk memakai masker wajah dengan benar
• negara-negara bagian dan ekonomi yang dibuka kembali begitu awal
• mobilitas warga yang meningkat
• warga banyak berkumpul dalam berbagai ruang indoor tanpa ventilasi
• kampanye-kampanye politik yang dilakukan dalam ruang-ruang indoor tertutup
• keramaian-keramaian yang tak terbendung ketika muncul gerakan-gerakan protes dan demo
• Ditemukannya "hotspots" baru coronavirus
• disinformasi tentang coronavirus yang disebarkan terus-menerus (oleh Gedung Putih) dan
• testing PCR yang ditingkatkan
Oh ya, pada akhirnya, anda juga musti menjaga tubuh dan pakaian anda untuk tetap bersih, tidak terkontaminasi virus yang dapat menempel pada benda-benda atau material padat ("fomite") lewat droplets yang jatuh atau lewat persentuhan dengan benda lain. Pakaian waktu pergi keluar (untuk berbelanja di pasar swalayan, misalnya) harus langsung dicuci setelah pulang, dan di dalam rumah anda mengenakan pakaian yang baru.
Selain itu, jika anda mau merasa lebih aman lagi (tidak semua orang mau melakukan hal ini, anyway!), ya semua benda dan bahan padat di rumah anda, mulai dari pintu masuk, handle dan knob pintu, sampai ke pesawat telpon, smarthphones, gabungan kunci-kunci, permukaan meja, dll, ya dengan teratur perlu anda semprotkan disinfektan atau melapnya dengan cairan disinfektan.
Microdroplets atau persinggungan dengan bahan padat lain dapat membuat virus-virus menempel pada permukaan benda-benda padat di rumah anda dan di tempat lain. Tapi sejauh diketahui, penularan virus lewat permukaan benda-benda padat sangat langka dalam konteks kehidupan suatu rumah tangga yang sehat. Lain halnya, "fomite transmission" mungkin sekali akan terjadi di rumah-rumah sakit atau di rumah yang memiliki anggota keluarga yang sedang terinfeksi.
Sudah diselidiki, virus menempel paling lama pada permukaan lembaran plastik (hingga tiga hari), stainless steel (dua hari), dan karton (satu hari).
Bagi saya, jika anda mau apik dan resik sampai begitu terhadap benda-benda padat dalam rumah anda di masa epidemi ini, ya hidup jadi terlalu ribet. Tidak enak. Loh, memang tidak ada seorang pun yang akan bilang "Waaaah enaaak!" hidup di masa epidemi Covid-19.
"Sewaktu menulis ini, sinar Matahari kubiarkan masuk sebanyak-banyaknya dalam rumah. Pintu dan jendela kubuka. Tapi aku merasa gerah. Tapi juga merasa segar dan lega karena bisa menulis ini."
☆ ioanes rakhmat
9 Juli 2020
pk. 14:30 WIB
12 Juni 2020
____________________________________
7 Juli 2020
PRESIDEN BRAZIL TERINFEKSI VIRUS CORONA. "AKU SUDAH SEMBUH", KATANYA
Jair Bolsonaro, presiden Brazil yang anti-lockdown, dan yang berbulan-bulan menyepelekan Covid-19 sebagai "flu ringan", pada Selasa, 7 Juli 2020, dites positif terinfeksi coronavirus. Dia kena "karma", kata orang.
Dia menolak lockdown, karena, katanya, lockdown akan memukul ekonomi Brazil. Tapi ada harga yang dia harus bayar dengan mahal: sangat banyak penduduk Brazil yang terinfeksi coronavirus dan yang telah mati.
Kasus positif Brazil per 8 Juli 2020, pk. 05:48 GMT, mencapai 1.674.655, dengan jumlah kematian 66.868, tertinggi kedua di dunia di bawah Amerika Serikat (3.097.084 kasus, dengan jumlah kematian 133.972).
Sang presiden dipandang banyak kalangan telah melakukan genosida terhadap penduduk negaranya sendiri.
Bulan madu Bolsonaro dengan Nona Corona tampaknya segera berakhir tragis. Tapi, dia mengklaim kini dia telah sembuh setelah meminum obat anti-malaria Hydroxychloroquine (HCQ) plus antibiotika Azithromycin. Semoga begitu adanya.
Ada hal yang perlu diketahui. HCQ adalah obat yang dialihgunakan untuk pasien Covid-19. Obat ini telah menimbulkan pro dan kontra terkait manfaatnya sebagai obat Covid-19. Ada hasil-hasil riset-riset yang negatif tentang HCQ yang telah dinyatakan tidak valid. WHO meminta HCQ ditunda dalam penanganan Covid-19.
Nah, Unit Riset Mahidol Oxford Tropical Medicine yang berbasis di Bangkok kini sedang menjalankan uji klinis (kembali) terhadap manfaat HCQ sebagai obat pencegah (bukan penyembuh) Covid-19, atau khususnya dalam penggunaan "post-exposure prophylaxis" (PEP), yakni pemberian obat HCQ sesegera mungkin begitu pasien dites positif terinfeksi.
Uji klinis oleh Mahidol Oxford ini akan dilakukan dalam rentang waktu yang panjang, selama beberapa bulan, dan melibatkan 40.000 partisipan dari Thailand, Inggris, Afrika, dan Amerika Selatan. Dana penelitian bersumber dari Covid-19 Therapeutics Accelerator, yang diprakarsai oleh Bill and Melinda Gates Foundation, Wellcome, dan Mastercard.
"Setelah anda betul-betul sembuh, selamatkanlah rakyat anda, Presiden Bolsonaro!"
☆ ioanes rakhmat
7 Juli 2020
https://www.aljazeera.com/news/2020/07/brazil-bolsonaro-tests-coronavirus-positive-200707161522468.html
https://www.bbc.co.uk/news/amp/world-latin-america-53319517
https://www.bloomberg.com/amp/news/articles/2020-07-03/trump-s-covid-19-drug-to-get-more-scrutiny-in-40-000-person-test
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/brazil/
__________________________________
DR. ANTHONY FAUCI: KASUS HARIAN DI AS AKAN MENCAPAI 100.000 ORANG
3 Juli 2020
Donald Trump menyatakan di saat suhu udara makin menghangat coronavirus "akan lenyap" (17 Juni 2020, Fox News). Di saat dia ucapkan itu, kasus baru positif terinfeksi harian baru mencapai angka 20.000 di AS. Ternyata, suhu udara yang menghangat tidak menjadikan coronavirus kalem, tenang dan beristirahat.
Trump menghendaki lockdown di negara-negara bagian diangkat untuk memulihkan ekonomi dari resesi. Bagi Trump, menyelamatkan ekonomi jauh lebih perlu alih-alih mengendalikan wabah Covid-19.
Meski 69% warga Amerika khawatir akan terinfeksi coronavirus jika negara sekarang dibuka kembali dan ekonomi dijalankan seperti sebelumnya, Trump menyuruh warganya menjadi "petempur" meski akan makin banyak orang sakit dan orang mati. Entahlah, apakah Trump masih waras atau tidak.
https://www.bloomberg.com/amp/news/articles/2020-05-05/trump-says-u-s-must-reopen-even-if-more-americans-get-sick
https://time.com/5855541/trump-coronavirus-fade-away/
Lewat rubrik opini koran Wall Street Journal, 16 Juni 2020, Wapres Mike Pence menegaskan bahwa "Kita sedang memenangkan pertempuran melawan musuh yang tak kelihatan."
https://www.wsj.com/articles/there-isnt-a-coronavirus-second-wave-11592327890
Bagi Pence, kerumunan warga di banyak lokasi dipandang sebagai bukti kemenangan dalam melawan coronavirus. "Apokalipsis Covid" tidak terjadi. Negara-negara bagian sudah dibuka kembali, kota-kota, pantai-pantai, dan tempat-tempat hiburan sudah ramai lagi. Pertempuran sudah selesai. Rakyat sudah menang. Coronavirus sudah pergi jauh. Orang jadi bertanya, apakah ini betulan atau khayalan.
Tetapi, faktanya sekarang, pengangkatan lockdown dan pembukaan kembali ekonomi, bisnis dan tempat-tempat hiburan dll, diiringi juga dengan pelonjakan kasus-kasus positif terinfeksi. Serangan coronavirus terjadi lagi, khususnya di bagian barat dan selatan Amerika Serikat.
Selama akhir Juni dan minggu pertama Juli 2020, rata-rata ada 49.000 kasus baru per hari. Pada 3 Juli kasus baru mencuat sampai 57.562. Bersamaan dengan melonjaknya kasus-kasus baru, jumlah orang yang dimasukkan ke rumah-rumah sakit juga meningkat, pada 7 Juli mencapai 41.700 orang, dengan kasus baru muncul sebanyak 51.888. Nah, dalam situasi seperti ini, niscaya akan ada banyak juga kematian.
https://covidtracking.com/data#chart-annotations
Kini, orang-orang muda Amerika lebih banyak yang terinfeksi, dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Memang bukti-bukti menunjukkan bahwa coronavirus lebih fatal pada orang-orang yang lebih tua dan pada orang-orang yang mengidap penyakit kronis ikutan. Lazimnya diungkap begini, "Makin usia bertambah, risiko juga makin meningkat." Tapi kasus-kasus tak semuanya begitu.
Pada sisi lain, angka kematian nasional karena Covid-19 telah menurun sejak mencapai puncaknya di April 2020, khususnya selama bencana wabah melabrak New York City dan kawasan sekitarnya.
Pada 7 Juli, ada 919 kematian baru di tingkat nasional. Dalam minggu sebelumnya, kematian per hari rata-rata mencapai 517 orang.
"Death rate" yang lebih rendah telah membuat Donald Trump dengan keliru mengklaim pada 4 Juli 2020 di Washington DC bahwa "99%" dari kasus-kasus coronavirus adalah kasus-kasus "yang tidak berbahaya sama sekali."
Tetapi Dr. Anthony Fauci memberi respons, dengan menyatakan bahwa "kegembiraan" atas angka kematian yang rendah adalah "suatu naratif yang salah" tentang pandemi Covid-19. Katanya juga, "ada begitu banyak hal lain yang sangat berbahaya dan sangat buruk" tentang coronavirus. "Jangan anda masuk ke rasa berpuas diri yang palsu", tegasnya pada 7 Juli 2020.
Tetapi, dengan melonjaknya jumlah kasus baru minggu-minggu terakhir ini dalam jumlah yang tinggi, angka kematian atau CFR akan naik dalam beberapa minggu lagi. Ada "a lag of several weeks", suatu "penundaan beberapa minggu (2-3 minggu)", antara suatu infeksi dan kematian, juga di antara orang muda Amerika. Coronavirus tidak hanya membunuh orang lanjut usia (yang lazimnya juga menderita banyak penyakit ikutan atau komorbiditas), tapi juga orang muda. Kerentanan terhadap kematian meningkat sejalan "dengan usia yang bertambah" dan jumlah komorbiditas.
Ketika kasus meningkat dan orang yang dimasukkan ke rumah-rumah sakit melonjak, maka jumlah kematian juga akan naik. Nah, total kematian per hari telah mulai naik di Arizona, Florida, dan Texas. Juga jumlah orang yang dimasukkan ke rumah sakit makin banyak di 23 negara bagian pada hari Minggu, 5 Juli. Sudah ditulis di atas, jumlah mereka pada 7 Juli ada 41.700.
Menurut model yang dibangun Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), Washington University, diproyeksikan akan ada 80.000 lebih yang masih akan mati sejak 1 Juli hingga November 2020. Menurut proyeksi IHME, pada 1 November 2020 jumlah kematian di AS akan mencapai 208.254,59 orang.
https://covid19.healthdata.org/united-states-of-america
Angka kematian harian dapat datar atau bahkan turun sampai Agustus, menurut proyeksi-proyeksi baru. Tetapi, sangat mungkin kematian akan melonjak kembali dalam musim gugur, sejak puncak tertingginya di bulan April (dengan 27.000 kematian dalam satu hari).
Jadi, ada penularan lewat medium udara ("aerosol transmission") dan medium permukaan bahan-bahan padat ("fomites transmission").
Mungkin tidak semua orang langsung paham bagaimana "fomites transmission" bisa terjadi.
Simpel saja penjelasannya: virus-virus yang menempel pada permukaan material padat, pindah menempel ke tangan kita atau ke medium lain yang melekat pada tubuh kita ketika kita menyentuh atau bersinggungan dengan benda-benda padat tersebut. Sesudah itu, tangan kita atau medium lain tersebut yang sudah terkontaminasi virus, kita (biasanya tanpa berpikir lagi) masukkan ke dalam lubang hidung atau ke dalam mulut atau kita sentuhkan ke mata kita, atau kita sapukan pada wajah, atau mulut, atau hidung atau mata kita. Alat pengukur suhu tubuh (thermometer) yang sebelumnya sudah dipakai penderita Covid-19 juga akan menularkan virus ke orang lain yang memakainya (lewat lubang anus, dll) jika alat ini belum didisinfektan. Dan seterusnya.
Selanjutnya, kita fokus ke "aerosol transmission".
Karena selalu ada banyak orang batuk, bersin, bercakap-cakap, berteriak, atau bernyanyi, setiap saat di mana-mana, maka akan selalu ada virus yang tersembur ke udara dalam aerosol, lalu bergerak ketika angin berhembus, meski satu virus hanya bisa bertahan paling lama 3 jam dalam gelembung microdroplets yang tak kasat mata.
Kita perlu berpikir lebih lanjut. Jika virus bisa bertahan hingga 3 jam dalam gelembung aerosols, maka berapa jauh virus-virus bisa berpindah tempat selama 3 jam gerakan udara? Ini tentu bergantung pada kecepatan gerak udara, cuaca, tekanan udara, dan kepadatan wilayah. Udara luar bergerak masuk ke udara indoor, dan sebaliknya. Atau tetap bergerak di udara terbuka, atau tetap mengambang di ruang indoor yang tak memiliki ventilasi atau mesin pengalir udara seperti kipas angin atau mesin penyaring udara.
Keberadaan virus-virus yang mengalir lewat udara ya.... tak pernah habis. Setelah virus yang satu binasa dalam 3 jam, akan muncul virus-virus lainnya dalam aliran udara. Begitu seterusnya.
Meski kita dapat dibuat lebih ngeri dengan adanya "fomites transmission" bahkan ketika kita berada dalam rumah, penularan paling umum adalah penularan droplets dari manusia ke manusia, ketika kita berhadapan muka dengan orang lain, atau ketika kita berada di tengah kerumunan atau keramaian apapun. Nah, penularan lewat "human-to-human contact" ini juga berlangsung lewat droplets yang tersembur kuat dalam ruang (indoor atau outdoor) yang tidak hampa udara. Udara selalu jadi medium. Waduh!
Loh, ada masker wajah tokh? Face mask adalah pelindung kita dari bahaya tertular. Masker wajah membuat potensi keterpaparan kita pada infeksi virus minim, "minimum exposure". Tanpa masker, kita berada dalam kondisi "maximum exposure". Muda-mudi yang sedang berpacaran, apakah sebaiknya tidak usah berciuman mulut dengan mulut? Ya, jawablah sendiri.
Well, sudah satu bulan terakhir ini, sebagian orang Amerika telah menjadi sinting, tak waras. Mereka bukan menjaga diri supaya tak tertular, tapi sebaliknya.
Mereka mengadakan pesta Covid, "Covid Party": orang yang tidak terinfeksi berkumpul beramai-ramai dengan orang-orang yang sudah terinfeksi. Tanpa memakai masker wajah. Tanpa "social distancing". Namanya juga pesta. Mereka, konon, mau membuktikan bahwa epidemi Covid-19 itu hoax, fake news. Kasihan ya. We pity you, American millennials!
Mereka pesta di suatu tempat, dalam ruang indoor atau ruang outdoor. Tempat pesta baru diberitahu beberapa jam sebelumnya, supaya rahasia terjaga. Lalu mereka bertaruh dengan mengumpulkan uang. Siapa yang dalam 1-2 minggu ke depan tertular virus lalu jatuh sakit, akan menerima bagian dari jumlah uang yang terkumpul, atau hadiah lain. Yang sudah tak waras ini, sedihnya, adalah generasi milenial Amerika.
Belum lama ini (10 Juni) malah seorang bunda Amerika membawa puterinya, remaja, usia 17 tahun, yang mengidap banyak penyakit (kanker, otoimun, gangguan saraf, dan obesitas) ke Covid Party di sebuah gereja di Florida yang dihadiri 100 anak-anak. Kok gitu?
Ya..... mungkin supaya si puteri ini sekalian terinfeksi virus, dan akan pasti berujung pada kematian. Orang yang punya penyakit kronis ikutan (komorbiditas) umumnya akan mati ketika terserang Covid-19. Pada 23 Juni, si remaja puteri itu mati terserang Covid-19.
Tentu saja, polisi Amerika dan pemerintah negara-negara bagian serta pekerja medis tetap siaga terhadap kemungkinan adanya pesta-pesta Covid. Semacam arisan Covid, kayaknya. Madness.
https://globalnews.ca/news/7131600/students-coronavirus-pongfest/
https://globalnews.ca/news/7132752/alabama-students-covid-19-parties/
https://edition.cnn.com/2020/07/02/us/alabama-coronavirus-parties-trnd/index.html
https://www.newsweek.com/florida-teen-dies-after-mother-took-her-church-coronavirus-party-then-treated-her-1515781
https://www.washingtonpost.com/nation/2020/07/07/florida-carsyn-davis-coronavirus/
"Di saat epidemi sedang mengganas, kewarasan dan akal sehat kerap malah disepelekan. Karena banyak faktor. Gangguan mental, salah satu faktornya. Juga iman keagamaan yang membuta. Disinformasi dan kebodohan."
☆ ioanes rakhmat
12 Juni 2020
Pk. 23:10
_______________________________
9 Juli 2020
SEKALI LAGI: PENULARAN LEWAT UDARA ATAU "AIRBORNE TRANSMISSION" REAL TERJADI
Masker wajah mengurangi penularan lewat udara, khususnya ketika anda sedang berbicara dengan orang lain berhadapan muka. Face masks for all!
Pada 6 Juli 2020, sebanyak 239 ilmuwan (dari 32 negara) telah menulis sebuah surat terbuka ke WHO dan badan-badan kesehatan dunia lainnya. Isinya, tentang coronavirus yang menular lewat udara.
Mau baca naskah Pdf-nya sendiri, tak panjang, hanya 9 halaman? Jika ya, ini link-nya
https://academic.oup.com/cid/article/doi/10.1093/cid/ciaa939/5867798.
Lihat juga https://www.nytimes.com/2020/07/04/health/239-experts-with-one-big-claim-the-coronavirus-is-airborne.html
https://www.washingtonpost.com/world/europe/coronavirus-airborne-spread-world-health-organization/2020/07/05/9de19c38-bed8-11ea-b4f6-cb39cd8940fb_story.html
Para ilmuwan itu menyatakan bahwa PENULARAN LEWAT UDARA (PLU) atau "AIRBORNE/AEROSOL TRANSMISSION" (AT) adalah fakta ilmiah yang harus diterima tanpa keraguan yang masuk akal, sepenuhnya sudah terbukti, "beyond reasonable doubt", dan bahwa PLU adalah "the most likely mechanism", suatu "cara yang paling mungkin". AT menimbulkan "risiko yang real" bagi manusia di tengah pandemi Covid-19.
Menurut para ilmuwan itu, "droplets" (yang mengandung banyak virus) dengan diameter masing-masing 5 mikron (5 μm) dapat melayang dihembus udara indoor atau udara outdoor (sebagai "aerosols") sampai puluhan meter dari mulut atau hidung orang yang terinfeksi saat mereka batuk atau bersin atau bersuara keras, dengan ketinggian aerosol 1,5 meter dari permukaan tanah.
Oh ya, 1 mikron (1 μm) itu sama dengan 1 per 1 juta meter. Jadi, droplets yang berdiameter 5 μm yang terhembus keluar dari saluran pernafasan sangat ringan dan kecil, tidak terlihat oleh mata telanjang, dan tidak jatuh ke permukaan tanah, tetapi terbang mengikuti hembusan angin/udara sebagai partikel-partikel aerosols.
Halaman 1 surat terbuka 239 ilmuwan. Ketuk atau tap gambarnya, lalu zoom-in
Ilustrasi PLU pada halaman terakhir surat 239 ilmuwan. Ventilasi untuk udara bersirkulasi keluar masuk mengurangi risiko tertular
Jika anda tidak memakai masker wajah, droplets yang berisi virus yang mengapung dan bergerak lewat hembusan angin akan masuk ke dalam paru-paru anda sangat dalam di saat anda menarik nafas. Baik ketika anda berada lama di ruang indoor ramai tanpa ventilasi maupun di saat anda berada di ruang outdoor publik terbuka yang dipadati manusia.
Saya telah menulis topik AT ini sekian bulan lalu pada Kronik Covid-19 International (Bagian 1), pada post tanggal 6 April 2020. Lengkap dengan gambar.
Juga saya pasang di situ sebuah video pemotretan dengan kamera khusus (berkecepatan tinggi) bagaimana droplets terhembus pertama kali (dari hidung atau dari mulut), lalu bertahap mulai memenuhi ruangan indoor dan mengapung lama di udara sekitar selama tidak ada gerakan udara. Jika ventilasi dibuka, dan udara bergerak, droplets baru akan bergerak ke arah ventilasi, meninggalkan ruang indoor. Ini video reportase sebuah riset ilmiah di Jepang.
Ini link ke tulisan saya tersebut https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2020/01/virus-ncov-2019-bukan-azab.html?m=0.
Penggalan awal post 6 April 2020 pada Kronik Covid-19 Internasional (Bagian 1) pada blog The Freethinker saya
Anda perlu membaca (lagi) tulisan saya itu. Scroll down hingga tiba di post tanggal 6 April 2020. Hayo, tengoklah.
Baiklah, video pemotretan droplets tersebut saya pasang ulang (dalam versi lebih panjang) di bawah ini. Seraplah pengetahuan yang disampaikannya.
https://www3.nhk.or.jp/nhkworld/en/ondemand/video/9999604/
Perhatikan juga video di bawah ini untuk menambah pengetahuan anda tentang AT dalam ruang indoor sebuah restoran ber-AC, yang membuat udara bergerak meliuk bolak-balik membawa partikel droplets yang tersembur dari mulut atau hidung seorang tamu restoran (yang sudah terinfeksi) ke mana-mana. Lalu virus corona menginfeksi tamu-tamu yang lain yang berada dalam jangkauan hembusan udara dari AC.
Pada video itu juga diberi gambaran-gambaran kapan dan di mana anda sebagai individu berada di zona aman (hijau) dan kapan dan di mana anda berubah masuk ke zona berisiko tertular (merah). Merah atau hijau di sini tidak mengacu ke kawasan epidemiologis aman atau ke kawasan epidemiologis berisiko tinggi tertular, tetapi ke pergeseran-pergeseran sikon yang anda sebagai individu sedang alami dan jalankan sendiri.
Waktu saya menulis pada 6 April 2020, WHO baru menyatakan akan meneliti penularan virus (dalam droplets) lewat udara; tapi juga mengatakan bahwa droplets yang terhambur keluar waktu orang yang terinfeksi batuk atau bersin atau berbicara akan langsung jatuh ke tanah (karena gaya gravitasi). Virus jadinya tidak akan ditularkan ke orang lain lewat hembusan udara.
Bahkan sampai 29 Juni 2020, WHO masih kukuh berpendapat bahwa PLU adalah mungkin hanya setelah ada prosedur-prosedur medik yang dijalankan di rumah-rumah sakit yang menghasilkan aerosols, atau droplets yang ukurannya lebih kecil dari 5 mikron. WHO membedakan aerosols yang sangat kecil (yakni microdroplets) dan droplets yang lebih besar, meski pun orang yang terinfeksi menyemburkan keduanya yang menyebabkan virus corona menginfeksi orang lain.
Sebelumnya, dalam berita 16 Maret 2020 (yang dimutakhirkan 23 Maret), pejabat-pejabat di WHO sudah menyatakan bahwa PLU dapat terjadi di ruang-ruang indoor fasilitas-fasilitas kesehatan setelah ada tindakan-tindakan medik.
Ihwal berapa lama aerosols yang bermuatan virus dapat bertahan mengapung di udara bergantung pada faktor-faktor lain seperti suhu udara, kelembaban udara, dan berapa banyak dan berapa lama sinar UV Matahari dapat masuk atau menghangati muka Bumi. Tampaknya, sangat sulit atau bahkan mustahil untuk menyebut durasi umum yang dibutuhkan (dalam hitungan menit atau jam) untuk aerosol atau droplets dapat bertahan di udara terbuka atau dalam ruang indoor.
https://www.cnbc.com/2020/03/16/who-considers-airborne-precautions-for-medical-staff-after-study-shows-coronavirus-can-survive-in-air.html
Direktur WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, sekian bulan silam sebetulnya sudah mengingatkan bahwa SARS-CoV-2 menular lewat udara yang bergerak yang berisi aerosols atau droplets. Tetapi pendapatnya ini tidak mewakili WHO. Entah kenapa.
Tapi pada 8 Juli 2020, sebagai jawaban atas surat terbuka 239 ilmuwan tersebut di atas, WHO baru menyatakan adalah mungkin ("maybe" atau "possible") PLU terjadi, tapi mereka masih mau meneliti lebih lanjut, dan pengetahuan-pengetahuan yang sudah ada akan dikumpulkan dan diintisarikan.
WHO mengakui ada "bukti-bukti yang makin terlihat" bahwa PLU adalah "mungkin" dan "tak dapat diabaikan", tapi "tidak definitif." Jadi, bukti-bukti yang ada perlu dikumpulkan, ditafsirkan, dan WHO terus mendukung hal ini.
Ada sebuah pernyataan yang dibuat WHO tentang soal PLU dalam rubrik tanya/jawab online, yang awalnya saya temukan lewat Twitter. Dinyatakan begini,
"Di dalam ruang-ruang indoor seperti restoran, nightclub, tempat ibadah atau tempat kerja di mana orang dapat berteriak, berbicara, atau bernyanyi, di mana ruang-ruang sangat dipadati manusia dan ventilasi tidak cukup tersedia, di mana orang-orang yang sudah terinfeksi berada bersama-sama dalam waktu yang lama dengan orang-orang lain, PLU tidak dapat diabaikan selama pandemi berlangsung."
https://www.who.int/news-room/q-a-detail/q-a-how-is-covid-19-transmitted
Jadi, jelasnya, hingga saat ini belum ada penegasan bulat dan kuat dari WHO bahwa coronavirus juga tersebar lewat gerakan udara yang berisi droplets. Lihat video pernyataan mutakhir WHO di bawah ini.
https://economictimes.indiatimes.com/news/international/world-news/who-acknowledges-evidence-emerging-of-airborne-spread-of-covid-19/articleshow/76840850.cms
Memang sukar dipercaya kalau WHO memberi sikap dan pengetahuan yang berbeda dari sikap dan pengetahuan banyak ilmuwan sejak berbulan-bulan lalu tentang PLU.
Jelas, PLU yang membuat jumlah orang yang terinfeksi SARS-CoV-2 cepat bertambah, harus ditangani.
Ya, pertama, di ruang outdoor publik pakailah selalu masker wajah dengan benar, dan "physical distancing" jangan ditawar-tawar. Usahakan sesingkat mungkin anda berada di ruang outdoor publik, hanya untuk urusan-urusan yang penting dan mendesak. Makin lama anda berada di luar rumah, tidak "stay at home", anda masuk ke risiko yang makin tinggi.
Kedua, dalam ruang indoor di manapun, dalam rumah sendiri, atau dalam sebuah ruang besar publik seperti restoran atau gedung pertemuan umum, dll, udara harus terus-menerus mengalir terbuang keluar lewat lubang-lubang ventilasi. Harus ada pergantian udara lama dengan udara baru, bersirkulasi terus-menerus, lewat ventilasi.
Makin banyak dan cepat udara outdoor masuk lewat ventilasi-ventilasi ke ruang indoor, dan makin banyak dan cepat udara indoor keluar melalui ventilasi-ventilasi, makin baik. Sirkulasi udara yang lancar dan cepat akan membuang microdroplets yang potensial terhimpun dalam ruang indoor suatu bangunan. Makin tinggi "ventilation rate" suatu bangunan, makin terlindungi para penghuninya.
Tapi terpikir oleh saya satu hal. Bagaimana jadinya, jika anda berdiam di suatu wilayah yang sangat dekat dengan pasar-pasar tradisional yang becek dan setiap hari dipadati manusia, pedagang dan pembeli, atau di dekat kawasan-kawasan kumuh yang padat penduduk, di mana orang-orang miskin hidup, sekarat dan mati di sana?
Yang saya maksudkan, bukan cuma gaya hidup dan kontak sosial dan komersial yang berlangsung di kawasan-kawasan itu. Tetapi terutama udara outdoor di sana yang sudah terkontaminasi berat oleh microdroplets yang berisi muatan virus dari luar biasa banyak manusia di situ. Apakah anda akan membiarkan udara outdoor yang buruk dan berbahaya semacam itu masuk ke dalam ruang indoor rumah anda untuk sirkulasi udara keluar dan masuk dapat teratur berlangsung dalam rumah anda?
Saya merasa sulit untuk menjawabnya. Tapi, saya kira, untuk situasi lingkungan semacam itu anda memerlukan bantuan kipas-kipas angin, mesin pemutar udara indoor, sekaligus mesin "air purifier" atau mesin pemurni udara. Selain itu, pemerintah setempat perlu aktif dengan teratur dan berkala menyemprotkan disinfektan asap di kawasan-kawasan tersebut, dan secara berkala juga melakukan testing PCR yang besar dan gencar yang akan ditindaklanjuti.
Ya, anda perlu mesin penyaring udara ("air filter") yang relatih murah yang dapat menangkap kurang lebih 20% partikel virus. Di rumah-rumah sakit, filter-filter udara dengan efisiensi tinggi bisa menyaring sampai 80%. Pemurni udara ("air purifier") portabel bahkan dapat menangkap 99,97% partikel virus. Filtrasi maksimal udara indoor membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Dalam ruang kabin pesawat udara, saat pesawat sudah tinggal landas, mesin-mesin filter udara dengan efisiensi tinggi dijalankan untuk udara terus-menerus dibersihkan dan dimurnikan. Tetapi, saat para penumpang masuk ke dalam kabin, udara luar yang membawa aerosols yang mengandung virus ikut masuk memenuhi ruangan. Hanya perlu 3 hingga 4 menit, ruang kabin dapat dipenuhi aerosols yang bermuatan virus, akibatnya penularan terjadi di saat pesawat belum tinggal landas. Berbahaya juga jadinya.
Dalam rumah-rumah di negeri-negeri 4 musim, setiap rumah dilengkapi dengan sistem-sistem pemanasan ruangan dan ventilasi. Nah, pertahankan kelembaban udara di kisaran 40% hingga 60%. Jika tidak ada sistem seperti itu, misalnya di negeri 2 musim seperti Indonesia, mesin pelembab udara ("air humidifier") yang portabel juga bisa digunakan. Beberapa merk AC sudah dilengkapi dengan mesin pelembab udara yang dapat disetel. Makin lembab udara, makin lemah daya tahan virus.
https://www.nytimes.com/2020/03/04/opinion/coronavirus-buildings.html
Oh ya, anda berisiko besar tertular virus jika makan di sebuah restoran ber-AC tanpa udara terbuang keluar lewat ventilasi-ventilasi, tetapi hanya berputar-putar dalam satu ruang tertutup. Semakin lama anda berada dalam ruang indoor restoran tersebut, semakin tinggi risiko anda tertular.
Di sejumlah negara, kini di ruang-ruang indoor besar yang ber-AC (gedung perkantoran atau ruang besar sebuah restoran, dll), AC yang ada sudah dilengkapi dengan mesin disinfektan yang memancarkan radiasi sinar UV-C untuk membunuh coronavirus, selain juga sudah dilengkapi filter udara yang efisien. Udara juga dibuat mengalir, lewat ventilasi-ventilasi, supaya ada pergantian udara.
Tentang disinfektan UV-C, saya sudah tulis pada Kronik Covid-19 Internasional (Bagian-1), post 30 Mei 2020.
https://ioanesrakhmat.blogspot.com/2020/01/virus-ncov-2019-bukan-azab.html?m=0
Di bawah ini saya lampirkan dua gambar yang menjelaskan dengan baik UV-A, UV-B dan UV-C. Yang sampai ke permukaan Bumi kita hanya sinar UV-A dan UV-B. Tapi, lewat instrumen, kita dapat menghasilkan UV-C buatan.
https://www.researchgate.net/publication/324009336_Nutraceuticals_for_Skin_Care_A_Comprehensive_Review_of_Human_Clinical_Studies
https://skincareclub.wordpress.com/2011/02/25/uva-uvb-uvc-rays/amp/
Ruang ibadah gereja-gereja juga sudah saatnya dilengkapi mesin-mesin disinfektan UV-C jika ibadah online sudah mau diakhiri, dikembalikan ke ibadah seperti sebelumnya, dengan banyak warga berkumpul di dalam ruang ibadah. Jika sanitasi atau disinfektasi ruang-ruang ibadah indoor itu tidak dilakukan dengan mesin disinfektan UV-C, sangat mungkin ibadah-ibadah konvensional gereja-gereja akan menjadi kegiatan-kegiatan "super-spreader" virus corona. Dus, gedung-gedung gereja saat dipenuhi warga yang beribadah akan berubah menjadi "hotbeds" coronavirus.
Tentu, realistik saja, jika gereja-gereja menggunakan mesin disinfektan UV-C, dibutuhkan biaya besar untuk membeli dan merawatnya. Kalau hal ini tidak mungkin dilakukan, ya disinfektan cair yang disemprotkan sebagai asap putih satu atau dua jam sebelum ibadah, juga akan sangat menopang prevensi penyakit dan penjagaan kesehatan warga yang mau beribadah.
Bisa juga, ibadah umum gereja dilakukan di lapangan terbuka bersih dan hijau, dan sudah didisinfektan sebelumnya. Setiap 5 sampai 10 orang warga gereja (yang berasal dari 1 keluarga besar atau 1 rumah tangga besar) diberi tempat dalam kawasan-kawasan terbatas dalam lingkaran-lingkaran besar yang dipersiapkan lebih dulu di lapangan itu. Ada jarak tertentu antar setiap lingkaran, misalnya 5 m sampai 10 m.
Ingatlah juga untuk membiarkan cahaya Matahari masuk ke dalam rumah anda dan menghangati ruang-ruang indoor rumah anda berjam-jam lamanya. Sinar UV-A dan UV-B dari Matahari yang sampai ke Bumi mampu membunuh virus corona, tetapi belum diketahui berapa jam dibutuhkan untuk UV-A dan UV-B dapat membunuh virus tersebut.
Semula diyakini bahwa sinar Matahari yang kuat, dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi, akan dapat memperlambat penyebaran SARS-CoV-2 lewat udara outdoor.
Hal itulah yang diharapkan terjadi oleh orang Amerika ketika musim panas tiba. Ternyata, hal yang diharapkan ini tidak terjadi. Penularan berlangsung tetap cepat dan meluas. Padahal sudah diketahui, sinar UV-A dan UV-B Matahari dapat membunuh virus corona dengan membutuhkan waktu berjam-jam lamanya.
Jadi, mustinya ada sekian faktor lain yang membuat orang Amerika mengalami penularan yang begitu cepat dan meluas. Yakni,
• tidak dijalankannya "social distancing"
• penolakan warga untuk memakai masker wajah dengan benar
• negara-negara bagian dan ekonomi yang dibuka kembali begitu awal
• mobilitas warga yang meningkat
• warga banyak berkumpul dalam berbagai ruang indoor tanpa ventilasi
• kampanye-kampanye politik yang dilakukan dalam ruang-ruang indoor tertutup
• keramaian-keramaian yang tak terbendung ketika muncul gerakan-gerakan protes dan demo
• Ditemukannya "hotspots" baru coronavirus
• disinformasi tentang coronavirus yang disebarkan terus-menerus (oleh Gedung Putih) dan
• testing PCR yang ditingkatkan
Oh ya, pada akhirnya, anda juga musti menjaga tubuh dan pakaian anda untuk tetap bersih, tidak terkontaminasi virus yang dapat menempel pada benda-benda atau material padat ("fomite") lewat droplets yang jatuh atau lewat persentuhan dengan benda lain. Pakaian waktu pergi keluar (untuk berbelanja di pasar swalayan, misalnya) harus langsung dicuci setelah pulang, dan di dalam rumah anda mengenakan pakaian yang baru.
Selain itu, jika anda mau merasa lebih aman lagi (tidak semua orang mau melakukan hal ini, anyway!), ya semua benda dan bahan padat di rumah anda, mulai dari pintu masuk, handle dan knob pintu, sampai ke pesawat telpon, smarthphones, gabungan kunci-kunci, permukaan meja, dll, ya dengan teratur perlu anda semprotkan disinfektan atau melapnya dengan cairan disinfektan.
Microdroplets atau persinggungan dengan bahan padat lain dapat membuat virus-virus menempel pada permukaan benda-benda padat di rumah anda dan di tempat lain. Tapi sejauh diketahui, penularan virus lewat permukaan benda-benda padat sangat langka dalam konteks kehidupan suatu rumah tangga yang sehat. Lain halnya, "fomite transmission" mungkin sekali akan terjadi di rumah-rumah sakit atau di rumah yang memiliki anggota keluarga yang sedang terinfeksi.
Sudah diselidiki, virus menempel paling lama pada permukaan lembaran plastik (hingga tiga hari), stainless steel (dua hari), dan karton (satu hari).
Bagi saya, jika anda mau apik dan resik sampai begitu terhadap benda-benda padat dalam rumah anda di masa epidemi ini, ya hidup jadi terlalu ribet. Tidak enak. Loh, memang tidak ada seorang pun yang akan bilang "Waaaah enaaak!" hidup di masa epidemi Covid-19.
"Sewaktu menulis ini, sinar Matahari kubiarkan masuk sebanyak-banyaknya dalam rumah. Pintu dan jendela kubuka. Tapi aku merasa gerah. Tapi juga merasa segar dan lega karena bisa menulis ini."
☆ ioanes rakhmat
9 Juli 2020
pk. 14:30 WIB
12 Juni 2020
____________________________________
7 Juli 2020
PRESIDEN BRAZIL TERINFEKSI VIRUS CORONA. "AKU SUDAH SEMBUH", KATANYA
Jair Bolsonaro, presiden Brazil yang anti-lockdown, dan yang berbulan-bulan menyepelekan Covid-19 sebagai "flu ringan", pada Selasa, 7 Juli 2020, dites positif terinfeksi coronavirus. Dia kena "karma", kata orang.
Dia menolak lockdown, karena, katanya, lockdown akan memukul ekonomi Brazil. Tapi ada harga yang dia harus bayar dengan mahal: sangat banyak penduduk Brazil yang terinfeksi coronavirus dan yang telah mati.
Kasus positif Brazil per 8 Juli 2020, pk. 05:48 GMT, mencapai 1.674.655, dengan jumlah kematian 66.868, tertinggi kedua di dunia di bawah Amerika Serikat (3.097.084 kasus, dengan jumlah kematian 133.972).
Sang presiden dipandang banyak kalangan telah melakukan genosida terhadap penduduk negaranya sendiri.
"Aku sudah sembuh", kata Bolsonaro
Bulan madu Bolsonaro dengan Nona Corona tampaknya segera berakhir tragis. Tapi, dia mengklaim kini dia telah sembuh setelah meminum obat anti-malaria Hydroxychloroquine (HCQ) plus antibiotika Azithromycin. Semoga begitu adanya.
Ada hal yang perlu diketahui. HCQ adalah obat yang dialihgunakan untuk pasien Covid-19. Obat ini telah menimbulkan pro dan kontra terkait manfaatnya sebagai obat Covid-19. Ada hasil-hasil riset-riset yang negatif tentang HCQ yang telah dinyatakan tidak valid. WHO meminta HCQ ditunda dalam penanganan Covid-19.
Nah, Unit Riset Mahidol Oxford Tropical Medicine yang berbasis di Bangkok kini sedang menjalankan uji klinis (kembali) terhadap manfaat HCQ sebagai obat pencegah (bukan penyembuh) Covid-19, atau khususnya dalam penggunaan "post-exposure prophylaxis" (PEP), yakni pemberian obat HCQ sesegera mungkin begitu pasien dites positif terinfeksi.
Uji klinis oleh Mahidol Oxford ini akan dilakukan dalam rentang waktu yang panjang, selama beberapa bulan, dan melibatkan 40.000 partisipan dari Thailand, Inggris, Afrika, dan Amerika Selatan. Dana penelitian bersumber dari Covid-19 Therapeutics Accelerator, yang diprakarsai oleh Bill and Melinda Gates Foundation, Wellcome, dan Mastercard.
"Setelah anda betul-betul sembuh, selamatkanlah rakyat anda, Presiden Bolsonaro!"
☆ ioanes rakhmat
7 Juli 2020
https://www.aljazeera.com/news/2020/07/brazil-bolsonaro-tests-coronavirus-positive-200707161522468.html
https://www.bbc.co.uk/news/amp/world-latin-america-53319517
https://www.bloomberg.com/amp/news/articles/2020-07-03/trump-s-covid-19-drug-to-get-more-scrutiny-in-40-000-person-test
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/brazil/
__________________________________
DR. ANTHONY FAUCI: KASUS HARIAN DI AS AKAN MENCAPAI 100.000 ORANG
3 Juli 2020
Donald Trump menyatakan di saat suhu udara makin menghangat coronavirus "akan lenyap" (17 Juni 2020, Fox News). Di saat dia ucapkan itu, kasus baru positif terinfeksi harian baru mencapai angka 20.000 di AS. Ternyata, suhu udara yang menghangat tidak menjadikan coronavirus kalem, tenang dan beristirahat.
Trump menghendaki lockdown di negara-negara bagian diangkat untuk memulihkan ekonomi dari resesi. Bagi Trump, menyelamatkan ekonomi jauh lebih perlu alih-alih mengendalikan wabah Covid-19.
Meski 69% warga Amerika khawatir akan terinfeksi coronavirus jika negara sekarang dibuka kembali dan ekonomi dijalankan seperti sebelumnya, Trump menyuruh warganya menjadi "petempur" meski akan makin banyak orang sakit dan orang mati. Entahlah, apakah Trump masih waras atau tidak.
https://www.bloomberg.com/amp/news/articles/2020-05-05/trump-says-u-s-must-reopen-even-if-more-americans-get-sick
https://time.com/5855541/trump-coronavirus-fade-away/
Lewat rubrik opini koran Wall Street Journal, 16 Juni 2020, Wapres Mike Pence menegaskan bahwa "Kita sedang memenangkan pertempuran melawan musuh yang tak kelihatan."
https://www.wsj.com/articles/there-isnt-a-coronavirus-second-wave-11592327890
Bagi Pence, kerumunan warga di banyak lokasi dipandang sebagai bukti kemenangan dalam melawan coronavirus. "Apokalipsis Covid" tidak terjadi. Negara-negara bagian sudah dibuka kembali, kota-kota, pantai-pantai, dan tempat-tempat hiburan sudah ramai lagi. Pertempuran sudah selesai. Rakyat sudah menang. Coronavirus sudah pergi jauh. Orang jadi bertanya, apakah ini betulan atau khayalan.
Tetapi, faktanya sekarang, pengangkatan lockdown dan pembukaan kembali ekonomi, bisnis dan tempat-tempat hiburan dll, diiringi juga dengan pelonjakan kasus-kasus positif terinfeksi. Serangan coronavirus terjadi lagi, khususnya di bagian barat dan selatan Amerika Serikat.
Selama akhir Juni dan minggu pertama Juli 2020, rata-rata ada 49.000 kasus baru per hari. Pada 3 Juli kasus baru mencuat sampai 57.562. Bersamaan dengan melonjaknya kasus-kasus baru, jumlah orang yang dimasukkan ke rumah-rumah sakit juga meningkat, pada 7 Juli mencapai 41.700 orang, dengan kasus baru muncul sebanyak 51.888. Nah, dalam situasi seperti ini, niscaya akan ada banyak juga kematian.
https://covidtracking.com/data#chart-annotations
Kini, orang-orang muda Amerika lebih banyak yang terinfeksi, dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Memang bukti-bukti menunjukkan bahwa coronavirus lebih fatal pada orang-orang yang lebih tua dan pada orang-orang yang mengidap penyakit kronis ikutan. Lazimnya diungkap begini, "Makin usia bertambah, risiko juga makin meningkat." Tapi kasus-kasus tak semuanya begitu.
Pada sisi lain, angka kematian nasional karena Covid-19 telah menurun sejak mencapai puncaknya di April 2020, khususnya selama bencana wabah melabrak New York City dan kawasan sekitarnya.
Pada 7 Juli, ada 919 kematian baru di tingkat nasional. Dalam minggu sebelumnya, kematian per hari rata-rata mencapai 517 orang.
"Death rate" yang lebih rendah telah membuat Donald Trump dengan keliru mengklaim pada 4 Juli 2020 di Washington DC bahwa "99%" dari kasus-kasus coronavirus adalah kasus-kasus "yang tidak berbahaya sama sekali."
Tetapi Dr. Anthony Fauci memberi respons, dengan menyatakan bahwa "kegembiraan" atas angka kematian yang rendah adalah "suatu naratif yang salah" tentang pandemi Covid-19. Katanya juga, "ada begitu banyak hal lain yang sangat berbahaya dan sangat buruk" tentang coronavirus. "Jangan anda masuk ke rasa berpuas diri yang palsu", tegasnya pada 7 Juli 2020.
Tetapi, dengan melonjaknya jumlah kasus baru minggu-minggu terakhir ini dalam jumlah yang tinggi, angka kematian atau CFR akan naik dalam beberapa minggu lagi. Ada "a lag of several weeks", suatu "penundaan beberapa minggu (2-3 minggu)", antara suatu infeksi dan kematian, juga di antara orang muda Amerika. Coronavirus tidak hanya membunuh orang lanjut usia (yang lazimnya juga menderita banyak penyakit ikutan atau komorbiditas), tapi juga orang muda. Kerentanan terhadap kematian meningkat sejalan "dengan usia yang bertambah" dan jumlah komorbiditas.
Ketika kasus meningkat dan orang yang dimasukkan ke rumah-rumah sakit melonjak, maka jumlah kematian juga akan naik. Nah, total kematian per hari telah mulai naik di Arizona, Florida, dan Texas. Juga jumlah orang yang dimasukkan ke rumah sakit makin banyak di 23 negara bagian pada hari Minggu, 5 Juli. Sudah ditulis di atas, jumlah mereka pada 7 Juli ada 41.700.
Menurut model yang dibangun Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME), Washington University, diproyeksikan akan ada 80.000 lebih yang masih akan mati sejak 1 Juli hingga November 2020. Menurut proyeksi IHME, pada 1 November 2020 jumlah kematian di AS akan mencapai 208.254,59 orang.
https://covid19.healthdata.org/united-states-of-america
Angka kematian harian dapat datar atau bahkan turun sampai Agustus, menurut proyeksi-proyeksi baru. Tetapi, sangat mungkin kematian akan melonjak kembali dalam musim gugur, sejak puncak tertingginya di bulan April (dengan 27.000 kematian dalam satu hari).
https://news.yahoo.com/fauci-says-emphasis-lower-coronavirus-015200040.html
https://www.businessinsider.com/us-coronavirus-deaths-could-rise-soon-2020-7
Para pejabat negara dan pakar kesehatan mengajukan pendapat yang berbeda-beda tentang penyebab serangan wabah yang berlanjut lagi di banyak negara bagian. Menurut basis data The New York Times, dalam 2 minggu terakhir bulan Juni 2020 jumlah kasus baru terinfeksi telah naik 80%. Tak ada yang meragukan bahwa demo-demo Black Lives Matter di seluruh Amerika ikut berperan dalam lonjakan kasus-kasus baru terinfeksi.
Ada banyak politikus, khususnya mereka yang mendiami Gedung Putih, yang mengklaim bahwa kasus positif baru makin meningkat karena test PCR makin banyak diadakan dengan gencar dan agresif untuk menemukan kasus positif. Realitanya, tidak naif begitu.
Kasus-kasus baru melonjak juga karena ekonomi yang dibuka kembali (di AS sejak Mei 2020), mobilitas warga yang meningkat, "physical distancing" yang makin kurang dijalankan, penularan komunitas yang melonjak, kampanye politik yang menghimpun banyak orang di ruang tertutup, dan ditemukannya "hotspots" baru.
https://www.nytimes.com/2020/06/30/us/politics/fauci-coronavirus.html
Dalam keterangannya di Capitol Hill kepada Komite Senat, 30 Juni 2020, Dr. Anthony Fauci menyatakan bahwa "Kita sekarang memiliki lebih dari 40.000 kasus baru per hari. Aku tidak akan terkejut jika kita melihat jumlah ini naik sampai 100.000 kasus per hari, jika kondisi sekarang ini tidak berubah. Aku pikir penting untuk memberitahu anda dan masyarakat Amerika bahwa aku sangat prihatin karena kondisi ini dapat menjadi sangat buruk."
Dengarkan apa yang diucapkan Dr. Fauci pada video di bawah ini.
Apa yang dikatakan Dr. Fauci tampaknya akan terjadi. Per 3 Juli 2020, pk. 08:23 AM EDT, jumlah kasus aktual positif terinfeksi dalam 1 hari telah mencapai 52.291 orang. Perhatikan infografik di bawah ini. Tentu, prediksi Dr. Fauci bisa tidak terwujud jika secepat mungkin AS mengambil langkah-langkah preventif besar-besaran untuk menghentikan penularan virus. Masalahnya ada di Gedung Putih.
Kotak-kotak pada gambar di atas adalah peta grafik warna negara-negara bagian AS (per 3 Juli 2020). Semakin hijau, tren munculnya kasus-kasus baru semakin turun. Semakin merah, semakin naik tren munculnya kasus-kasus baru. Kotak hijau samar nyaris tak terlihat. Kotak-kotak yang sangat merah telah menjadi "hotspots" coronavirus di AS seluas negara bagian.
Jumat, 3 Juli 2020, sore hari, kasus baru per hari AS berada pada angka 53.483. Sementara 1 hari sebelumnya, Kamis, 2 Juli 2020, tercatat 55.405 kasus.
Perhatikan infografik di bawah ini, Amerika per 8 Juli 2020. Kasus positif terinfeksi mencapai 62.147, dengan 43.004 orang dimasukkan ke rumah sakit.
https://covidtracking.com/data#chart-annotations
Dr. Fauci telah mengingatkan bahwa "Kita tidak dapat melupakan, apa yang sebelumnya tak terbayangkan kini telah menjadi kenyataan yang kita sedang hadapi."
Terkait pertanyaan angka kematian akan meningkat sampai berapa tinggi, beliau tidak menyebut suatu angka. Katanya, "Saya tidak dapat membuat suatu prediksi yang akurat. Tapi kasus-kasus baru yang sangat banyak akan sangat mengganggu. Aku jamin hal ini bagi anda. Sebab ketika anda mengalami wabah di suatu bagian negara, dan meski di bagian-bagian lain negara orang baik-baik saja, mereka juga menjadi rentan."
Direktur CDC AS, Dr. Robert Redfield, pada 25 Juni 2020 (lihat video di bawah ini), mengatakan bahwa jumlah aktual orang yang positif terinfeksi di AS mungkin 10 kali lipat dari jumlah kasus yang terkonfirmasi (2,4 juta orang). Estimasi ini didasarkan pada tes antibodi. Jadi, paling sedikit kini sudah ada 24 juta orang Amerika yang sudah terinfeksi, yakni 5% hingga 8% dari populasi. Dus, 92% hingga 95% orang Amerika rentan terinfeksi. Para ahli menyatakan bahwa data kritikal ini menunjukkan pandemi masih berada di tahap-tahap awal, dan sama sekali belum masuk ke gelombang kedua, dan orang perlu melanjutkan usaha-usaha membatasi penularan virus.
https://www.washingtonpost.com/health/2020/06/25/coronavirus-cases-10-times-larger
Di acara Dr. Anthony Fauci berbicara, chairman federal reserve, Jerome H. Powell, 30 Juni 2020, juga mengingatkan para pembuat hukum ("law makers") bahwa ekonomi AS kini sedang "berada pada momen yang luar biasa tidak pasti.... Suatu pemulihan ekonomi yang penuh tidaklah mungkin sampai orang yakin bahwa situasi sekarang telah aman untuk kembali dapat menjalankan aktivitas-aktivitas dalam banyak bidang.... Suatu gelombang kedua (serangan virus) dapat memaksa orang untuk menarik diri dan menggoyahkan keyakinan umum yang diperlukan untuk kita kembali ke banyak bidang kegiatan ekonomi yang melibatkan kerumunan orang."
Jadi baik Trump maupun Mike Pence memang benar-benar telah salah melangkah. Mereka berdua dan Trump Administration hidup dalam penyangkalan atas fakta-fakta, hidup "in denial". Akibatnya, epidemi Covid-19 di Amerika makin mengganas, gelombangnya makin dipercepat sementara serangan gelombang kedua belum datang, dan ekonomi yang baru dibuka kembali juga terpukul balik. Mereka berdua, demi kepentingan politik, menyebar banyak disinformasi sejak berbulan-bulan lalu. Tump is an American failure.
Tetapi suatu jajak pendapat menunjukkan, kampanye disinformasi Trump terkait epidemi Covid-19 dan kaitannya dengan ekonomi Amerika tidak dipercaya orang Amerika pada umumnya.
https://www.thedailybeast.com/trumps-coronavirus-disinformation-campaign-isnt-working-poll-says
https://www.ipsos.com/en-us/news-polls/daily-beast-coronavirus-fake-news-2020
Situasi Amerika sekarang adalah kelanjutan yang makin intensif dari situasi ketika kasus positif terinfeksi harian masih 20.000. Dr. Fauci menegaskan, "Ketika kasus infeksi per hari 20.000, bagaimana anda berbicara tentang suatu gelombang kedua? Kita masih di gelombang pertama. Mari keluar dari gelombang pertama sebelum anda menghadapi gelombang kedua."
Mari kita tengok sejenak Texas kini (11 Juli 2020). Karena terlalu dini mengangkat lockdown dan membuka kembali ekonomi, kini Texas sedang menghadapi akibatnya: kasus positif dan kematian dan orang yang dimasukkan ke RS meningkat besar, dan lockdown kedua sedang diantisipasi.
Indonesia dapat belajar.
Menurut suatu model proyektif (IHME, University of Washington, dimutakhirkan 7 Juli 2020), jika perintah pemakaian masker wajah tidak dijalankan penduduk, maka pada 1 November 2020 jumlah total kematian akan mencapai 13.449,79 orang. Jika masker dipakai seluruh penduduk, jumlah total kematian turun menjadi 6.442,12 orang.
Pada 1 November, jika penduduk Texas tidak memakai masker wajah, kematian harian pada tanggal itu akan mencapai 187,54 orang. Jika masker dipakai penduduk seluruhnya, kematian pada hari itu turun menjadi 30,11 orang.
Pada 1 November, jika seluruh penduduk Texas tidak memakai masker wajah, maka total orang yang positif terinfeksi akan mencapai 43.754,72 orang. Jika masker dipakai masyarakat umum Texas, jumlah kasus positif turun menjadi 5.789,58.
https://www.texastribune.org/2020/07/10/greg-abbott-shutdown-texas-mask-order/amp/
https://covid19.healthdata.org/united-states-of-america/texas
Well, yang dapat kita petik sebagai sebuah pelajaran adalah ini. Selama kurva kasus harian kumulatif belum turun lalu melandai dan mengempes, seperti kurva AS, ekonomi yang dibuka kembali akan terserang kembali dan orang-orang yang terinfeksi akan makin banyak. Ini bukan serangan gelombang kedua, tapi penularan yang makin membara!
"Jangan naif dan semberono menyatakan bahwa pandemi Covid-19 akan segera berakhir. Yang terburuk masih belum tiba."
☆ ioanes rakhmat
3 Juli 2020
pk. 23:44 WIB
Diedit 11 Juli 2020
pk. 12:12 WIB
___________________________________
28 Juni 2020
"ORANG TANPA GEJALA" (OTG) DIAM-DIAM SEDANG MENGALAMI KERUSAKAN PARU MEREKA SENDIRI
Kita mulai dengan intinya: OTG atau "asymptomatic people" terkait infeksi SARS-CoV-2 dapat roboh dan mati mendadak karena paru mereka sudah rusak diserang coronavirus (dan "badai sitokin") tanpa diketahui oleh mereka atau oleh pekerja medis. Lantaran sebelumnya mereka tidak menunjukkan gejala seperti demam, batuk atau sesak nafas, dan tidak dimasukkan ke dalam rumah sakit. Tidak ada kekebalan alamiah terhadap infeksi virus corona. Tak ada ras unggul yang tak bisa ditaklukkan si Nona Corona.
Virus corona yang menginfeksi OTG sama mematikan dengan virus corona yang menginfeksi orang yang simtomatik. Malah, kerusakan paru pada OTG (dan reaksi sistem imun yang "overdrive" terhadap infeksi virus corona sehingga menimbulkan badai sitokin) dapat membawa orang pada dugaan bahwa virus pada OTG dapat lebih mematikan.
Tapi ada juga orang yang tanpa lewat studi klinis, tapi cuma beropini, menyatakan bahwa virus corona yang menginfeksi OTG adalah virus yang "lame", virus yang lemah atau lumpuh. Opini-opini naif semacam ini banyak beredar di Indonesia, dan ini telah membuat banyak orang Indonesia menganggap remeh wabah Covid-19.
Nah, jangan sekali-kali anda menguji opini yang naif ini dengan membiarkan diri anda menerima masuk droplets atau aerosols dari semburan batuk atau bersin orang yang asimtomatik. Virus corona pada OTG sama mematikan, cuma ada faktor-faktor non-viral yang membuat mereka OTG.
Nah, sejauh ini terdata, ada 40-45% OTG. Jika ditambah 20% "false negative rate", maka jumlah OTG dapat mencapai 65%.
"False negative result" (FNR) diperoleh ketika orang dengan keliru dinyatakan tidak terinfeksi atau kasus mereka negatif setelah melewati "screening tests" padahal mereka sebetulnya positif terinfeksi. FNR terjadi karena level RNA virus SARS-CoV-2 dalam sampel swab pasien terlalu rendah untuk dapat terdeteksi, sehingga hasil test molekuler PCR mereka tidak akurat.
FNR juga terjadi jika sebelum test "real time polymerase chain reaction" (RT-PCR) diadakan, virus SARS-CoV-2 telah di-inaktivasi lewat pemanasan pada suhu 56°c.
Biasanya, OTG yang terdeteksi lewat testing hanya disuruh mengisolasi diri di rumah selama 14 hari, itu pun kalau ditaati. Jika mereka tidak mentaati, tetapi tetap berkeliaran dengan tanpa memakai masker atau tanpa menjaga jarak fisik, maka mereka sebagai pembawa muatan virus akan menularkan virus ke banyak orang lain, di banyak tempat dan lokasi. Bisa lewat aliran aerosol udara yang dihembuskan AC dalam sebuah restoran indoor, atau ketika berada di ruang indoor apapun (ber-AC atau tanpa AC yang tak memiliki ventilasi), atau di banyak tempat dan lokasi lain.
Selama ini, umumnya pekerja medis tidak sampai berpikir bahwa OTG Covid-19 dapat mengalami kerusakan paru diam-diam, "silent lung damage". Mereka bukan cuma "silent carriers of the virus", tapi juga "diam-diam sedang mengalami kerusakan paru".
Pemindaian dengan CT Scan atas paru-paru sejumlah pasien OTG Covid-19 menunjukkan bahwa paru-paru mereka telah rusak, dan bisa juga organ lain telah sama-sama rusak.
Hal itu diketahui dari suatu studi di Wuhan, China (yang melibatkan 58 pasien Covid-19 OTG, usia rata-rata 42,60 plus/minus 16,56 tahun) yang menemukan telah terjadi perubahan-perubahan patologis pada paru-paru mereka sesudah dilakukan pemindaian lewat CT Scan pada waktu mereka dimasukkan ke rumah sakit, yang kemudian dibandingkan dengan hasil pemindaian kembali setelah beberapa waktu.
Ketika dimasukkan ke rumah sakit (Renmin Hospital of Wuhan University), semua pasien tersebut tidak menunjukkan gejala apapun, dan hasil test-test lab mereka normal. Mereka berada di rumah sakit sejak 1 Januari 2020 hingga 23 Februari 2020
Pada tissue (atau jejaring selular dan ekstraselular yang membentuk organ) paru-paru mereka ditemukan kerusakan atau luka atau perubahan abnormal yang menyerupai inflamasi atau radang besar organ paru.
Pada hasil radiologi CT Scan paru, ditemukan ada banyak bercak atau flek seperti awan putih yang sebetulnya muatan cairan (istilah radiologinya GGO, "Ground Glass Opacity"). Juga ditemukan, udara yang lazimnya mengisi saluran udara kecil dalam paru (alveoli) telah berganti dengan zat lain seperti nanah, fluida, darah, air, atau isi perut atau sel-sel mati (istilah radiologinya "lung consolidation").
Inflamasi paru semacam ini tidak hanya terjadi pada pasien OTG Covid-19, tapi juga pada banyak penyakit paru. Bedanya, yang masih belum dapat dijelaskan, meskipun paru OTG tersebut sudah rusak, mereka tidak memperlihatkan gejala atau simtom pneumonia yang tipikal seperti sesak nafas yang berat.
Penderita infeksi virus atau bakteri lain (seperti bakteri superbug MRSA dan bakteri Clostridium difficile) juga ada banyak yang tanpa gejala. Tapi OTG Covid-19 dapat berakhir dengan kerusakan paru dan organ lain. Ini memang menimbulkan banyak pertanyaan.
Para pakar virologi belum memahami betul SARS-CoV-2. Dr. Anthony Fauci, pakar terkemuka penyakit infeksius AS, menyebut virus corona sebagai virus yang "protean", yang dapat "berubah bentuk" sehingga orang yang terinfeksi dapat "simtomatik" atau "asimtomatik" atau dapat juga "prasimtomatik", atau dapat menjadi penderita Covid-19 yang ringan, atau sedang, atau berat atau kritis.
Ikuti lewat video di bawah ini (terpasang di CBS News/27 Juni 2020) ucapan Dr. Anthony Fauci yang disampaikannya pada acara briefing coronavirus task force Gedung Putih, AS, 26 Juni 2020. Antara lain beliau menyatakan bahwa selama berdekade-dekade bekerja di bidang penyakit-penyakit infeksius, "Saya belum pernah melihat apapun yang begitu 'protean' dalam kemampuannya untuk membuat orang sakit atau tidak" seperti coronavirus.
Kembali ke penelitian di Wuhan tersebut di atas. Di antara 58 pasien Covid-19 OTG ini, 16 pasien (27,6%) menunjukkan simtom setelah dimasukkan ke rumah sakit, termasuk demam, batuk, rasa lelah, nafas pendek, dan diare.
Dari antara 16 pasien ini, 10 pasien (62,5%) mengalami kerusakan paru yang berlanjut, 3 pasien (18,75%) mengalami perbaikan kerusakan paru, dan 3 pasien (18,75%) tak mengalami perubahan kerusakan paru.
Pemindaian paru oleh CT Scan pada waktu pasien dimasukkan ke rumah sakit, menunjukkan abnormalitas pada seluruh pasien. Kurang dari separuh pasien (24 orang atau 41,4%) memperlihatkan kerusakan paru bilateral; 34 pasien (58,6%) menunjukkan distribusi kerusakan paru unilateral, termasuk 14 pasien (24,1%) di paru kiri; dan 20 pasien (34,5%) di paru kanan. Kerusakan ditemukan kebanyakan pada lokasi periferial (44 pasien atau 75,9%); dan 14 pasien (24,1%) memperlihatkan distribusi kerusakan bagian pusat paru.
Lewat CT Scan, dari semua pasien Covid-19 OTG, GGO ditemukan pada 55 pasien (94,8%). "Konsolidasi paru" dialami 3 pasien (5,2%).
Di saat pemindaian dengan CT Scan dilakukan ketika 58 pasien masuk rumah sakit, paru-paru mereka ditemukan abnormal, sudah rusak. Ketika diperiksa ulang dengan CT Scan, kerusakan terfusi membentuk "tanda-tanda penebalan partisi antarlobus dan di dalam lobus paru pada tempat-tempat yang terisolasi" (istilah radiologinya "patchy, crazy-paving signs"), atau, sebaliknya, membentuk pola kerusakan yang menyebar dalam lobus-lobus paru yang majemuk atau terdistribusi bilateral. Beberapa pasien menunjukkan "konsolidasi paru" pada citra radiologis CT Scan.
Jadi, kita telah lihat, OTG Covid-19 tidak cukup hanya diminta untuk mengisolasi diri selama 14 hari. Pemindaian paru mereka lewat CT Scan bernilai besar untuk menskrining dan mendeteksi pasien-pasien pneumonia Covid-19, khususnya dalam kasus-kasus OTG yang sangat mencurigakan, dengan hasil test-test molekuler asam nukleat (atau test PCR atau test material genetik RNA/DNA virus SARS-CoV-2) yang negatif.
"Kebanyakan kita selama ini berasumsi, OTG Covid-19 membahayakan orang lain. Tapi faktanya adalah OTG sendiri dalam bahaya besar roboh dan mati mendadak karena kerusakan besar telah terjadi pada paru mereka secara bertahap tanpa mereka ketahui."
☆ ioanes rakhmat
Minggu, 28 Juni 2020
Heng Meng, Rui Xong,..., Qing Geng, "CT imaging and clinical course of asymptomatic cases with Covid-19 pneumonia at admission in Wuhan, China", The Journal of Infection, 12 April 2020, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7152865/.
John Kinnear, "Coronavirus: asymptomatic people can still develop lung damage", The Conversation, 25 June 2020, https://theconversation.com/coronavirus-asymptomatic-people-can-still-develop-lung-damage-141154.
https://academic.oup.com/clinchem/article/66/6/794/5815979
https://radiopaedia.org/cases/76307/studies/87945
https://radiopaedia.org/cases/76307/discussion?lang=us
Mari, kembangkan sedikit pengetahuan kita. Apa itu vaksin "terinaktivasi"?
CoronaVac tergolong vaksin "inactivated", yang dikembangkan dari partikel-partikel virus (dalam hal ini, coronavirus) yang di-inaktivasi. Maksudnya, partikel-partikel virus (atau bakteri atau patogen-patogen lain) dibiakkan atau dikultur dan kemampuan mereka untuk menimbulkan penyakit telah dihilangkan atau di-inaktivasi.
Untuk suatu virus spesifik dapat di-inaktivasi, virus ini dibunuh lewat pemanasan atau dengan memakai zat-zat kimiawi tertentu. Lalu sel-sel virus yang telah mati ini dimasukkan atau diinjeksikan ke dalam tubuh, dengan tidak menimbulkan penyakitnya pada manusia.
Meski pun pathogen virusnya telah mati ("inactivated"), sistem imun tubuh masih dapat belajar dari "antigen-antigen" virus ini tentang bagaimana memerangi versi-versi hidup ("active") virus ini di masa selanjutnya ketika terjadi infeksi.
Tentu perlu diberi uraian pendek apa itu antigen. Sesuai dengan namanya, "antigen" atau "antibody generation" adalah zat apapun yang dapat membangkitkan respons imun, yakni, menghasilkan molekul-molekul antibodi yang spesifik.
Antigen-antigen terdapat pada permukaan atau pada bagian dalam virus-virus atau bakteri-bakteri, sebagai protein-protein asing atau fragmen-fragmennya, yang masuk ke tubuh inang lewat suatu infeksi. Namun, dalam beberapa kasus, protein-protein tubuh kita sendiri dapat bertindak sebagai antigen-antigen yang menimbulkan respons otoimun.
Nah, kita berharap, pemerintah Indonesia dapat bermitra dengan SinoVac Biotech untuk vaksin CoronaVac dapat tersedia dalam jumlah besar di Indonesia bagi penduduk Indonesia. Waah, lihat video di bawah ini. Semoga terlaksana. Bukan sebuah video bodong.
N.B. Data Covid-19, per 27 Juni 2020, pk. 17:45 WIB. Global: kasus positif 9.821.596 (beberapa hari lagi akan tembus 10 juta). Kematian global 494.686. Indonesia: kasus positif 52.812. Kematian 2.720.
https://www.businessinsider.com/us-coronavirus-deaths-could-rise-soon-2020-7
Para pejabat negara dan pakar kesehatan mengajukan pendapat yang berbeda-beda tentang penyebab serangan wabah yang berlanjut lagi di banyak negara bagian. Menurut basis data The New York Times, dalam 2 minggu terakhir bulan Juni 2020 jumlah kasus baru terinfeksi telah naik 80%. Tak ada yang meragukan bahwa demo-demo Black Lives Matter di seluruh Amerika ikut berperan dalam lonjakan kasus-kasus baru terinfeksi.
Ada banyak politikus, khususnya mereka yang mendiami Gedung Putih, yang mengklaim bahwa kasus positif baru makin meningkat karena test PCR makin banyak diadakan dengan gencar dan agresif untuk menemukan kasus positif. Realitanya, tidak naif begitu.
Kasus-kasus baru melonjak juga karena ekonomi yang dibuka kembali (di AS sejak Mei 2020), mobilitas warga yang meningkat, "physical distancing" yang makin kurang dijalankan, penularan komunitas yang melonjak, kampanye politik yang menghimpun banyak orang di ruang tertutup, dan ditemukannya "hotspots" baru.
https://www.nytimes.com/2020/06/30/us/politics/fauci-coronavirus.html
Dalam keterangannya di Capitol Hill kepada Komite Senat, 30 Juni 2020, Dr. Anthony Fauci menyatakan bahwa "Kita sekarang memiliki lebih dari 40.000 kasus baru per hari. Aku tidak akan terkejut jika kita melihat jumlah ini naik sampai 100.000 kasus per hari, jika kondisi sekarang ini tidak berubah. Aku pikir penting untuk memberitahu anda dan masyarakat Amerika bahwa aku sangat prihatin karena kondisi ini dapat menjadi sangat buruk."
Dengarkan apa yang diucapkan Dr. Fauci pada video di bawah ini.
Apa yang dikatakan Dr. Fauci tampaknya akan terjadi. Per 3 Juli 2020, pk. 08:23 AM EDT, jumlah kasus aktual positif terinfeksi dalam 1 hari telah mencapai 52.291 orang. Perhatikan infografik di bawah ini. Tentu, prediksi Dr. Fauci bisa tidak terwujud jika secepat mungkin AS mengambil langkah-langkah preventif besar-besaran untuk menghentikan penularan virus. Masalahnya ada di Gedung Putih.
Kotak-kotak pada gambar di atas adalah peta grafik warna negara-negara bagian AS (per 3 Juli 2020). Semakin hijau, tren munculnya kasus-kasus baru semakin turun. Semakin merah, semakin naik tren munculnya kasus-kasus baru. Kotak hijau samar nyaris tak terlihat. Kotak-kotak yang sangat merah telah menjadi "hotspots" coronavirus di AS seluas negara bagian.
Jumat, 3 Juli 2020, sore hari, kasus baru per hari AS berada pada angka 53.483. Sementara 1 hari sebelumnya, Kamis, 2 Juli 2020, tercatat 55.405 kasus.
Perhatikan infografik di bawah ini, Amerika per 8 Juli 2020. Kasus positif terinfeksi mencapai 62.147, dengan 43.004 orang dimasukkan ke rumah sakit.
https://covidtracking.com/data#chart-annotations
Dr. Fauci telah mengingatkan bahwa "Kita tidak dapat melupakan, apa yang sebelumnya tak terbayangkan kini telah menjadi kenyataan yang kita sedang hadapi."
Terkait pertanyaan angka kematian akan meningkat sampai berapa tinggi, beliau tidak menyebut suatu angka. Katanya, "Saya tidak dapat membuat suatu prediksi yang akurat. Tapi kasus-kasus baru yang sangat banyak akan sangat mengganggu. Aku jamin hal ini bagi anda. Sebab ketika anda mengalami wabah di suatu bagian negara, dan meski di bagian-bagian lain negara orang baik-baik saja, mereka juga menjadi rentan."
Direktur CDC AS, Dr. Robert Redfield, pada 25 Juni 2020 (lihat video di bawah ini), mengatakan bahwa jumlah aktual orang yang positif terinfeksi di AS mungkin 10 kali lipat dari jumlah kasus yang terkonfirmasi (2,4 juta orang). Estimasi ini didasarkan pada tes antibodi. Jadi, paling sedikit kini sudah ada 24 juta orang Amerika yang sudah terinfeksi, yakni 5% hingga 8% dari populasi. Dus, 92% hingga 95% orang Amerika rentan terinfeksi. Para ahli menyatakan bahwa data kritikal ini menunjukkan pandemi masih berada di tahap-tahap awal, dan sama sekali belum masuk ke gelombang kedua, dan orang perlu melanjutkan usaha-usaha membatasi penularan virus.
https://www.washingtonpost.com/health/2020/06/25/coronavirus-cases-10-times-larger
Di acara Dr. Anthony Fauci berbicara, chairman federal reserve, Jerome H. Powell, 30 Juni 2020, juga mengingatkan para pembuat hukum ("law makers") bahwa ekonomi AS kini sedang "berada pada momen yang luar biasa tidak pasti.... Suatu pemulihan ekonomi yang penuh tidaklah mungkin sampai orang yakin bahwa situasi sekarang telah aman untuk kembali dapat menjalankan aktivitas-aktivitas dalam banyak bidang.... Suatu gelombang kedua (serangan virus) dapat memaksa orang untuk menarik diri dan menggoyahkan keyakinan umum yang diperlukan untuk kita kembali ke banyak bidang kegiatan ekonomi yang melibatkan kerumunan orang."
Jadi baik Trump maupun Mike Pence memang benar-benar telah salah melangkah. Mereka berdua dan Trump Administration hidup dalam penyangkalan atas fakta-fakta, hidup "in denial". Akibatnya, epidemi Covid-19 di Amerika makin mengganas, gelombangnya makin dipercepat sementara serangan gelombang kedua belum datang, dan ekonomi yang baru dibuka kembali juga terpukul balik. Mereka berdua, demi kepentingan politik, menyebar banyak disinformasi sejak berbulan-bulan lalu. Tump is an American failure.
Tetapi suatu jajak pendapat menunjukkan, kampanye disinformasi Trump terkait epidemi Covid-19 dan kaitannya dengan ekonomi Amerika tidak dipercaya orang Amerika pada umumnya.
https://www.thedailybeast.com/trumps-coronavirus-disinformation-campaign-isnt-working-poll-says
https://www.ipsos.com/en-us/news-polls/daily-beast-coronavirus-fake-news-2020
Sementara Mike Pence menolak adanya gelombang kedua serangan coronavirus (karena baginya, Amerika sedang meraih kemenangan), para pakar kesehatan malah tidak berpikir kalau gelombang kedua telah datang.
Pakar flu dari Universitas Michigan, AS, Dr. Arnold Monto, misalnya, tidak melihat wabah Covid-19 yang kini kembali menerjang Amerika sebagai "gelombang kedua". Menurutnya, "... ini adalah ledakan penularan yang berlanjut."
Video: pakar-pakar kesehatan AS menyatakan bahwa AS belum memasuki terjangan gelombang kedua coronavirus
Situasi Amerika sekarang adalah kelanjutan yang makin intensif dari situasi ketika kasus positif terinfeksi harian masih 20.000. Dr. Fauci menegaskan, "Ketika kasus infeksi per hari 20.000, bagaimana anda berbicara tentang suatu gelombang kedua? Kita masih di gelombang pertama. Mari keluar dari gelombang pertama sebelum anda menghadapi gelombang kedua."
Situasinya memang jadi begitu mengerikan. Ini disadari betul oleh banyak pemimpin negara bagian.
Negara bagian Texas, misalnya, telah tidak bisa mengendalikan epidemi Covid-19. Per 6 Juli 2020, pk. 08:13 GMT, total kasus positif mencapai 200.952 orang, dengan kematian 2.675 orang. Kasus di Texas terbanyak ketiga setelah New York (422.268) dan California (263.223). Akibatnya, Gubernur Texas, Greg Abbott, telah mengumumkam penghentian pembukaan kembali negara sebagai upaya menghentikan penularan virus.
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/
Dalam 4 hari pertama Juli 2020, sejumlah 14 negara bagian mengalami kenaikan kasus baru harian yang tinggi.
Sabtu, 4 Juli, Florida mengonfirmasi kenaikan kasus sebesar 11.458. Ini kali kedua dalam 3 hari muatan kasus ("caseload") bertambah lebih dari 10.000. Lonjakan kasus per hari di Florida ini lebih tinggi dari lonjakan kasus manapun di negara-negara Eropa ketika wabah sedang mengganas.
Selain Florida dan Texas, negara-negara bagian North Carolina, South Carolina, Alaska, Missouri, Idaho, dan Alabama, tercatat mengalami lonjakan tinggi kasus-kasus baru pada Jumat, 3 Juli 2020.
Liburan akhir pekan (Sabtu, 4 Juli) untuk merayakan kemerdekaan AS tahun 1776 juga dikhawatirkan akan menimbulkan lonjakan kasus baru. California, Florida Selatan dan Los Angeles, antara lain, menutup kawasan-kawasan pantai untuk sementara waktu di akhir pekan untuk meredam penyebaran virus di antara kerumunan orang.
https://m.huffpost.com/us/entry/us_5f00f576c5b6ca97091f6485
https://www.latimes.com/california/story/2020-07-02/southern-california-beaches-closed-for-july-4th
https://www.cnn.com/2020/06/28/us/florida-coronavirus-miami-beaches/index.html
Negara bagian Texas, misalnya, telah tidak bisa mengendalikan epidemi Covid-19. Per 6 Juli 2020, pk. 08:13 GMT, total kasus positif mencapai 200.952 orang, dengan kematian 2.675 orang. Kasus di Texas terbanyak ketiga setelah New York (422.268) dan California (263.223). Akibatnya, Gubernur Texas, Greg Abbott, telah mengumumkam penghentian pembukaan kembali negara sebagai upaya menghentikan penularan virus.
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/
Dalam 4 hari pertama Juli 2020, sejumlah 14 negara bagian mengalami kenaikan kasus baru harian yang tinggi.
Sabtu, 4 Juli, Florida mengonfirmasi kenaikan kasus sebesar 11.458. Ini kali kedua dalam 3 hari muatan kasus ("caseload") bertambah lebih dari 10.000. Lonjakan kasus per hari di Florida ini lebih tinggi dari lonjakan kasus manapun di negara-negara Eropa ketika wabah sedang mengganas.
Selain Florida dan Texas, negara-negara bagian North Carolina, South Carolina, Alaska, Missouri, Idaho, dan Alabama, tercatat mengalami lonjakan tinggi kasus-kasus baru pada Jumat, 3 Juli 2020.
Kembang api di atap Empire State Building di New York City, 4 Juli 2020
Liburan akhir pekan (Sabtu, 4 Juli) untuk merayakan kemerdekaan AS tahun 1776 juga dikhawatirkan akan menimbulkan lonjakan kasus baru. California, Florida Selatan dan Los Angeles, antara lain, menutup kawasan-kawasan pantai untuk sementara waktu di akhir pekan untuk meredam penyebaran virus di antara kerumunan orang.
https://m.huffpost.com/us/entry/us_5f00f576c5b6ca97091f6485
https://www.latimes.com/california/story/2020-07-02/southern-california-beaches-closed-for-july-4th
https://www.cnn.com/2020/06/28/us/florida-coronavirus-miami-beaches/index.html
Mari kita tengok sejenak Texas kini (11 Juli 2020). Karena terlalu dini mengangkat lockdown dan membuka kembali ekonomi, kini Texas sedang menghadapi akibatnya: kasus positif dan kematian dan orang yang dimasukkan ke RS meningkat besar, dan lockdown kedua sedang diantisipasi.
Indonesia dapat belajar.
Menurut suatu model proyektif (IHME, University of Washington, dimutakhirkan 7 Juli 2020), jika perintah pemakaian masker wajah tidak dijalankan penduduk, maka pada 1 November 2020 jumlah total kematian akan mencapai 13.449,79 orang. Jika masker dipakai seluruh penduduk, jumlah total kematian turun menjadi 6.442,12 orang.
Pada 1 November, jika penduduk Texas tidak memakai masker wajah, kematian harian pada tanggal itu akan mencapai 187,54 orang. Jika masker dipakai penduduk seluruhnya, kematian pada hari itu turun menjadi 30,11 orang.
Pada 1 November, jika seluruh penduduk Texas tidak memakai masker wajah, maka total orang yang positif terinfeksi akan mencapai 43.754,72 orang. Jika masker dipakai masyarakat umum Texas, jumlah kasus positif turun menjadi 5.789,58.
https://www.texastribune.org/2020/07/10/greg-abbott-shutdown-texas-mask-order/amp/
https://covid19.healthdata.org/united-states-of-america/texas
Well, yang dapat kita petik sebagai sebuah pelajaran adalah ini. Selama kurva kasus harian kumulatif belum turun lalu melandai dan mengempes, seperti kurva AS, ekonomi yang dibuka kembali akan terserang kembali dan orang-orang yang terinfeksi akan makin banyak. Ini bukan serangan gelombang kedua, tapi penularan yang makin membara!
"Jangan naif dan semberono menyatakan bahwa pandemi Covid-19 akan segera berakhir. Yang terburuk masih belum tiba."
☆ ioanes rakhmat
3 Juli 2020
pk. 23:44 WIB
Diedit 11 Juli 2020
pk. 12:12 WIB
___________________________________
28 Juni 2020
"ORANG TANPA GEJALA" (OTG) DIAM-DIAM SEDANG MENGALAMI KERUSAKAN PARU MEREKA SENDIRI
Orang tanpa gejala. Aman dan kebalkah mereka dari sengat virus corona?
Kita mulai dengan intinya: OTG atau "asymptomatic people" terkait infeksi SARS-CoV-2 dapat roboh dan mati mendadak karena paru mereka sudah rusak diserang coronavirus (dan "badai sitokin") tanpa diketahui oleh mereka atau oleh pekerja medis. Lantaran sebelumnya mereka tidak menunjukkan gejala seperti demam, batuk atau sesak nafas, dan tidak dimasukkan ke dalam rumah sakit. Tidak ada kekebalan alamiah terhadap infeksi virus corona. Tak ada ras unggul yang tak bisa ditaklukkan si Nona Corona.
Virus corona yang menginfeksi OTG sama mematikan dengan virus corona yang menginfeksi orang yang simtomatik. Malah, kerusakan paru pada OTG (dan reaksi sistem imun yang "overdrive" terhadap infeksi virus corona sehingga menimbulkan badai sitokin) dapat membawa orang pada dugaan bahwa virus pada OTG dapat lebih mematikan.
Tapi ada juga orang yang tanpa lewat studi klinis, tapi cuma beropini, menyatakan bahwa virus corona yang menginfeksi OTG adalah virus yang "lame", virus yang lemah atau lumpuh. Opini-opini naif semacam ini banyak beredar di Indonesia, dan ini telah membuat banyak orang Indonesia menganggap remeh wabah Covid-19.
Nah, jangan sekali-kali anda menguji opini yang naif ini dengan membiarkan diri anda menerima masuk droplets atau aerosols dari semburan batuk atau bersin orang yang asimtomatik. Virus corona pada OTG sama mematikan, cuma ada faktor-faktor non-viral yang membuat mereka OTG.
Nah, sejauh ini terdata, ada 40-45% OTG. Jika ditambah 20% "false negative rate", maka jumlah OTG dapat mencapai 65%.
"False negative result" (FNR) diperoleh ketika orang dengan keliru dinyatakan tidak terinfeksi atau kasus mereka negatif setelah melewati "screening tests" padahal mereka sebetulnya positif terinfeksi. FNR terjadi karena level RNA virus SARS-CoV-2 dalam sampel swab pasien terlalu rendah untuk dapat terdeteksi, sehingga hasil test molekuler PCR mereka tidak akurat.
FNR juga terjadi jika sebelum test "real time polymerase chain reaction" (RT-PCR) diadakan, virus SARS-CoV-2 telah di-inaktivasi lewat pemanasan pada suhu 56°c.
Biasanya, OTG yang terdeteksi lewat testing hanya disuruh mengisolasi diri di rumah selama 14 hari, itu pun kalau ditaati. Jika mereka tidak mentaati, tetapi tetap berkeliaran dengan tanpa memakai masker atau tanpa menjaga jarak fisik, maka mereka sebagai pembawa muatan virus akan menularkan virus ke banyak orang lain, di banyak tempat dan lokasi. Bisa lewat aliran aerosol udara yang dihembuskan AC dalam sebuah restoran indoor, atau ketika berada di ruang indoor apapun (ber-AC atau tanpa AC yang tak memiliki ventilasi), atau di banyak tempat dan lokasi lain.
Selama ini, umumnya pekerja medis tidak sampai berpikir bahwa OTG Covid-19 dapat mengalami kerusakan paru diam-diam, "silent lung damage". Mereka bukan cuma "silent carriers of the virus", tapi juga "diam-diam sedang mengalami kerusakan paru".
Pemindaian dengan CT Scan atas paru-paru sejumlah pasien OTG Covid-19 menunjukkan bahwa paru-paru mereka telah rusak, dan bisa juga organ lain telah sama-sama rusak.
Hal itu diketahui dari suatu studi di Wuhan, China (yang melibatkan 58 pasien Covid-19 OTG, usia rata-rata 42,60 plus/minus 16,56 tahun) yang menemukan telah terjadi perubahan-perubahan patologis pada paru-paru mereka sesudah dilakukan pemindaian lewat CT Scan pada waktu mereka dimasukkan ke rumah sakit, yang kemudian dibandingkan dengan hasil pemindaian kembali setelah beberapa waktu.
Ketika dimasukkan ke rumah sakit (Renmin Hospital of Wuhan University), semua pasien tersebut tidak menunjukkan gejala apapun, dan hasil test-test lab mereka normal. Mereka berada di rumah sakit sejak 1 Januari 2020 hingga 23 Februari 2020
Pada tissue (atau jejaring selular dan ekstraselular yang membentuk organ) paru-paru mereka ditemukan kerusakan atau luka atau perubahan abnormal yang menyerupai inflamasi atau radang besar organ paru.
Pada hasil radiologi CT Scan paru, ditemukan ada banyak bercak atau flek seperti awan putih yang sebetulnya muatan cairan (istilah radiologinya GGO, "Ground Glass Opacity"). Juga ditemukan, udara yang lazimnya mengisi saluran udara kecil dalam paru (alveoli) telah berganti dengan zat lain seperti nanah, fluida, darah, air, atau isi perut atau sel-sel mati (istilah radiologinya "lung consolidation").
Hasil-hasil CT Scan paru pada penderita pneumonia Covid-19. Tap atau ketuk gambarnya untuk dapat ukuran besar dan zoom-in
Diskusi dan penjelasan radiologis hasil-hasil CT Scan di atas
Penderita infeksi virus atau bakteri lain (seperti bakteri superbug MRSA dan bakteri Clostridium difficile) juga ada banyak yang tanpa gejala. Tapi OTG Covid-19 dapat berakhir dengan kerusakan paru dan organ lain. Ini memang menimbulkan banyak pertanyaan.
Para pakar virologi belum memahami betul SARS-CoV-2. Dr. Anthony Fauci, pakar terkemuka penyakit infeksius AS, menyebut virus corona sebagai virus yang "protean", yang dapat "berubah bentuk" sehingga orang yang terinfeksi dapat "simtomatik" atau "asimtomatik" atau dapat juga "prasimtomatik", atau dapat menjadi penderita Covid-19 yang ringan, atau sedang, atau berat atau kritis.
Ikuti lewat video di bawah ini (terpasang di CBS News/27 Juni 2020) ucapan Dr. Anthony Fauci yang disampaikannya pada acara briefing coronavirus task force Gedung Putih, AS, 26 Juni 2020. Antara lain beliau menyatakan bahwa selama berdekade-dekade bekerja di bidang penyakit-penyakit infeksius, "Saya belum pernah melihat apapun yang begitu 'protean' dalam kemampuannya untuk membuat orang sakit atau tidak" seperti coronavirus.
Kembali ke penelitian di Wuhan tersebut di atas. Di antara 58 pasien Covid-19 OTG ini, 16 pasien (27,6%) menunjukkan simtom setelah dimasukkan ke rumah sakit, termasuk demam, batuk, rasa lelah, nafas pendek, dan diare.
Dari antara 16 pasien ini, 10 pasien (62,5%) mengalami kerusakan paru yang berlanjut, 3 pasien (18,75%) mengalami perbaikan kerusakan paru, dan 3 pasien (18,75%) tak mengalami perubahan kerusakan paru.
Pemindaian paru oleh CT Scan pada waktu pasien dimasukkan ke rumah sakit, menunjukkan abnormalitas pada seluruh pasien. Kurang dari separuh pasien (24 orang atau 41,4%) memperlihatkan kerusakan paru bilateral; 34 pasien (58,6%) menunjukkan distribusi kerusakan paru unilateral, termasuk 14 pasien (24,1%) di paru kiri; dan 20 pasien (34,5%) di paru kanan. Kerusakan ditemukan kebanyakan pada lokasi periferial (44 pasien atau 75,9%); dan 14 pasien (24,1%) memperlihatkan distribusi kerusakan bagian pusat paru.
Lewat CT Scan, dari semua pasien Covid-19 OTG, GGO ditemukan pada 55 pasien (94,8%). "Konsolidasi paru" dialami 3 pasien (5,2%).
Di saat pemindaian dengan CT Scan dilakukan ketika 58 pasien masuk rumah sakit, paru-paru mereka ditemukan abnormal, sudah rusak. Ketika diperiksa ulang dengan CT Scan, kerusakan terfusi membentuk "tanda-tanda penebalan partisi antarlobus dan di dalam lobus paru pada tempat-tempat yang terisolasi" (istilah radiologinya "patchy, crazy-paving signs"), atau, sebaliknya, membentuk pola kerusakan yang menyebar dalam lobus-lobus paru yang majemuk atau terdistribusi bilateral. Beberapa pasien menunjukkan "konsolidasi paru" pada citra radiologis CT Scan.
Jadi, kita telah lihat, OTG Covid-19 tidak cukup hanya diminta untuk mengisolasi diri selama 14 hari. Pemindaian paru mereka lewat CT Scan bernilai besar untuk menskrining dan mendeteksi pasien-pasien pneumonia Covid-19, khususnya dalam kasus-kasus OTG yang sangat mencurigakan, dengan hasil test-test molekuler asam nukleat (atau test PCR atau test material genetik RNA/DNA virus SARS-CoV-2) yang negatif.
"Kebanyakan kita selama ini berasumsi, OTG Covid-19 membahayakan orang lain. Tapi faktanya adalah OTG sendiri dalam bahaya besar roboh dan mati mendadak karena kerusakan besar telah terjadi pada paru mereka secara bertahap tanpa mereka ketahui."
☆ ioanes rakhmat
Minggu, 28 Juni 2020
Heng Meng, Rui Xong,..., Qing Geng, "CT imaging and clinical course of asymptomatic cases with Covid-19 pneumonia at admission in Wuhan, China", The Journal of Infection, 12 April 2020, https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7152865/.
John Kinnear, "Coronavirus: asymptomatic people can still develop lung damage", The Conversation, 25 June 2020, https://theconversation.com/coronavirus-asymptomatic-people-can-still-develop-lung-damage-141154.
https://academic.oup.com/clinchem/article/66/6/794/5815979
https://radiopaedia.org/cases/76307/studies/87945
https://radiopaedia.org/cases/76307/discussion?lang=us
_______________________________
27 Juni 2020
ADA HARAPAN: VAKSIN CORONAVAC PRODUK SINOVAC BIOTECH CHINA
Vaksin CoronaVac produk Sinovac Biotech, China, yang tergolong vaksin "ter-inaktivasi" ("inactivated vaccine"), telah lolos uji klinis tahap I/II. Vaksin ini terbukti aman dan berhasil membangkitkan antibodi penetralisir coronavirus 14 hari setelah vaksinasi (dengan seroconversion rate > 90%).
Vaksin CoronaVac produk Sinovac Biotech, China, yang tergolong vaksin "ter-inaktivasi" ("inactivated vaccine"), telah lolos uji klinis tahap I/II. Vaksin ini terbukti aman dan berhasil membangkitkan antibodi penetralisir coronavirus 14 hari setelah vaksinasi (dengan seroconversion rate > 90%).
Video reportase CoronaVac SinoVac Biotech
CoronaVac terlihat berhasil menstimulir respons imun yang positif. Imunogenisitas terbentuk pada orang yang telah divaksinasi.
Sebelumnya, dalam uji praklinis, CoronaVac aman diuji ke monyet-monyet rhesus (beruk) dan berhasil memberi perlindungan kepada monyet-monyet ini. Laporan uji praklinis ini, yang sudah melewati "peer-review", dimuat baru-baru ini dalam jurnal Science.
Vaksin ini akan digunakan global untuk mengeliminasi penyakit manusia. Pabrik vaksin untuk tujuan komersial sedang dibangun di China untuk memproduksi 100 juta dosis per tahun.
Instituto Butantan di Brazil membangun kemitraan dengan SinoVac Biotech untuk mensponsori uji klinis tahap III di sana dengan melibatkan 9.000 pekerja medis dalam bulan Juli 2020. Jika uji klinis tahap III ini sukses, vaksin akan didistribusikan di Brazil Juni 2021.
Menurut Instituto Butantan, CoronaVac dikembangkan berdasar suatu teknologi yang dapat dipercaya dan sudah terkenal; jadi cocok untuk dimasukkan ke program imunisasi kesehatan publik Brazil. Penandatanganan kerjasama ini telah dilakukan 11 Juni 2020.
Dr. Dimas Covas, direktur Insituto Butantan (produsen terkemuka produk-produk imunobiologis di Brazil), menyatakan bahwa "Pandemi ini mendatangkan suatu dampak tragis di seluruh dunia; dan kerjasama yang istimewa dengan SinoVac untuk menjalankan uji klinis tahap akhir (tahap III) akan mendatangkan harapan untuk kita memiliki suatu vaksin dalam jangka pendek. Butantan berharap untuk mendukung bukan hanya pengembangan klinis, tapi juga komersialisasi dan kegiatan-kegiatan produksi CoronaVac di Brazil."
Sebelumnya, dalam uji praklinis, CoronaVac aman diuji ke monyet-monyet rhesus (beruk) dan berhasil memberi perlindungan kepada monyet-monyet ini. Laporan uji praklinis ini, yang sudah melewati "peer-review", dimuat baru-baru ini dalam jurnal Science.
Vaksin ini akan digunakan global untuk mengeliminasi penyakit manusia. Pabrik vaksin untuk tujuan komersial sedang dibangun di China untuk memproduksi 100 juta dosis per tahun.
Instituto Butantan di Brazil membangun kemitraan dengan SinoVac Biotech untuk mensponsori uji klinis tahap III di sana dengan melibatkan 9.000 pekerja medis dalam bulan Juli 2020. Jika uji klinis tahap III ini sukses, vaksin akan didistribusikan di Brazil Juni 2021.
Menurut Instituto Butantan, CoronaVac dikembangkan berdasar suatu teknologi yang dapat dipercaya dan sudah terkenal; jadi cocok untuk dimasukkan ke program imunisasi kesehatan publik Brazil. Penandatanganan kerjasama ini telah dilakukan 11 Juni 2020.
Dr. Dimas Covas, direktur Insituto Butantan (produsen terkemuka produk-produk imunobiologis di Brazil), menyatakan bahwa "Pandemi ini mendatangkan suatu dampak tragis di seluruh dunia; dan kerjasama yang istimewa dengan SinoVac untuk menjalankan uji klinis tahap akhir (tahap III) akan mendatangkan harapan untuk kita memiliki suatu vaksin dalam jangka pendek. Butantan berharap untuk mendukung bukan hanya pengembangan klinis, tapi juga komersialisasi dan kegiatan-kegiatan produksi CoronaVac di Brazil."
Mari, kembangkan sedikit pengetahuan kita. Apa itu vaksin "terinaktivasi"?
CoronaVac tergolong vaksin "inactivated", yang dikembangkan dari partikel-partikel virus (dalam hal ini, coronavirus) yang di-inaktivasi. Maksudnya, partikel-partikel virus (atau bakteri atau patogen-patogen lain) dibiakkan atau dikultur dan kemampuan mereka untuk menimbulkan penyakit telah dihilangkan atau di-inaktivasi.
Untuk suatu virus spesifik dapat di-inaktivasi, virus ini dibunuh lewat pemanasan atau dengan memakai zat-zat kimiawi tertentu. Lalu sel-sel virus yang telah mati ini dimasukkan atau diinjeksikan ke dalam tubuh, dengan tidak menimbulkan penyakitnya pada manusia.
Meski pun pathogen virusnya telah mati ("inactivated"), sistem imun tubuh masih dapat belajar dari "antigen-antigen" virus ini tentang bagaimana memerangi versi-versi hidup ("active") virus ini di masa selanjutnya ketika terjadi infeksi.
Tentu perlu diberi uraian pendek apa itu antigen. Sesuai dengan namanya, "antigen" atau "antibody generation" adalah zat apapun yang dapat membangkitkan respons imun, yakni, menghasilkan molekul-molekul antibodi yang spesifik.
Antigen-antigen terdapat pada permukaan atau pada bagian dalam virus-virus atau bakteri-bakteri, sebagai protein-protein asing atau fragmen-fragmennya, yang masuk ke tubuh inang lewat suatu infeksi. Namun, dalam beberapa kasus, protein-protein tubuh kita sendiri dapat bertindak sebagai antigen-antigen yang menimbulkan respons otoimun.
Nah, kita berharap, pemerintah Indonesia dapat bermitra dengan SinoVac Biotech untuk vaksin CoronaVac dapat tersedia dalam jumlah besar di Indonesia bagi penduduk Indonesia. Waah, lihat video di bawah ini. Semoga terlaksana. Bukan sebuah video bodong.
N.B. Data Covid-19, per 27 Juni 2020, pk. 17:45 WIB. Global: kasus positif 9.821.596 (beberapa hari lagi akan tembus 10 juta). Kematian global 494.686. Indonesia: kasus positif 52.812. Kematian 2.720.
Data Covid-19 per 9 Juli 2020, pk. 22:45 WIB. Indonesia, kasus per hari ini 70.736, dengan ledakan pertambahan 2.657 kasus positif baru. Dunia mencapai 12.250.127 kasus, dengan jumlah kematian 553.972.
"Vaksin Covid-19 yang aman dan ampuh adalah ibarat fajar yang datang setelah begitu lama dunia tenggelam dalam kekelaman malam."
☆ ioanes rakhmat
27 Juni 2020
9 Juli 2020
https://www.clinicaltrialsarena.com/news/sinovac-coronavac-data/
https://www.clinicaltrialsarena.com/news/sinovac-vaccine-trials-brazil/
https://www.sigmaaldrich.com/technical-documents/articles/biology/antigens-epitopes-antibodies.html
https://www.biospace.com/article/releases/sinovac-and-butantan-join-efforts-to-advance-the-clinical-development-of-an-inactivated-vaccine-for-covid-19-to-phase-iii/
https://coronavirus.jhu.edu/map.html
"Vaksin Covid-19 yang aman dan ampuh adalah ibarat fajar yang datang setelah begitu lama dunia tenggelam dalam kekelaman malam."
☆ ioanes rakhmat
27 Juni 2020
9 Juli 2020
https://www.clinicaltrialsarena.com/news/sinovac-coronavac-data/
https://www.clinicaltrialsarena.com/news/sinovac-vaccine-trials-brazil/
https://www.sigmaaldrich.com/technical-documents/articles/biology/antigens-epitopes-antibodies.html
https://www.biospace.com/article/releases/sinovac-and-butantan-join-efforts-to-advance-the-clinical-development-of-an-inactivated-vaccine-for-covid-19-to-phase-iii/
https://coronavirus.jhu.edu/map.html
________________________________
26 Juni 2020
KEMATIAN KARENA COVID-19 DAN KEMATIAN LAIN ORANG AMERIKA
"Oh Tuhan. Di manakah ini akan berakhir? Kita masih berada di awal."
• Dr. Anthony S. Fauci (pakar terkemuka penyakit infeksius, AS)
Jumlah kematian karena perang, epidemi, serangan, dan bencana (angka-angka dibulatkan)
Pearl Harbour (1941): 2.400
Serangan teror 11 Sept 2001: 3.000
Gempabumi San Francisco 1906: 3.000
Badai Galveston 1900: 8.000
Perang Korea (1950-53): 36.600
Perang Vietnam (1955-75): 58.200
Perang Dunia I (1914-18): 116.500
Covid-19 (per 16 Juni 2020): 117.000
Perang Dunia II (1939-45): 405.500
Flu Spanyol 1918-19: 675.000
The fight against Covid-19 is not over! We are still at the beginning of it.
Pertempuran melawan Covid-19 belum selesai. Kita masih berada di awal. Tak ada seorang pun yang berharap bahwa jumlah korban Covid-19 di AS nanti akan mencapai jumlah korban Perang Dunia II!
"Ada kematian yang bisa dielakkan. Ada yang tidak bisa. Kematian karena Covid-19 bisa diminimalisir dan dihentikan, jika manajemen krisis atas bencana ini dilaksanakan dengan cepat, cermat, tepat dan ketat."
☆ ioanes rakhmat
https://www.latimes.com/world-nation/story/2020-05-01/covid-19-death-toll-wars-disasters
https://www.battlefields.org/learn/articles/civil-war-facts
Persentase kematian berdasar jumlah populasi di saat kejadian
Perang Sipil (1861-65): 620.000 (1,973%)
Pandemi Flu Spanyol (1918-19): 675.000 (0,654%)
Perang Dunia II (1939-45): 405.399 (0,301%)
Penyakit Jantung (rata-rata per tahun): 647.457 (0,197%)
Kanker (rata-rata pertahun): 599.108 (0,183%)
Perang Dunia I (1914-18): 116.516 (0,113%)
Pandemi Flu (1957-58): 116.000 (0,067%)
Pandemi Flu (1968-69): 100.000 (0,050%)
Covid-19 (per 24 Juni 2020): 121.846 (0,037%)
Perang Vietnam (1955-75): 58.220 (0,030%)
Perang Korea (1950-53): 36.574 (0,024%)
Flu Musiman (2017-18): 61.000 (0,019%)
Flu Musiman (2016-17): 38.000 (0,012%)
Flu Musiman (2018-19): 34.157 (0,010%)
Pandemi Flu (2009): 12.469 (0,004%)
"Jika dilihat persentase kematian orang Amerika karena Covid-19, angka 0,037% terkesan kecil. Tapi jika dilihat jumlah orang yang telah mati, 124.415 (per 26 Juni 2020, pk. 03:00 AM EDT/pk. 19:12 WIB), terlihat jelas bahwa kematian karena Covid-19 di sana adalah suatu mimpi buruk."
☆ ioanes rakhmat
https://elemental.medium.com/amp/p/2a7495a43280
Dua tempat saya mau sebut pada momen ini, Bergamo dan New York City.
Bergamo, suatu provinsi di Italia utara, berpenduduk kurang dari 1 juta orang. Lazimnya, per bulan ada kurang dari 1.000 orang yang mati. Tapi selama puncak epidemi Covid-19, Maret 2020, hampir 6.000 orang telah mati, 6,67 kali lipat. (Data resmi, 3.000 kematian). Mungkin, sejauh ini, Bergamo adalah tempat yang terpukul paling keras dalam dunia oleh Covid-19.
Walkot Bergamo, Giorgio Gori, menegaskan, "Tapi kami tidak dapat mengatakan bahwa provinsi Bergamo telah mencapai 'herd immunity'".
New York City, yang lama menjadi episentrum epidemi di AS, telah mengalami salah satu pelonjakan paling ekstrim dalam kematian karena Covid-19. Dalam April 2020, kematian mencapai hampir 6 kali lipat (persisnya 5,83 kali lipat) dari jumlah kematian normal per bulan. Puncak kematian terjadi pada 7-9 April 2020, dengan rerata 10.824 orang. Mengerikan!
Per 29 Juni 2020, pukul 11:32 GMT, di New York terdata ada 416.787 kasus positif, total kematian 31.484, dan kasus aktif 296.266.
"Ketika orang membicarakan kematian, maka segera muncul dalam diri kita rasa takut, rasa ngeri, rasa tak suka, rasa galau, rasa terancam, dan rasa tak berdaya. Betulkah kematian tak bisa dikalahkan sekarang dalam dunia kita?"
☆ ioanes rakhmat
26 Juni 2019
pk. 23:30 WIB
29 Juni 2020
https://www.aa.com.tr/en/europe/bergamo-italy-to-leave-virus-behind-via-renaissance/1870923
https://www.nytimes.com/interactive/2020/06/10/world/coronavirus-history.html
https://coronavirus.jhu.edu/data/new-cases-50-states/new-york
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/
_______________________________________
22 Juni 2020
"LOCKDOWN LONELINESS" HARUS DITANGANI
Di masa pandemi Covid-19, jika "lockdown" tidak diberlakukan, orang yang mati karena tertular virus corona akan luar biasa jauh lebih banyak dibandingkan jika lockdown diberlakukan.
Itu sudah jelas karena lockdown bertujuan untuk memperlambat atau menyetop penyebaran virus lewat karantina ketat suatu kawasan, suatu daerah atau suatu kota yang telah menjadi "hotspots" virus corona yang menyebar dari sana.
Heran makanya, jika ada orang yang mempersalahkan lockdown. Mereka lebih suka melihat makin banyak orang yang terinfeksi dan makin banyak orang yang mati.
Mereka itulah penganut ide "natural herd immunity" (NHI) yang berkhayal bahwa jika orang dibiarkan berinteraksi sosial dengan bebas, lalu terinfeksi virus, mereka akan jatuh sakit, tetapi mereka akan sembuh sendiri, sekaligus menerima imunitas alamiah, tanpa lewat vaksinasi. Setelah 70-80% populasi suatu negara terinfeksi, maka akan dicapai kekebalan umum yang membuat seluruh populasi suatu negara tidak bisa lagi terinfeksi. Dengan begitu, penyebaran wabah terhenti sendiri. Selain itu, kata mereka (dalam khayalan) ekonomi negara tidak akan terganggu.
Mereka tentu tahu, ekonomi yang terhantam masih bisa diperbaiki, tetapi nyawa yang sudah melayang tak bisa dibeli kembali. Akan ada berapa persen penduduk yang akan mati ("Infection Fatality Rate", yakni rasio antara jumlah kematian dan jumlah aktual orang yang terinfeksi), tidak mereka mau perhitungkan. Akan tinggi sekali.
Ide NHI sungguh-sungguh suatu ide khayalan, yang dipercaya para epidemiolog Swedia yang telah gagal total dengan strategi NHI mereka. Kematian di sana sangat tinggi (jauh di atas tiga negara Nordik lainnya Denmark, Finlandia dan Norwegia yang memberlakukan lockdown!), sekaligus ekonomi juga terperosok ke dalam krisis.
Di bawah ini, saya berikan kurva kasus positif terinfeksi harian per 22 Juni 2020 di Swedia, Inggris, Belanda, Denmark, Norwegia dan Finlandia. Tap atau ketuk gambarnya untuk dapat ukuran besar. Terdata, kasus positif di Swedia tertinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan Denmark, Norwegia dan Finlandia.
https://ourworldindata.org/grapher/daily-cases-covid-19?yScale=log&time=2020-02-01..&country=SWE~FIN~NLD~NOR~DNK~GBR
Di bawah ini kurva "Case Fatality Rate" atau persentase kematian per 23 Juni 2020. CFR Swedia jauh di atas CFR tiga negara Nordik lainnya yang menjalankan lockdown, tidak memakai pendekatan NHI (Denmark, Finlandia, Norwegia).
https://ourworldindata.org/grapher/coronavirus-cfr?time=2020-03-10..&country=DNK~FIN~NOR~SWE
https://www.nytimes.com/interactive/2020/06/10/world/coronavirus-history.html
Karena pendekatan NHI, jumlah kematian di Stockholm, Swedia, hampir mencapai 3 kali kematian normal di Swedia sejak pertengahan April hingga Mei 2020.
Terbaca pada infografik di atas (dipublikasi 21 Mei 2020), karena Covid-19 di Swedia 376 orang mati per 1 juta penduduk. Sedangkan di Denmark, 96 per 1 juta; di Finlandia, 55 per 1 juta; dan di Norwegia 44 per 1 juta.
https://www.theguardian.com/world/2020/may/21/just-7-per-cent-of-stockholm-had-covid-19-antibodies-by-end-of-april-study-sweden-coronavirus
Tak ada kepastian dalam diri para pakar penyakit infeksius bahwa pasien Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh pasti memiliki antibodi yang kuat dalam jumlah besar untuk melindungi tubuh dari serangan infeksi berikutnya. Imunitas penyintas Covid-19 sangat diragukan. Juga, jumlah orang yang mati karena Covid-19 bukan sedikit.
Data dari Johns Hopkins University per 22 Juni 2020, pukul 18:16 WIB (June, 22, 2020, 03:00 AM EDT), angka kematian karena Covid-19 global sudah mencapai 468.589 orang, dan jumlah orang yang terinfeksi tercatat 8.970.977 (beberapa jam lagi akan tembus 9 juta kasus). Di AS, jumlah orang yang mati sudah 119.977, dengan jumlah kasus terkonfirmasi kini tercatat 2.280.969. Tercatat ada 46.845 kasus terkonfirmasi di Indonesia, dengan jumlah kematian 2.500. Dalam 5 hari terakhir, setiap hari kasus positif di Indonesia bertambah rata-rata 1.331 kasus. Jadi, anda masih mau "main-main" atau "berdamai" dengan si Nona Corona?
https://coronavirus.jhu.edu/data/new-cases
Tentu, jika lockdown terlalu lama diberlakukan, selain ekonomi negara pasti terpukul keras, kesepian juga makin dalam menggerogoti kehidupan setiap individu, selain rasa takut, cemas, dan rasa sedih. "Lockdown loneliness" adalah hal yang tidak baik. Harus diatasi, atau orang yang mengalaminya harus ditolong.
Sebuah kajian oleh Office of National Statistics, Inggris, menemukan bahwa ada 7,4 juta orang di sana yang kini menderita "lockdown loneliness".
Juga riset atas 5.260 orang di Inggris (3 April hingga Mei 2020) menemukan fakta bahwa orang yang paling kuat terdampak oleh lockdown adalah orang yang masih muda, lajang, hidup sendirian, atau sudah bercerai.
https://www.telegraph.co.uk/health-fitness/mind/lockdown-loneliness-soaring-sociable-important-health/
Sebuah riset lain menemukan bahwa orang yang secara sosial terisolasi, kemungkinan lebih cepat mati rata-rata naik 29%. Orang yang kesepian, kemungkinan mati lebih awal rata-rata naik 26%, dan orang yang hidup sendiri, 32%.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25910392/
Sebuah riset longitudinal sejak awal pandemi Covid-19 oleh Institute for Social and Economic Research, University of Sussex, Inggris, menemukan bahwa perempuan lebih terdampak negatif oleh isolasi sosial selama lockdown. Masalah mental selama lockdown meningkat baik pada pria (dari 7% sebelum lockdown menjadi 18% di saat lockdown) maupun pada wanita (dari 11% meningkat ke 27%).
Faktor ekonomi menjadi alasan utama mengapa lebih banyak perempuan mengalami dampak mental dari pandemi dibandingkan lelaki. Selain juga karena perempuan harus lebih banyak mengurus rumahtangga, memelihara anak, makin terkendala untuk berolahraga, dan kehilangan banyak kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan teman-teman mereka.
Lebih dari sepertiga perempuan (34%) mengatakan kadangkala merasa kesepian, dan 11% sering merasa kesepian. Di antara lelaki, 23% kadangkala merasa kesepian, dan hanya 6% yang merasa sering kesepian.
Perempuan usia di bawah 30 paling banyak mengalami dampak mental yang ditimbulkan oleh krisis-krisis epidemi Covid-19. Lelaki usia antara 50-69 paling sedikit terdampak.
Orang yang sebelum pandemi memiliki lebih sedikit teman kurang terdampak. Kebijakan "social distancing" tidak terlalu berpengaruh pada mereka.
https://www.theguardian.com/world/2020/jun/14/one-third-of-uk-women-are-suffering-from-lockdown-loneliness
Di masa epidemi Covid-19, tanpa lockdown dijalankan pun dalam masyarakat Indonesia, kemungkinan makin besar, bukan makin turun, untuk orang merasa tidak aman, takut tertular virus, mengalami berbagai gangguan mental, stres, cemas dan gangguan tidur. Bahkan orang makin takut keluar rumah jika di kawasan sekitar dan di tempat-tempat lain orang berperilaku "semau gue", membuat kerumunan tanpa terkendali, dan tak mentaati protokol kesehatan di masa pandemi belum berakhir.
Tanpa lockdown diberlakukan pemerintah pun, kebanyakan orang yang sadar diri dan sadar lingkungan, tidak berperilaku dablek, dan tahu seberapa jauh virus corona akan merusak tubuh orang yang sudah terinfeksi, dan seberapa tajam sengat kematian dari virus ini, akan memilih tetap "stay at home" dan me-"lockdown" diri mereka dan keluarga mereka sendiri.
Ketika sedang berusaha keras menanggulangi Covid-19 di negerinya, PM New Zealand, Ms. Jacindra Ardern, mengajak penduduk NZ untuk bekerja sebagai "satu tim lima juta orang", dan mendorong warganya "untuk bertindak seolah mereka semua sedang terjangkit Covid-19, lalu berdiam dalam 'bubble' masing-masing di rumah."
Kini NZ dinyatakan sudah "bebas virus corona". Ini bisa terjadi karena NZ memberlakukan "lockdown" ketat dengan sangat segera dan agresif, tanpa menunda. Tentang keberhasilan NZ, sudah pernah saya tulis juga; tulisannya ada pada kronik ini (lihat di bawah, tanggal 10 Juni 2020).
https://theconversation.com/why-new-zealands-coronavirus-cases-will-keep-rising-for-weeks-even-in-level-4-lockdown-134774
Lihat juga video youtube https://m.youtube.com/watch?v=ShWPNtell50.
Di atas, Swedia telah saya sebut. Nah, New Zealand memakai strategi penanggulangan Covid-19 yang berbeda dari strategi Swedia. Yakni strategi "mengeliminasi virus corona" lewat lockdown agresif dan protokol menjaga kesehatan diri dan kesehatan umum sebagai "satu tim lima juta warga". Lihat video di bawah ini yang membandingkan strategi dua negara ini dan hasil-hasilnya.
Well, setelah masa PSBB ("a soft lockdown") lewat dan masyarakat Indonesia memasuki masa "new normal", kesepian tetap masih akan dialami banyak orang. Tak ada orang yang bisa bergembira ria karena wabah Covid-19 masih akan berlangsung lama.
Kita semua takut virus corona. Meski demikian, kita harus berani dan cerdas melawan virus ini. Tetapi, kata Prof. John Oxford, dari Queen Mary University, Inggris, ada juga "suatu virus sosial" yang dapat membuat kita lebih cepat mati karena terputus dari interaksi sosial lewat "physical distancing" dan "stay at home". Yang perlu dicapai adalah bagaimana interaksi sosial kita tidak hilang, sementara protokol kesehatan seperti memakai masker wajah kita jalankan di masa epidemi ini.
https://www.telegraph.co.uk/women/life/looming-threat-coronavirus-even-scarier-single/
Jadi, dibutuhkan keterlibatan komunitas-komunitas, gereja misalnya, untuk membantu orang keluar dari "lockdown loneliness" meski mereka tetap "stay at home". Perangkat komunikasi nirkabel smartphones sudah lama dipakai untuk mengatasi kesepian, misalnya lewat video call, atau video calling apps seperti Zoom atau FaceTime, untuk berinteraksi jarak jauh, dengan melihat wajah, dan bercakap-cakap.
Tetapi kita membutuhkan lebih dari itu. Kesepian karena kehilangan interaksi sosial secara fisik, tatap muka, harus diatasi.
Mari kita dengarkan video di bawah ini yang berisi nasihat direktur WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, tentang mempertahankan kesehatan raga dan mental kita di masa pandemi ini.
Well, lewat risetnya, Prof. Julianne Holt-Lunstad, ahli psikologi, Brigham Young University, menemukan bahwa "kesepian dapat meningkatkan risiko anda mati sebelum waktunya, sebesar 30%. Ini sama dengan akibat dari merokok 15 batang sigaret per hari, dan lebih berbahaya dari obesitas. Isolasi sosial juga berakibat pada timbulnya radang, penyakit jantung dan dementia.
Perjumpaan dan percakapan tatap muka lewat layar smartphones dan PC tidak memberi efek yang sama kuatnya dengan perjumpaan fisik aktual, dekat, bertatapmuka, yang membuat kita dapat mencium aroma tubuh teman dan dapat menyentuh tubuh mereka.
Perjumpaan fisik ini "mengalirkan info" ke amygdala dalam otak kita, yang menjadi pusat emosi kita. Selain itu, semua aktivitas perjumpaan fisik yang ditangkap indra-indra kita yang dasariah dan primitif menghasilkan hormon oksitosin (hormon sosial atau hormon cinta) yang membuat rasa gembira muncul, lalu hormon kortisol (hormon stres atau kecemasan atau depresi) lenyap, diganti dengan hormon endorfin (hormon pereda rasa sakit atau hormon penenang) yang membuat kita merasa damai dan kalem.
Ada "interface" antara sistem saraf kita yang memproduksi hormon-hormon dan sistem imun kita. Semakin merasa sepi, takut, cemas dan gelisah, semakin menurun kekuatan sistem imun kita.
Memberi perhatian dan empati pada orang lain yang mengisolasi diri, lewat berbagai cara, bukan saja membawa kebaikan kepada orang yang kita perhatikan, tapi juga kepada diri kita sendiri. Di saat kita melakukan hal itu, hormon dopamin (hormon kebahagiaan) terproduksi dan mengalir masuk ke fisiologi tubuh kita yang akan memperkuat sistem imun kita.
Sistem imun yang dibuat lebih kuat lewat interaksi sosial secara fisik, sangat diperlukan untuk melawan epidemi ini. Bukan lewat vitamin dan suplemen makanan saja, atau lewat berjemur di bawah cahaya Matahari pagi, tetapi juga lewat "vitamin sosial", yakni interaksi dan kontak sosial.
Jadi, harus ditemukan terobosan-terobosan bagaimana interaksi dan perjumpaan sosial secara fisik dapat terjadi tanpa membuat kita terpapar pada virus corona.
Nah, "social bubble" yang pernah saya tulis (post 17 Juni di bawah), sangat relevan dipertimbangkan dan dijalankan, sesuai sikon masing-masing komunitas dan kecakapan para pemuka komunitas.
"Ketika siapapun kesepian, Tuhan pun dirasakan jauh di sana dan juga sama-sama kesepian. Bagaimanapun juga, dalam kesepian, Tuhan masih bisa kita ajak berbicara. Belajarlah mendengar suara Tuhan yang sunyi."
☆ ioanes rakhmat
22 Juni 2020
9 Juli 2020
____________________________________
INDONESIA: SELAMATKAN WARGA DAN SELAMATKAN EKONOMI!
20 Juni 2020
Saya awali dengan penyajian data statistik Covid-19 di Indonesia, dengan menonjolkan provinsi DKI Jakarta.
https://jeo.kompas.com/update-pergerakan-data-harian-covid-19-di-indonesia
Kurva kasus terinfeksi harian kumulatif terus menanjak, baik kurva DKI maupun kurva nasional. Hanya data yang dimanipulasi, yang akan menghasilkan kurva yang sudah tiba di puncaknya ("plateauing") lalu mulai turun dan melandai.
Artinya, orang yang terinfeksi virus corona di Indonesia terus bertambah. Kasus-kasus baru terdeteksi makin banyak bisa karena test RT (antibodi) atau test PCR (swab) sedang gencar dan meluas diadakan (dalam batas kuota yang disediakan per daerah), dan juga karena jumlah orang yang betul-betul sakit (terinfeksi) dan menunjukkan simtom atau gejala yang nyata memang makin banyak, lalu dimasukkan ke rumah sakit atau melakukan isolasi mandiri, atau tetap berkeliaran bebas karena tergolong OTG.
Maka, sebagai info sampingan saja, dibedakan antara "angka kematian" CFR ("Case Fatality Rate") yang kasus terinfeksinya ("case") dikonfirmasi oleh testings RT atau PCR dan angka kematian IFR ("Infection Fatality Rate") yang kasus terinfeksinya adalah kasus aktual, jumlah sebenarnya orang yang terinfeksi dalam masyarakat, yang mencakup orang-orang yang belum dikonfirmasi lewat testings RT dan PCR. Sangat mungkin IFR (karena "I" lebih besar dari "C") jauh lebih rendah dari CFR.
Terlihat pada data infografis di atas, penambahan kasus per hari, 19 Juni 2020, mencapai 1.041 orang. Jadi, total "confirmed cases" nasional pada tanggal yang sama makin tinggi, 43.803 (dengan 34.148 kasus di antaranya ada di luar DKI). Jumlah orang yang mati 2.373. Akibatnya, "Case Fatality Rate" (CFR) atau "death rate" otomatis turun; per 19 Juni sebesar 5,4%. (IFR bisa jadi lebih rendah dari 5,4%).
Coba anda cek sendiri pada tabel di atas, sudah berapa banyak kasus di provinsi anda. Dari seluruh 34 provinsi di Indonesia, provinsi DKI tercatat memiliki kasus terbanyak (9.655), kemudian Jawa Timur (9.057), Sulawesi Selatan (3.573), Jawa Barat (2.805), Jawa Tengah (2.471), dan Kalimantan Selatan (2.392). Di atas 1.000 kasus, mencakup Papua (1.368), Banten (1.331), Sumatera Utara (1.024), dan Nusa Tenggara Barat (1.022).
Jadi, wabah yang masih terus meluas dan jumlah orang yang terinfeksi makin banyak, dus kurva-kurva terus bergerak naik, adalah sikon dan peta real epidemiologis di Indonesia, meskipun PSBB ("a soft lockdown") resminya diberlakukan.
Di banyak negeri lain di dunia, "lockdown" diadakan dengan sangat ketat justru untuk "melandaikan kurva", "flattening the curve". Sudah banyak negara yang berhasil melandaikan kurva-kurva bahkan sampai kempes datar. Indonesia termasuk negara yang tidak atau belum berhasil ke situ.
Nah, ketika kurva sudah tiba dipuncak lalu turun melandai, di saat itulah baru ada pijakan kuat untuk secara bertahap "lockdown" dilonggarkan sebelum akhirnya diangkat sepenuhnya. Bagaimana dengan Indonesia?
Meski kurva-kurva kasus terinfeksi (harian kumulatif, dan aktif) masih terus menanjak, Indonesia sudah mulai melonggarkan PSBB dan segera masuk ke tenggang "new normal", dengan kegiatan-kegiatan bisnis dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain dibuka kembali, dan dijalankan dengan berpedoman pada protokol kesehatan era "new normal". Ini harus dijalankan untuk menyelamatkan ekonomi. Itu alasan pemerintah yang bisa dipahami, meski kurva-kurva epidemiologis tidak mendukung.
Tetapi langkah yang dipersiapkan negara itu tentu membuat orang dapat memprediksi bahwa "infection rate" atau jumlah orang yang aktual terinfeksi akan makin bertambah banyak, bukan makin berkurang, meski sudah ada berbagai pedoman tentang bagaimana kehidupan sosial dan bisnis harus dijalankan di masa "kebiasaan-kebiasan normal yang baru".
Nah, dalam sikon yang sekarang dan segera kita jalani ini, ada banyak orang berpendapat bahwa pemerintah RI memilih menyelamatkan ekonomi, dan, akibatnya, merelakan warga terinfeksi, dan yang akan mati tokh para lansia saja. Warga muda tahan virus. Betulkah pendapat dan kebijakan ini? Salah! Lagian, itu juga bukan kebijakan pemerintahan Pak Jokowi.
Siapa bilang orang muda (40-an tahun ke bawah, katakanlah) lebih tahan terhadap Covid-19? Itu mitos. Covid-19 membunuh semua golongan umur, dari bayi hingga manula. Tak pilih-pilih. Laki-laki juga perempuan, diinfeksi Nona Corona, dan tak sedikit yang dibunuhnya dengan cara-cara yang sangat menyakitkan.
Orang tua juga tidak selamanya rentan mati, asal tidak ada penyakit ikutan kronis (komorbiditas) seperti diabetes, tekanan darah tinggi, sakit jantung, obesitas, otoimun, gangguan ginjal, pneumonia, ketika mereka terkena Covid-19.
Jangan lupa, warga Indonesia itu kebanyakan dablek, hidup semua gue, terserah gue. PSBB yang lebih ketat dari protokol "new normal", tidak jalan. Kalau pun berjalan, cuma sebagian, dan hanya di sejumlah kawasan. PSBB yang ketat dan sangat membatasi gerak saja diabaikan, disepelekan, apalagi yang lebih longgar dan lebih ringan. Ya, "new normal" pasti akan lebih disepelekan lagi. Akan tinggal sebagai teori atau formalitas saja. Wait and see, now and tomorrow!
Tuh lihat sekarang di pasar-pasar becek/tradisional. Para pedagang tetap berkerumun, tak ada "social distancing". A, b, c, d, ... protokol kesehatan "new normal" tidak dijalankan. Yang terinfeksi virus makin banyak.
Dalam inspeksi mendadak ke Pasar Jembatan Lima, fraksi PSI DPRD DKI menemukan bahwa pengawasan kebijakan protokol kesehatan Covid 19 di pasar tradisional masih minim.
Eneng Malianasari, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, dalam keterangan tertulisnya, Jumat 19 Juni 2020, menyatakan bahwa belum ada sosialisasi ataupun pengawasan sehingga aturan protokol kesehatan hanya sekadar formalitas, teori saja.
Di Pasar Jembatan Lima, Jakarta Barat, Eneng melihat protokol kesehatan hampir tidak diterapkan sama sekali. Sebagian besar pedagang tidak menggunakan masker wajah, ketentuan jaga jarak maupun mekanisme kios ganjil genap seperti yang sudah ditetapkan Pemprov DKI juga tidak diikuti.
Eneng menilai, hal itu membuat tes Covid-19 yang gencar diadakan di pasar akhirnya sia-sia karena penyebaran virus terus terjadi. Dia memprediksi pasar-pasar akan jadi klaster baru (disebut klaster jika ditemukan minimal ada 10 orang yang positif terinfeksi) atau "hotspots" atau "hotbeds" (jika di suatu kawasan terbatas ada puluhan hingga ratusan orang yang terinfeksi) virus corona di Jakarta. Tidak usah diprediksi, saya kira, tapi sudah jadi kenyataan.
Anda berani masuk ke pasar-pasar tradisional yang ramai dan semrawut untuk berbelanja sekarang atau kemarin-kemarin? Belanja sayur-mayur, buah-buahan, dll di pasar-pasar swalayan besar apakah juga aman dan sehat, mengingat antara lain sayur-mayur dll yang dijual di sana juga dipasok dari pasar induk tradisional, Pasar Kramat Jati, Jakarta, misalnya? Waduuh!
Data dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menunjukkan ada lebih dari 400 pedagang di 93 pasar tradisional terinfeksi virus corona, sejauh ini. Di Indonesia, ada 14.000 pasar tradisional. Penularan virus SARS-CoV-2 di pasar-pasar tradisional sangat cepat dan tinggi karena "contact rate" antar kerumunan orang di sana sangat tinggi, dan berlangsung di ruang-ruang yang sempit.
Selain itu, terdata juga bahwa dari total 3.031 pedagang yang sudah ditest, ada 137 pedagang pasar positif terinfeksi di 18 pasar di Jakarta. Jumlah kasus terbanyak ditemukan di Pasar Induk Kramat Jati. Jumlah kasus masih akan meningkat karena ada 690 orang yang masih menunggu hasil test swab mereka keluar. Selain itu, klaster-klaster virus corona juga terdeteksi di Pasar Raya Padang, Sumatera Barat, dan di Pasar Besar, Palangkaraya, dll.
Selain itu, diingatkan juga oleh Eneng bahwa para pedagang kaki lima (PKL) harus pula menjalankan protokol kesehatan dengan dikontrol oleh petugas kelurahan dan kecamatan, jika kita memang mau sama-sama melawan virus corona! Setuju, setuju saya, Bu Eneng!
Ketika seorang pedagang di Pasar Raya Padang ditanya apakah dia tidak takut tertular, si pedagang menjawab, "Kalau nggak jualan, mau makan apa?"
Loh, kalau mati karena terkena Covid-19, lalu mau jualan apa? Ruwet juga ya.
https://metro.tempo.co/amp/1355327/sidak-ke-pasar-dki-psi-protokol-kesehatan-hanya-formalitas
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53094297
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/06/20/15321351/49-pedagang-pasar-induk-positif-covid-19-wali-kota-kalau-ditutup-muncul
Klaster-klaster baru "super-spreaders" virus akan muncul juga di pusat-pusat grosir, di kawasan pergudangan dan distribusi, di rumah-rumah pemotongan hewan dan pemrosesan serta pengepakan daging, dan mungkin juga di gereja-gereja yang aktif lagi, dan di rumah-rumah ibadah lain, selain di rumah-rumah tahanan, di kawasan bedeng-bedeng tukang bangunan, di sekolah-sekolah yang baru dibuka kembali, di stasiun-stasiun angkutan umum, dll.
Lalu, yang harus diingat betul, adalah tidak boleh warganegara dikorbankan, meski lansia, lewat wabah Covid-19. Jika itu dilakukan, negara melanggar hukum, melanggar etika politik ketatanegaraan dan kewarganegaraan. Kewajiban negara adalah melindungi warganya, dari semua golongan umur, from womb to tomb.
Memang pemerintah RI lewat BNPB pada 2 Juni 2020 sudah menegaskan bahwa strategi "natural herd immunity" (NHI) bukan opsi pemerintahan Pak Jokowi.
Cukup Swedia saja yang memakai strategi NHI (warga dibiarkan terinfeksi virus, lalu jatuh sakit, kemudian akan sembuh, lalu memiliki kekebalan alamiah, tanpa lewat vaksinasi) yang tak etis ini, yang akhirnya terbukti gagal total: warga yang mati sangat banyak, dan sampai akhir April hanya 7,3% saja dari warga Stockholm yang berhasil membangkitkan antibodi dalam tubuh mereka (padahal para epidemiolog Swedia memprediksi pada pertengahan Juni NHI akan dialami 40 hingga 60% warga Swedia). Menurut WHO, dari seluruh populasi dunia, hanya 1 hingga 10% saja yang akan memiliki antibodi setelah sembuh dari Covid-19. Sekaligus juga, ekonomi Swedia terpukul keras.
Strategi Swedia ini (yang nyaris diikuti Inggris, dan juga Belanda) yang berakhir tragis sudah saya tulis berpanjanglebar pada Kronik Covid-19 Internasional (Bagian 1) dalam sekian hari terpisah-pisah.
Jadi, sekali lagi, adalah salah jika orang berpikir bahwa pemerintah RI memilih mengorbankan nyawa warga Indonesia ke Nona Corona demi menyelamatkan ekonomi nasional. Jadi, seharusnya bagaimana?
Yang seharusnya dilakukan pemerintah RI adalah mengambil sikap dan kebijakan yang seimbang: menyelamatkan warganegara serentak menyelamatkan ekonomi.
Direktur umum WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, setelah menegaskan bahwa Covid-19 adalah "suatu pandemi", menyatakan bahwa "Pandemi bukan suatu kata untuk digunakan dengan enteng saja atau dengan semberono. Pandemi adalah sebuah kata yang jika salah dipakai dapat menimbulkan ketakutan yang tak masuk akal, atau mengakibatkan sikap pasrah yang tak dapat dibenarkan bahwa pertempuran sudah usai. Akibatnya, timbul kematian dan penderitaan yang tak perlu."
Selanjutnya, Gebhreyesus mengakui bahwa langkah-langkah pengendalian wabah Covid-19 "pelan-pelan akan menghancurkan masyarakat dan ekonomi". Jadi, semua bangsa dan negara "harus mengupayakan suatu keseimbangan yang bagus antara melindungi kesehatan publik dan meminimalisasi goncangan-goncangan sosial dan ekonomi."
https://www.bioworld.com/articles/433645-officially-a-pandemic-but-covid-19-fight-far-from-over-says-who-director-general
Jelaslah, tugas rangkap dua itu, menjaga keseimbangan, harus dijalankan dengan cermat, sinambung, konsisten dan efektif, dan rakyat dengan sadar mendukung penuh, tidak dablek. Ini hanya bisa terjadi, jika ada pengetahuan, kemauan politik, tindakan dan hukuman tegas bagi para pelanggar protokol kesehatan, sarana dan wahana medik yang tangguh, serta pekerja medik yang dapat diandalkan, kejujuran, transparansi, dan tentu saja dana.
Logis, jika makin banyak orang yang mati dibunuh Nona Corona di era "new normal", juga dari golongan usia muda, ya ketakutan dan kepanikan akan timbul lagi. Lalu warga tidak mau keluar rumah lagi. Memilih "stay at home" lagi. Trauma dialami. Jiwa terguncang lagi. "Lockdown loneliness" atau rasa kesepian karena lockdown, akan terasa lagi, makin dalam. Mall dan restoran dll kegiatan bisnis yang sudah buka kembali tidak dikunjungi lagi. Sepi lagi. Sunyi lagi. Karena semua ketakutan. Saat ini terjadi, "new normal" memukul balik, "backfire", ekonomi anjlok lagi.
Boleh saja CFR yang menurun (menjadi sekitar 5 hingga 6%) dan "recovery rate" (jumlah orang yang dinyatakan telah sembuh) yang meningkat dijadikan bukti bahwa penanganan epidemi Covid-19 di Indonesia sudah membuahkan hasil positif. Tetapi nanti dulu!
CFR bisa menurun ya karena jumlah kasus positif terus meningkat lantaran testing PCR sedang agresif dan luas dijalankan (pertama-tama untuk menemukan orang yang positif terinfeksi, lalu untuk memutus matarantai penularan melalui "tracking" dan "contact tracing"). Tetapi, lepas dari gencar atau tidaknya test PCR diadakan, jumlah orang yang baru terinfeksi ("new cases") menanjak ya karena memang jumlah orang yang aktual baru terinfeksi terus bertambah. Jumlah orang yang sembuh yang makin banyak, juga hal yang bagus.
Tetapi yang diperhatikan masyarakat terutama dan pertama-tama adalah jumlah kasus positif terinfeksi yang terus meningkat. Kurva kasus positif yang terus menanjak, bagi masyarakat, adalah tanda bahwa hidup belum atau tidak aman. Apalagi kalau orang yang sudah terinfeksi tapi tak terdeteksi ikut diperhitungkan. Masyarakat tak peduli pada CFR yang menurun atau jumlah orang yang sembuh bertambah terus. Sembuh atau tidak sembuh, masyarakat hanya punya satu keinginan: tidak mau sakit, tidak mau terinfeksi, tidak mau tertular Covid-19.
Karena itu, warga yang punya pengetahuan dan kesadaran diri tidak akan mau ambil bagian dalam kegiatan apapun dalam masyarakat yang akan memperbesar risiko mereka tertular virus corona. Sikap waspada ini bisa berbalik memukul roda ekonomi yang sedang digerakkan kembali. Hal ini tidak akan terjadi jika kurva kasus positif telah lebih dulu sampai di puncak, lalu mulai turun, melandai hingga kempes datar. Kurva yang seperti ini adalah tanda hidup sudah mulai aman.
Selain itu, di masa epidemi Covid-19, perusahaan apapun yang telah dibuka kembali menghadapi persoalan lain yang juga serius.
Ketika karyawan kembali bekerja sementara epidemi Covid-19 masih berlangsung dan makin meluas (sampai ada vaksin dan obat yang aman dan manjur), dua hal berikut pasti akan terjadi: sebagian karyawan jatuh sakit terkena Covid-19, selanjutnya akan muncul banyak tuntutan hukum lewat pengadilan untuk perusahaan menyediakan lingkungan dan kondisi kerja yang lebih aman, atau untuk memberi kompensasi terhadap gaji yang hilang dan tagihan pengobatan.
Hal-hal lain yang dapat diperkarakan mencakup antara lain:
• perusahaan belum cukup melakukan langkah-langkah menjaga karyawan dan keluarga mereka bebas dari coronavirus
• hak-hak privat pegawai
• diskriminasi usia
• pemaksaan untuk segera bekerja kembali kepada para pegawai yang memiliki risiko tinggi tertular virus
Risiko-risiko legal ini harus siap dihadapi perusahaan, sebab sangat mungkin para pekerja tidak akan tinggal diam sekalipun biaya pengobatan pasien Covid-19 ditanggung negara, seperti di Indonesia.
Tuntutan-tuntutan hukum tetap akan timbul kendati, misalnya, negara sudah punya sistem kompensasi bagi pekerja di masa epidemi (untuk karyawan BUMN, misalnya), atau sudah ada jaminan dari jejaring perusahaan asuransi. Persoalan menjadi jauh lebih rumit ketika tuntutan-tuntutan sangat banyak, yang akhirnya dapat membuat perusahaan bangkrut padahal belum lama dibuka lembali.
Tentu perusahaan bisa memakai taktik meminta bukti-bukti bahwa pegawai mereka yang mengajukan tuntutan betul terkena Covid-19 di perusahaan tempat mereka bekerja. Tanpa bukti, tuntutan jadinya akan gugur. Tetapi di masa epidemi ini, taktik semacam ini tidak etis, dan tidak empatetis, dan mencerminkan budaya perusahaan yang buruk. Budaya tanpa kolegialitas dan solidaritas antara pemilik perusahaan dan para pekerja.
https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-06-12/coronavirus-lawsuits-returning-workers-could-sue-businesses
Muaranya: Rakyat yang mati terus bertambah, ekonomi juga terpukul dua kali!
Susah bukan? Rumit bukan?
Nah, jangan dibuat sederhana dengan memilih membiarkan rakyat mati karena wabah. Uang bisa dicari meski sulit, tetapi nyawa tidak bisa dibeli dengan harga berapapun.
Meski "new normal" menjadi pilihan, tetapi tanpa kesadaran warga yang tinggi untuk menjalankan protokol kesehatan di semua bidang kehidupan sehingga "new normal" hanya menjadi teori saja, sebagai formalitas saja, maka kita semua akan jatuh ke dalam bencana dahsyat.
"Dari jurang yang dalam tanpa dasar, kita bertanya, dari manakah pertolongan akan datang. Suara kita tenggelam, lenyap, sunyi, tanpa gema."
☆ ioanes rakhmat
Sabtu, 20 Juni 2020
_______________________________________
MEMBANGUN "SOCIAL LIFE BUBBLE" DI SAAT EPIDEMI COVID-19
17 Juni 2020
INDONESIA kini sedang gencar dan agresif melakukan test PCR per wilayah dengan kuota PCR per wilayah dibatasi. Juga gencar dilaksanakan di DKI Jakarta. Tapi tak lama lagi akan terhenti juga ketika kuota PCR per wilayah habis.
Hasilnya, ditemukan banyak warga Indonesia (di DKI khususnya) yang sudah terinfeksi, dengan tak sedikit yang asimtomatik.
Makin gencar test PCR diadakan, maka kurva kasus positif terinfeksi harian kumulatif akan menanjak terus, dan tidak bisa diketahui kapan kurva akan sampai di puncaknya, lalu mulai melandai sampai akhirnya kempes datar. Selain itu, CFR atau "death rate" akan turun juga, karena jumlah kasus positif meningkat.
Per 16 Juni 2020, pk. 21:35 WIB (atau June 16, 2020, 03:00 AM EDT), kasus positif terinfeksi harian kumulatif Indonesia sudah mencapai 40.400, dengan jumlah kematian 2.231 orang. "Death rate" tentu turun lagi menjadi 5,5%.
Sedangkan kasus terkonfirmasi global sudah tembus delapan juta, tercatat 8.063.488, dengan jumlah kematian 437.532 orang. Amerika Serikat sudah lebih dari dua juta kasus, tercatat 2.114.180, dengan 116.130 kematian. Angka-angka ini mengerikan, bukan cuma angka, tetapi manusia, bagian dari kita.
https://coronavirus.jhu.edu/map.html.
Jumlah orang yang asimtomatik (OTG) di Indonesia perlu diasumsikan sangat banyak, dan dari mereka virus terus menular dan menyebar. Mereka bisa menjadi OTG karena faktor environmental yang keras dan faktor gaya hidup mereka yang lebih banyak "di jalanan". Faktor-faktor ini berinteraksi dengan gen-gen mereka. Di antara mereka harus dianggap ada juga banyak "superspreaders", yakni orang-orang yang membawa muatan virus ("viral load") sangat besar dan menularkan virus ke luar biasa banyak orang lain.
Jika kurva kasus positif harian kumulatif Indonesia belum tiba di puncak (ini masih sangat lama!), tapi PSBB sudah dilonggarkan atau tidak berjalan, dan masyarakat diarahkan untuk hidup dalam "new normal", maka sudah bisa diprediksi bahwa kita akan masuk ke dalam bencana Covid-19 individual dan bencana Covid-19 klaster-klaster. Ini akan mengerikan. Ini ABNORMAL, bukan "new normal". Kecuali Indonesia sudah memiliki vaksin Covid-19 yang aman dan manjur.
Paling baik, jika sikon yang mengerikan itu datang, kita hidup dalam "social life bubble", yakni hidup dalam komunitas kita yang lebih besar dari keluarga sendiri, dengan semua orang di dalam "bubble" atau "gelembung" kita sehat dan tidak membawa atau bermuatan virus dan berinteraksi wajar, dan mempunyai persediaan kebutuhan hidup sosial bersama. "Social distancing" kita lakukan hanya dengan orang lain di luar gelembung kita. Mereka tidak boleh menembus "bubble" kita.
"Social life bubble" kita butuhkan, karena kita tidak akan tahan, dan juga tak baik bagi kesehatan mental, jika kita hidup dan bergaul hanya dalam keluarga inti saja untuk waktu yang lama. Di masa pandemi Covid-19 ini KDRT di mana-mana meningkat. Penyakit-penyakit psikosomatis ditanggung sangat banyak orang. Gangguan mental dan gangguan tidur juga meningkat. "Lockdown loneliness" atau "kesepian yang muncul karena lockdown" dialami banyak orang, tua dan muda, laki dan perempuan.
Oh ya, supaya jelas, saya perlu tulis bahwa kata benda "bubble" yang saya maksudkan bukan betulan gelembung atau "bubble" (yang terbuat dari busa atau air sabun atau karet atau plastik seperti sebuah balon superbesar), tetapi sebuah kata kiasan.
Kata "bubble" dapat diganti dengan "circle" atau "quaranteam" atau "social pod" atau "widened or extended exclusive household circle" atau "lingkaran keluarga yang diperluas dan eksklusif". Orang yang berada di luar "bubble" atau "circle" kita ("those outside the bubble/the circle"), tidak boleh berinteraksi atau menembus masuk ke dalam "circle" kita. Interaksi dan koeksistensi serta proeksistensi hanya dilakukan oleh anggota-anggota dalam "bubble" kita saja.
Tentu saja, selain semua anggota dalam suatu "bubble" harus sehat dan bebas dari virus, mereka juga harus saling percaya, kalem, bebas, merasa aman, ramah, cakap bermitra, dan sanggup dan mau hidup saling berbagi dan saling melindungi dan menjaga. Jika dirasakan ada kebutuhan untuk "memperluas" atau "memperbesar" gelembung sosial kita, lakukanlah ini dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan sampai batas maksimal yang tak boleh diperbesar lagi, yaitu 10 orang.
Gideon Lichfield (editor in chief dari MIT Technology Review) telah menulis panduan untuk membangun "social bubble" atau "quaranteam" khususnya bagi individu-individu yang mau membangun bukan persahabatan ("friendship") tetapi kemitraan ("partnership"), bukan bagi keluarga-keluarga.
Pasti ada gunanya jika pada kesempatan ini saya memberi garis besar panduannya, berikut ini. Selengkapnya tersedia di sini https://www.technologyreview.com/2020/05/09/1001547/coronavirus-bubble-pod-quaranteam-social-distancing-negotiation/.
Saat anda sedang membicarakan kemungkinan membangun "social bubble" dengan orang lain sebagai mitra, Lichfield memberi sembilan poin bimbingan.
1) Sepakat untuk tidak merasa susah atau tersakiti apapun hasil dari percakapan penjajakan yang anda dan mitra anda lakukan.
2) Pikirkan risiko-risikonya, misalnya jika mitra yang dengannya anda membangun "social bubble" ternyata suatu saat jatuh sakit Covid-19 atau tidak memberitahu anda sebelumnya bahwa dia seorang asimtomatik (mungkin karena dirinya sendiri tak tahu).
3) Bicarakan apa maksud dan tujuan anda mau membangun kemitraan dengannya dalam suatu "social life bubble". Keterusterangan dalam hal ini akan mencegah timbulnya friksi yang tidak enak di kemudian hari.
4) Bersepakat untuk mengikuti aturan-aturan yang sama, dalam hal apapun, misalnya aturan untuk selalu memakai masker wajah, atau selalu mencuci tangan, atau ketika batuk.
5) Percakapkan dengan terbuka hal-hal rutin apa saja yang selalu anda lakukan. Misalnya, hal-hal yang menyangkut kebersihan tubuh, kebersihan rumah, sanitasi dan disinfektasi, pakaian yang berbeda saat di dalam rumah dan saat di luar rumah, pemakaian sarung tangan, sterilisasi benda-benda dalam rumah, pemesanan makanan kiriman dari luar rumah, dll.
6) Menerima fakta bahwa tidak seorang pun dari anda dan mitra anda akan selalu bersikap rasional menyangkut banyak hal. Misalnya, mengenai peringatan dan kewaspadaan terkait protokol kesehatan, prevensi penyakit, di dalam dan di luar rumah. Jangan sampai anda menantang mitra anda untuk mendasarkan sikap dan tindakannya pada fakta-fakta yang anda ketahui dan jalankan. Penghakiman dan penilaian anda harus ganti dengan empati dan pemahaman tentang asal-usul dan latarbelakang mitra anda.
7) Sepakat atas apa yang anda akan komunikasikan, lalu mengkomunikasikannya kembali beberapa kali. Khususnya ketika anda mengubah sedikit atau banyak kegiatan rutin anda, atau perilaku anda, misalnya ketika anda mau bertemu dengan seseorang yang tidak masuk dalam "bubble" anda, atau ketika menerima info-info baru tentang coronavirus. Jika ini anda lakukan, kepercayaan akan terbangun dalam "social bubble" anda demi kesehatan bersama.
8) Apapun yang berlangsung dalam "bubble" anda dengan mitra anda, jangan sebarluaskan hal itu lewat medsos dll.
9) Tentukan bersama berapa lama anda mau membangun "social bubble" dengan mitra anda, satu minggu, dua minggu atau lebih.
Well, kebetulan saya menemukan sebuah artikel yang cukup detail memuat pengarahan yang hati-hati untuk "social bubble" dijalankan keluarga-keluarga orang Alaska yang juga sedang melonggarkan lockdown sementara kasus positif terinfeksi di sana semakin rendah. Kehati-hatian sangat ditekankan khususnya kalau "social life bubble" kita memasukkan manula yang rentan sakit, yang harus berada bersama dengan anak-anak.
Bacalah artikelnya. Adaptasilah dengan kebutuhan anda untuk membangun "gelembung kehidupan sosial" di komunitas-komunitas anda. Ini linknya http://dhss.alaska.gov/dph/PlayEveryDay/blog/Lists/Posts/Post.aspx?ID=466. Baca juga ini https://www.goodtoknow.co.uk/wellbeing/health/what-is-social-bubble-meaning-childcare-539799.
Saya jelas bisa membayangkan, akan muncul berbagai macam reaksi, entah positif dan merasa aman, ataupun negatif dan merasa tidak aman, terhadap usaha-usaha membangun "social bubble" atau "quaranteam" yang sudah digambarkan di atas.
Bagaimanapun juga, "social bubble" adalah suatu usaha untuk kita dapat hidup sehat, fisik dan mental, selama masa pandemi Covid-19 yang telah memaksa kita semua selama beberapa bulan untuk "stay at home" dan melakukan "social distancing".
Kita merasa ada sesuatu yang hilang. Kita jadinya merindukan kehidupan sosial yang biasa, yang normal. Nah, bisa jadi "social life bubble" adalah suatu cara untuk kita bisa dengan relatif aman dan dalam batas tertentu memenuhi kerinduan kita itu sementara wabah Covid-19 belum tertanggulangi.
"Ketika wabah Covid-19 memaksa kita untuk tinggal di rumah saja, dan menjalankan 'social distancing', ternyata kita menemukan diri kita tetaplah organisme sosial yang membutuhkan interaksi sosial fisik dan non-fisik."
☆ ioanes rakhmat
17 Juni 2020
02:00 WIB
_______________________________________
MENENGOK VIETNAM, KAMBOJA, THAILAND, DAN MALAYSIA
15 Juni 2020
Negara VIETNAM berpenduduk 97 juta orang, rata-rata dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Sistem kesehatan umum juga tak terlalu maju. Tersedia 8 tenaga dokter untuk 10.000 orang (⅓ rasio di Korsel, menurut data Bank Dunia).
Pada 23 Januari 2020 kasus terinfeksi pertama (2 orang) terdeteksi pada seorang warga China yang berdiam di Vietnam, yang dikunjungi ayahnya dari Wuhan, China. Dua orang ini segera dibawa ke rumah sakit Cho Ray, Ho Chi Minh City. Si anak sembuh 29 Januari; si ayah 12 Februari.
Besoknya, otoritas penerbangan Vietnam membatalkan semua penerbangan dari dan ke Wuhan.
Vietnam punya pengalaman kaya dalam menangani wabah-wabah penyakit menular, seperti SARS 2002 hingga 2003, lalu influenza avian. Pengalaman ini membantu pemerintah dan masyarakat untuk lebih siap terhadap wabah Covid-19.
Penduduk Vietnam jauh perlu dihargai menyangkut sikap mereka terhadap penyakit-penyakit infeksius dibandingkan mungkin dengan negara-negara maju yang berkelimpahan yang tak pernah melihat penyakit infeksius seperti Eropa, Inggris, dan AS.
"Orang Vietnam memahami bahwa hal-hal yang terkait wabah yang menular perlu dipandang serius dan menjalankan panduan-panduan dari pemerintah tentang bagaimana mencegah infeksi untuk tidak menular", demikian kata Pham Quang Thai, wakil kepala Infection Control Department, National Institute of Hygiene and Epidemiology di Hanoi.
Video di atas memberi gambaran ringkas bagaimana Vietnam memberi respons cepat di awal masuknya wabah Covid-19 ke negeri ini. Silakan ditonton sebelum membaca uraian selanjutnya di bawah ini.
Segera setelah 2 kasus pertama itu ditemukan, 23 Januari 2020, tanpa menunggu panduan-panduan dari WHO, pemerintah Vietnam langsung mulai melakukan pembatasan-pembatasan. Mr. Pham menegaskan, "Kami tidak hanya menunggu panduan dari WHO. Kami menggunakan data yang telah kami kumpulkan dari luar dan dari dalam negeri untuk memutuskan tindakan apa yang harus kami ambil sedini mungkin."
Awal Januari pemindaian suhu tubuh sudah dilakukan terhadap wisatawan Wuhan yang tiba di bandar udara Hanoi. Karantina medis diperkuat pada gerbang-gerbang perbatasan, bandar-bandar udara, dan pelabuhan.
PM Nguyen Xuan Phuc, pada saat merayakan liburan Tahun Baru Lunar 2020, menyatakan perang terhadap virus corona. "Memerangi epidemi ini seperti memerangi musuh", katanya dalam rapat mendesak Partai Komunis, 27 Januari 2020. Tiga hari kemudian, sang PM membentuk Komite Pengarah Nasional Pengendalian Wabah. Harinya bertepatan dengan WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai keadaan darurat kesehatan publik yang harus menjadi perhatian dunia.
1 Februari 2020 Vietnam menyatakan negara sedang dalam wabah nasional sementara kasus positif yang tercatat baru 6 saja di seluruh negeri. Semua penerbangan antara Vietnam dan China dihentikan. Lalu dilanjutkan dengan penundaan visa bagi warganegara China keesokan harinya.
Selama bulan Februari berjalan, pembatasan kunjungan wisata, karantina wisatawan, penundaan visa, diperluas sampai mencakup negara-negara di luar China, seperti Korsel, Iran dan Italia. Akhirnya, semua orang asing dilarang masuk ke Vietnam mulai akhir Maret.
Lockdown diberlakukan 11 Februari 2020 pada seluruh komunitas pedesaan Son Loi yang mencakup 10.600 orang di utara Hanoi selama 20 hari karena ditemukan 7 kasus positif. Ini adalah lockdwon untuk klaster pertama yang meliputi Komunitas Son Loi, Binh Xuyên District, Vính Phúe, setelah sejumlah pekerja kembali dari suatu perjalanan bisnis di Wuhan, lalu mereka menularkan virus ke orang-orang lain yang mengadakan kontak dengan mereka. Pemerintah setempat segera menjatuhkan lockdown sampai 3 Maret 2020. Kebutuhan hidup warga dipenuhi dengan mengaktifkan toko-toko makanan yang bergerak. Masker wajah dibagikan ke mereka.
Sekolah-sekolah dan universitas-universitas (mencakup 22 juta pelajar) yang didaftarkan untuk dibuka kembali Februari 2020 setelah liburan Tahun Baru Lunar diperintahkan ditutup kembali, dan baru dibuka kembali Mei 2020.
Segera akan terlihat, kecepatan Vietnam dalam bertindak adalah kunci suksesnya. Tindakan yang tegas, cepat dan dini dengan efektif mencegah penyebaran virus lewat komunitas-komunitas dan membuat 16 kasus positif per 13 Februari tetap bertahan selama 3 minggu. Infeksi baru tidak ditemukan.
Tetapi gelombang kedua infeksi menerjang Maret 2020 yang dibawa oleh warga Vietnam yang baru kembali dari luar negeri. Segera "contact tracing" diadakan, lalu orang-orang yang sudah mengadakan kontak dikarantina selama 2 minggu.
Ketika RS Bach Mai di Hanoi (salah satu yang terbesar di Vietnam) berubah jadi suatu "hotspot" coronavirus dengan berlusin-lusin kasus terinfeksi di Maret 2020, segera pejabat negara memberlakukan lockdown terhadap fasilitas kesehatan tersebut. "Tracking" dijalankan terhadap hampir 100.000 orang yang berhubungan dengan rumah sakit tersebut, termasuk para pekerja medis, pasien-pasien, pengunjung dan kontak-kontak lain yang dekat mereka. Testing juga dilakukan terhadap 15.000 yang terkait dengan rumah sakit tersebut, termasuk 1.000 pekerja medis. "Contact tracing" dilakukan bukan cuma kepada kontak-kontak langsung dari orang-orang yang terinfeksi, tapi juga kepada kontak-kontak yang tidak langsung.
Usaha untuk membangkitkan kesadaran penduduk juga dilakukan lewat pengeras suara, poster-poster di jalan-jalan, media sosial dan pers.
Pada akhir Februari 2020 kementerian kesehatan merilis sebuah video musik yang menawan dan mudah diingat, "catchy", yang digubah berdasarkan nyanyian populer Vietnam yang mengajar orang untuk mencuci tangan dengan benar, juga kegiatan higienis lain selama wabah. Ini dikenal sebagai "Nyanyian Cuci Tangan" yang segera menjadi viral, dengan 48 juta views di Youtube.
Kata Mr. Pham kepada National Institute of Hygiene and Epidemiology, "Kami memiliki suatu sistem kesehatan yang kuat: 63 CDC (Center for Disease Control) provinsi; lebih dari 700 CDC tingkat distrik, lebih dari 11.000 pusat-pusat kesehatan masyarakat komunal. Semuanya dikerahkan untuk "contact tracing" di saat pandemi ini."
Lockdown diterapkan di seluruh negeri setelah muncul wabah Covid-19 di provinsi Nam Dinh. Pengumuman disampaikan 31 Maret 2020 bahwa sejak 1 April Vietnam menerapkan isolasi nasional selama 15 hari.
Pada Senin, 1 Juni 2020, dilaporkan ada 2 kasus positif baru, yang berasal dari luar Vietnam, termasuk sejumlah warganegara Vietnam yang baru pulang dari Mexico yang langsung dikarantina begitu tiba.
Sebagai suatu negara di Asia Tenggara, sudah 53 hari terakhir ini Vietnam tak memiliki kasus positif terinfeksi yang ditularkan oleh sesama penduduk. Dari total kasus terinfeksi, 331 kasus, 90% sudah sembuh. Ini berarti, pasien yang masih dirawat tinggal 33 orang. Pasien yang mati juga tidak ada (=0).
Lockdown nasional diangkat oleh pemerintah Vietnam pada 5 Juni 2020. Pelonggaran lockdown sejak 23 April sudah mulai dilaksanakan. "Social distancing" ditiadakan akhir April 2020. Selama 40 hari sejak lockdown diangkat, tidak dijumpai satu pun kasus positif baru. Bisnis dan sekolah dibuka kembali. Kehidupan kembali normal secara bertahap.
Dr. Guy Thwaites, kepala Oxford University Clinical Research Unit di Ho Chi Minh City, membenarkan tidak adanya kasus baru di Vietnam.
Sampai dengan 13 Juni 2020, Vietnam memiliki 334 kasus, dengan 323 dari antaranya orang sudah sembuh, dan tidak ada satupun orang yang mati karena Covid-19.
Mengapa Vietnam berhasil? Ya, karena: 1) respons cepat dan dini dari pemerintah; 2) "contact-tracing" yang kuat dan cermat; 3) karantina medis yang kuat; 4) "testing" yang luas dan cermat; 5) komunikasi publik yang efektif dalam menyampaikan protokol kesehatan.
Bukan itu saja. Dalam Mei 2020, Vietnam mengumumkan bahwa vaksin Covid-19 telah mereka kembangkan setelah para ilmuwan berhasil membuat antigen coronavirus dalam lab. Vaksin Vietnam ini dikembangkan dengan kerjasama para ilmuwan dari VABIOTECH di Hanoi dan Bristol University.
Vaksin tersebut akan diuji lebih lanjut ke hewan-hewan lalu dievaluasi untuk keamanan dan kemanjurannya sebelum proses produksi dijalankan. Menurut National Institute of Hygiene and Epidemiology, diperlukan sedikitnya 12 hingga 18 bulan untuk mengembangkan vaksin yang dapat bekerja dengan aman pada manusia.
Uji praklinis dilakukan pada tikus-tikus dengan menginjeksikan vaksin dalam banyak cara dan beranekaragam dosis antigen. Setelah 10 hari, 50 tikus berada dalam kondisi sehat dan dimonitor dengan cermat untuk menemukan respons imun. Setelah didapatkan hasil positif pada respons imun dan produksi antibodi, para peneliti akan mengembangkan vaksin-vaksin yang lengkap dan membangun teknologi produksi dalam skala yang besar.
Saya lampirkan di atas ini dua video yang menggambarkan situasi di jalan raya dan kehidupan di Vietnam pasca-lockdown. Nyaris sama dengan situasi di Indonesia.
Bedanya, PSBB (suatu versi lunak "lockdown") di Indonesia sudah akan mulai dilonggarkan sementara kurva kasus aktif masih menanjak terus. Sekali lagi saya mau katakan, test PCR yang sedang gencar dijalankan (dalam batas kuota yang disediakan per wilayah) akan menemukan makin banyak orang Indonesia yang telah terinfeksi (simtomatik, asimtomatik, dan prasimtomatik). Ini akan membuat kurva kasus positif harian kumulatif akan terus menanjak, tanpa diketahui kapan akan mencapai puncaknya lalu mulai melandai. Berbarengan dengan itu, CFR atau "death rate" akan menurun. Namun, "new cases" terus menanjak juga pasti karena orang-orang yang aktual terinfeksi bertambah terus, lepas dari ada atau tidak adanya test PCR, antara lain lewat penularan komunitas.
Jika kurva kasus positif ini belum melandai, tetapi PSBB sudah dilonggarkan atau tak berjalan lagi, Indonesia akan masuk ke dalam bencana besar Covid-19, kecuali jika Indonesia sudah memiliki suatu vaksin yang aman dan manjur.
Kurva Indonesia saya berikan di bawah ini sebagai pembanding yang membuat kita risau, tentu saja. Indonesia jauh terlambat bertindak, dan akibatnya yang negatif kini sangat besar dan akan makin membesar.
Di akhir Januari (menyusul temuan 2 kasus infeksi pertama, 23 Januari) Vietnam telah memberi respons dini dan cepat.
Bagaimana Indonesia? Negeri kepulauan ini sangat terlambat bertindak. Respons baru mulai ditata setelah dua kasus pertama terdeteksi pada 2 Maret 2020, setelah sekian minggu lamanya beberapa politikus mengklaim bahwa Indonesia bebas virus corona karena Tuhan melindungi bangsa dan negara ini yang banyak berdoa, bahkan mereka mengundang para turis untuk masuk ke Indonesia. Padahal, faktanya Indonesia waktu itu tidak memiliki "test kits" yang dapat diandalkan! Saya prihatin betul, dan sungguh berharap kekeliruan ini tidak akan terulang. I am very concerned, expecting that it would not happen again!
Di saat lockdown yang melumpuhkan ekonomi Vietnam diangkat, ketakutan akan datangnya serangan infeksi gelombang kedua muncul dalam pikiran setiap orang. Ketakutan ini ditemukan di mana-mana. Ketika ini terjadi, epidemi akan muncul kembali ke permukaan dengan kekuatan yang baru, yang menyebabkan terulangnya infeksi-infeksi baru yang terus meningkat, yang akan menenggelamkan sistem kesehatan umum, akibatnya lockdown harus dilakukan kembali.
https://vietnaminsider.vn/should-we-worry-about-second-wave-of-coronavirus/amp/
Wakil WHO untuk Vietnam, Kidong Park, menegaskan bahwa, meski Vietnam sudah menghancurleburkan coronavirus, "pertempuran melawan Covid-19 tetap berlangsung terus, dan gelombang berikutnya selalu mungkin terjadi sementara pandemi global masih terus dilaporkan. Vietnam harus tidak kehilangan pegangan dan kendali."
Vietnam pasca-lockdown juga menghadapi masalah-masalah berat karena krisis-krisis ekonomi. Ini gambaran sekilasnya. Vietnam yang 6% GDP-nya diperoleh dari turisme, membuat masa depan negeri ini tidak menentu, khususnya ketika tidak ada seorang pun yang tahu pasti kapan perbatasan-perbatasan harus dibuka sepenuhnya kembali. Menurut ILO, April 2020, sedikitnya ada 10 juta orang Vietnam yang dapat kehilangan pekerjaan atau mengalami pengurangan pendapatan dalam kwartal kedua 2020. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Vietnam di 2020 akan mencapai hanya 2,7%, turun jauh dari tahun sebelumnya, 7%.
Ekonom Vietnam yang berbasis di Hanoi, Nguyen Van Trang, menyatakan bahwa Vietnam kini sedang menghadapi risiko-risiko eksternal, dan krisis-krisis yang ditimbulkan epidemi Covid-19 telah menambah jumlah tunawisma dan orang yang kelaparan, dan memunculkan ancaman-ancaman perdagangan manusia dan ekploitasi tenaga kerja (terhadap orang Vietnam yang rentan). Walau demikian, katanya, "Daya tahan domestik besar dan kuat. Bagian terbesar populasi telah bertahan hidup selama masa-masa sulit di waktu perang. Jadi mereka akan pulih kembali dengan cepat."
https://amp.theguardian.com/global-development/2020/may/06/vietnam-crushed-the-coronavirus-outbreak-but-now-faces-severe-economic-test
Selain Vietnam, ada beberapa negara lain di Asia Tenggara yang berhasil membuat jumlah kasus positif dan jumlah kematian rendah, seperti Thailand, Kamboja dan Malaysia.
Tentang keadaan itu, Prof. Dale Fisher dari National University of Singapore dan ketua Global Outbreak Alert and Response Network, WHO, menyatakan bahwa KESADARAN PUBLIK menjadi kunci utama di dalam negara-negara di Asia Tenggara yang relatif sukses menangani Covid-19.
Pemerintah di negeri-negeri itu kuat dan menyampaikan "pesan-pesan yang jelas" sehingga publik tidak bingung. Jika pemerintah lemah, dan publik bingung sehingga mereka tidak tahu pasti untuk melakukan apa dan kepada siapa mereka harus percaya, maka situasi semacam ini "melegitimasi ketidaktahuan". Begitu kata Fisher.
Selain itu, karena pemerintah-pemerintah telah "bertindak cepat", dan sebagian karena telah belajar dari wabah SARS di tahun 2003 sehingga sudah membangun sistem kesehatan umum yang sudah mapan, maka departemen-departemen kesehatan di banyak negara Asia Tenggara TELAH BERHASIL menghindari "ledakan penularan komunitas" yang telah terjadi di negara-negara lain.
Di KAMBOJA, 2.900 pekerja medis telah dilatih dan dikerahkan selama Januari dan Februari 2020. Mereka menjalankan deteksi dan "contact tracing" yang cepat dan agresif. Hal ini dikatakan Dr. Li Ailan, wakil WHO di Kamboja.
Ya, ada kesalahan yang sempat dilakukan Hun Sen, pemimpin otoriter Kamboja, yang telah membuat publik cemas oleh sikapnya yang meremehkan wabah Covid-19 selama tahap-tahap awal epidemi.
Tentu saja sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa banyak pemimpin negara-negara di dunia memanfaatkan pandemi Covid-19 dan dampak-dampaknya untuk kepentingan politik mereka. Ini terjadi bukan saja di negara-negara besar dan maju seperti AS, Russia, Inggris, dll, tetapi juga di negara-negara Asia Tenggara, seperti Pakistan, India dan Thailand. Kita tengok sekilas satu negara saja, Thailand.
Covid-19 membawa Thailand ke dalam krisis-krisis sistem kesehatan publik nasional dan ekonomi; juga berdampak serius pada politik. Epidemi Covid-19 dijadikan momen krusial oleh PM Prayuth Chan-ocha untuk menunda reshuffle kabinet yang perlu dilakukan dan memperpanjang keadaan darurat negara. Meski dampak politik ini menimbulkan ketidakpastian politik, PM Prayuth (seorang jenderal militer) makin kuat memegang kekuasaan.
Selain masalah politik, Bangkok harus menghadapi masalah-masalah lain juga, seperti musim kering, perlambanan ekonomi dan tingginya korupsi. Sementara problem-problem ini makin membara, wabah Covud-19 dijadikan pengalih perhatian ("distraction") yang berguna. Epidemi ini memberi Prayuth "perisai yang sangat dibutuhkan dan rehat sejenak dari kesulitan".
Virus corona menular cepat di populasi yang diabaikan, seperti para narapidana, dan para migran yang tak terdokumentasi. Para migran dan kelompok-kelompok rentan lain sudah menghadapi sejumlah tantangan bahkan sebelum epidemi, karena status mereka, kendala bahasa, stigma sosial, dan diskriminasi. Hal itu dikatakan Thomas Davin, wakil UNICEF di Thailand.
Katanya juga, "adalah tanggungjawab kolektif kami untuk menopang kalangan yang paling rentan, lepas dari status etnis dan legal mereka, serta untuk memastikan bahwa mereka aman dan selamat dan memiliki akses ke pelayanan kesehatan untuk bertahan hidup dan tetap sehat."
Thailand termasuk negara pertama di luar China yang mendeteksi infeksi virus corona pada pertengahan Januari 2020. Sementara ini, di Thailand lebih dari satu juta relawan kesehatan tingkat desa juga membantu memonitor persebaran virus corona di komunitas-komunitas. Sejauh ini, Thailand mencatat 3.000 kasus, dan mati 57 orang.
Luar biasa, seperti Vietnam, Thailand juga adalah negara di Asia Tenggara yang ikut perlombaan global dalam mengembangkan vaksin Covid-19. Pada akhir Mei 2020, uji praklinis vaksin Thailand pada 13 monyet rhesus (beruk) telah dilakukan, menyusul keberhasilan uji praklinis pada tikus-tikus. Senin, 25 Mei 2020, peneliti utama pengembangan vaksin Thailand ini menyatakan bahwa vaksin akan siap di tahun 2020. Diharapkan, vaksin buatan Thailand ini akan lebih murah dibandingkan vaksin Amerika atau vaksin Eropa.
Vaksin Thailand ini dikembangkan Chula Vaccine Research Center, Universitas Chulalongkorn, yang bekerjasama dengan University of Pennsylvania, AS, dengan menggunakan teknologi berbasis mRNA, sejenis material genetik yang tak pernah sebelumnya digunakan untuk membuat suatu vaksin. Uji klinis ke manusia akan dimulai Oktober 2020.
Di MALAYSIA, kata Dr. Fifa Rahman (bekerja di Drugs for Neglected Diseases), jauh-jauh hari sejak Desember 2019, sudah diadakan rapat-rapat untuk mempersiapkan respons dan meninjau ulang penanganan negara terhadap pandemi.
Reagen-reagen yang diperlukan untuk test-test diagnostik sudah dipesan jauh sebelumnya, dan rencana-rencana sudah disusun untuk mereorganisasi rumah-rumah sakit jika suatu wabah besar pecah. Semua orang yang didiagnosis positif terinfeksi dimasukkan ke rumah sakit, bahkan juga mereka yang asimtomatik.
Negara-negara di Asia Tenggara tersebut tidak melakukan testing massal seluas yang dilakukan Korsel. Mereka fokus pada individu-individu yang berisiko tinggi atau pada testing massal yang ditargetkan pada bangunan-bangunan dan lingkungan yang berdekatan di mana kasus-kasus positif sudah ditemukan.
TETAPI BISA TERJADI, kasus yang rendah mencerminkan testing yang sedikit dilakukan. Makin luas, gencar dan agresif testing (RT dan PCR) dilakukan, maka kasus positif akan terus meningkat dan "death rate" (atau CFR) akan menurun.
Di Kamboja, 17.000 orang telah ditest sejauh ini, dan dari test ini ditemukan 126 kasus positif, kebanyakan terkait dengan kunjungan ke luar negeri. Jadi, sangatlah mungkin ada kasus-kasus yang tidak terdeteksi. Masih untung, rumah-rumah sakit di sana tidak membludak, seperti di sejumlah wilayah di Indonesia. Sejauh ini, Kamboja melaporkan tidak ada kematian.
TETAPI ADA KESALAHAN yang telah dilakukan. Di Singapura, misalnya, pekerja-pekerja migran yang diabaikan dan dibayar murah, yang tinggal di asrama-asrama yang luar biasa padat, menjadikan mereka paling banyak yang terinfeksi dari 40.197 kasus sekarang ini.
Di Malaysia juga terjadi lonjakan kasus setelah ada acara pertemuan besar keagamaan di sebuah masjid besar dekat Kuala Lumpur, setelah usaha mencegah pertemuan ini gagal.
Sepenuhnya, respons Malaysia terhadap wabah sejak semula dipimpin para pakar kesehatan, dan bukan oleh para politikus. Ketika Menteri Kesehatan menyarankan lewat TV bahwa minum air hangat akan menetralisir virus, dengan cepat komentar-komentarnya ini ditolak oleh Dr. Noor Hisham, direktur kesehatan umum. Begitu juga, di saat wakil Menkes Malaysia, Noor Azmi Ghazali, tertangkap kamera tidak mentaati aturan-aturan lockdown yang ketat, dia didenda. Ini menyampaikan pesan-pesan yang kuat kepada masyarakat. Demikian kata Fifa Rahman.
Pembatasan di Malaysia sangat ketat. Hanya 1 orang per keluarga yang diizinkan keluar rumah untuk berbelanja kebutuhan hidup sehari-hari. Olah raga harian juga dilarang.
Tambahan pula, udara yang panas dan kelembaban udara yang tinggi dapat memperlambat penularan virus, meski para ahli berbeda pendapat tentang ini.
Profil hidup masyarakat pedesaan, seperti di Kamboja, dapat berpengaruh pada penularan. Event-event besar yang berisiko tinggi untuk penularan tidak biasa diadakan di sana. Penduduk yang kebanyakan berusia muda di sejumlah negara juga dapat berarti bahwa penduduk menjadi kurang rentan terinfeksi virus.
Faktor-faktor yang telah disebut dalam dua paragraf di atas, menurut para pakar, tidak dapat menjadi alasan untuk tidak atau kurang memproteksi suatu negara ketika semua kegiatan bisnis dibuka kembali tahap demi tahap.
Di Bangkok, misalnya, yang sempat menikmati sebentar udara yang bersih selama lockdown, kini jalan-jalan mulai ramai kembali oleh kendaraan. Pasar-pasar dibuka kembali walau pada meja-meja dipasang layar-layar plastik, dan masker wajah tetap dipakai, dan suhu tubuh tetap dipindai.
Jelas, di saat negara-negara berencana untuk melonggarkan larangan perkunjungan, dan membangun kembali ekonomi, tim-tim kesehatan menyadari tidak ada ruang untuk picik berpuas diri.
"Kok Indonesia bisa kalah jauh dalam capaian menanggulangi epidemi Covid-19 dibandingkan Vietnam? Di manakah putera-puteri bangsa yang mumpuni, yang berilmu, yang berakal, dan bermartabat, kini berada?"
☆ ioanes rakhmat
Senin, 15 Juni 2020
Pk. 02:35 WIB
https://mobile.reuters.com/article/amp/idUSKBN23F00Z
https://www.theguardian.com/world/2020/jun/14/thailand-malaysia-vietnam-how-some-countries-kept-covid-at-bay
https://edition.cnn.com/2020/05/29/asia/coronavirus-vietnam-intl-hnk/index.html
https://www.voanews.com/east-asia-pacific/coronavirus-has-thailand-putting-out-multiple-fires-once
https://www.voanews.com/covid-19-pandemic/thailand-enters-global-race-vaccine-trials-monkeys
https://www.bangkokpost.com/thailand/general/1925868/govt-eyes-july-1-lockdown-end
http://en.bocongan.gov.vn/news-events/nam-dinh-police-drastically-prevent-covid-19-t6678.html
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Template:COVID-19_pandemic_data
_______________________________________
OPERASI TRANSPLAN PARU PASIEN COVID-19 DI CHICAGO
13 Juni 2020
Tim dokter bedah di Northwestern Memorial Hospital, Chicago, AS, Jumat, 12 Juni 2020, telah melakukan operasi transplan satu set paru baru ke seorang perempuan muda (usia 20-an) yang paru aslinya telah rusak akibat ARDS Covid-19. Tim dokter ini dipimpin oleh Ankit Bharat, MD, kepala bedah thorax dan direktur bedah Northwestern Medicine Lung Transplant Program. Tidak banyak pasien Covid-19 yang menerima transplan paru, di China, Eropa dan AS.
Operasi transplan ini dilakukan setelah sebuah ventilator dan sebuah mesin jantung-paru (Extra-Corporeal Membrane Oxygenation atau ECMO) sebagai sebuah mesin penopang kehidupan dipasang ke pasien selama 6 minggu.
Kondisi kesehatan si pasien sangat bagus sewaktu belum pindah dari North Carolina ke Chicago. Ketika sudah dimasukkan ke rumah sakit di Chicago tersebut akhir April 2020, kesehatannya dengan cepat berubah sangat buruk, menjadi pasien yang paling sakit.
Para dokter menunggu selama 6 minggu untuk tubuhnya membersihkan virus corona sebelum mempertimbangkan operasi transplan paru. Si pasien juga menunjukkan tanda-tanda jantung, ginjal dan lever mulai gagal bekerja.
Transplan paru adalah satu-satunya peluang untuk si pasien bisa bertahan hidup, karena anda memerlukan sepasang paru untuk bernafas dan mendapatkan oksigen yang masuk ke dalam darah.
Setelah dites negatif virus corona, segera si pasien dimasukkan ke daftar tunggu untuk operasi transplan paru. Seringkali, sementara menunggu donor yang cocok (golongan darah cocok, ukuran paru pas), banyak pasien mati. Dalam 2 hari, tim dokter berhasil mengidentifikasi donor yang tepat.
Prosedur operasi transplan paru yang berlangsung 10 jam memang menantang karena virus corona telah membuat sepasang paru si pasien penuh dengan lubang dan nyaris menyatu dengan dinding dada. Para dokter mengantisipasi kesembuhannya yang menyeluruh. 85% sampai 90% dari pasien-pasien penerima transplan paru dapat hidup 1 tahun setelah operasi.
Namun, setelah operasi berhasil masih ada masalah penolakan oleh sistem imun tubuh (yang harus diatasi dengan obat-obatan immunosupresan) terhadap organ paru transplan, dan masalah infeksi (yang mudah terjadi karena sistem imun yang ditekan, yang membuat virus, bakteri, jamur dan patogen lain dapat mudah menginfeksi).
"Covid-19 itu bukan flu biasa atau flu musiman. Masih belum dapat dijawab, mengapa pada sebagian pasien penyakit ini mematikan, dan pada sebagian lagi hanya menimbulkan simtom ringan."
13 Juni 2020
https://www.forbes.com/sites/brucelee/2020/06/12/covid-19-coronavirus-leads-to-double-lung-transplant-for-woman-in-her-20s/#5397903ce070
https://www.nbcnews.com/health/health-news/after-covid-19-destroyed-her-lungs-young-chicago-woman-receives-n1229841
_______________________________________
NEGERI KIWI BEBAS VIRUS CORONA!
10 Juni 2020
NEW ZEALAND kini telah bebas coronavirus, dan pengumuman kembali ke kehidupan normal dalam segala segi telah disampaikan PM Ms. Jacinda Ardern, pk. 24:00, Senin, 8 Juni 2020.
Lockdown diangkat dua jam setelah pejabat-pejabat kesehatan mengonfirmasi bahwa NZ kini sudah tidak memiliki kasus aktif lagi setelah satu pasien terakhir sembuh, dan setelah 17 hari terakhir tak muncul kasus baru, di hari pertama tak ada lagi kasus aktif, dan tak ada kematian lagi karena Covid-19.
Sang PM memberitahu bahwa dia di rumahnya spontan berdansa sebentar bersama puterinya yang masih muda setelah mendengar berita yang menggembirakan tersebut.
Warga NZ yang terinfeksi coronavirus berjumlah 1504, termasuk 22 orang yang telah mati. 300.000 testing telah dijalankan. Selain itu, "contact tracing" dijalankan dengan luas dan cermat.
Setelah lockdown diangkat, restriksi ketat tentu saja masih diberlakukan hanya di kawasan perbatasan negara. Dengan Australia, negara tetangga NZ, ada rencana NZ untuk menjalankan "travel bubble" (atau "travel bridges" atau "corona corridors"), yaitu keterbukaan dan kebebasan untuk para turis saling berkunjung pp dalam kawasan negara-negara tetangga yang telah berhasil menanggulangi Covid-19. Orang-orang yang ada dalam "gelembung wisata" bebas bergerak ke mana saja, tapi orang yang berada di luar gelembung tidak bisa masuk. Namun Australia tidak mendukung rencana NZ ini. Alhasil, wajah sang PM Jacinda Ardern menjadi merah.
Sejak awal, strategi NZ bukan cuma mau mengendalikan atau memperlambat dan menekan penyebaran coronavirus, tapi pertama-tama mau "memusnahkan" atau "menyingkirkan" coronavirus dari negeri kiwi itu yang berpenduduk 5 juta orang. Ini adalah suatu "explicit eliminating strategy" yang sebelumnya dinilai banyak pakar sebagai sesuatu yang tak mungkin dicapai.
Untuk menggolkan tujuan itu, di bawah kepemimpinan yang tepat PM Jacinda Ardern yang cakap, empatetis, serius, berani, cepat dan tangkas, dan jujur, lockdown diberlakukan dengan sangat ketat (mulai 25 Maret), sekian waktu setelah kasus pertama ditemukan pada akhir Februari 2020. Lockdown ketat berlangsung 4 minggu, setelah itu tahap demi tahap mulai dilonggarkan.
Lockdown dijalankan dengan dukungan dan kerjasama sebagai satu tim "5 juta warga" yang semuanya memikul tugas untuk menjaga dan memelihara kesehatan warga satu sama lain. Semua protokol kesehatan selama lockdown dijalankan penduduk dengan berdisiplin.
PM Jacinda Ardern mengingatkan, meski kehidupan segera kembali normal, kewaspadaan dan kehati-hatian tetap harus dipertahankan terhadap kemungkinan muncul kasus terinfeksi baru, "the potential return of the virus".
Katanya, "elimination (of the virus) is not a point in time; it is a sustained effort". "Melenyapkan virus bukanlah hanya untuk saat ini, tapi suatu usaha yang masih harus dilanjutkan."
Karena itu, penduduk tetap diminta mencatat setiap kontak yang mereka lakukan, makan makanan yang bergizi, dan tinggal di rumah kalau merasa sedang sakit. Boleh saya tambah deh: makan kiwi yang banyak.
Dalam suatu konferensi pers, sang PM menyatakan NZ kembali ke normal "di mana kehidupan balik lagi senormal-normalnya yang dapat dirasakan di saat pandemi global masih berlangsung."
WHO memuji keberhasilan NZ. Hanya ada segelintir negara yang sedang menuju keberhasilan seperti NZ.
Mantan PM New Zealand, Helen Clark, menegaskan bahwa NZ berhasil mengeliminasi coronavirus karena "kepemimpinan yang jelas, dan publik yang ikut terlibat penuh. Selanjutnya, prinsip-prinsip inklusi, daya tahan dan kesinambungan kini harus memandu usaha-usaha pemulihan di NZ dan di tingkat global."
Kini NZ, sebagai suatu negara pulau di Samudera Pasifik, memasuki tahap pemulihan ekonomi dari resesi yang ditimbulkan lockdown. Ini juga bukan hal yang mudah.
"Ingin makan buah kiwi aaah. Duuh, gak tersedia di rumah. Kiwi, kiwi, di manakah kau kini berada? Kau membuatku depresif!"
☆ ioanes rakhmat
10 Juni 2019
https://www.nzherald.co.nz/nz/news/article.cfm?c_id=1&objectid=12338194
https://www.businessinsider.com/jacinda-ardern-dance-for-new-zealand-beating-coronavirus-2020-6
https://www.abc.net.au/news/2020-06-10/nz-travel-bubble-delayed-coronavirus-state-border-restrictions/12338458
https://www.smithsonianmag.com/travel/five-things-know-about-travel-bubbles-180974983/
26 Juni 2020
KEMATIAN KARENA COVID-19 DAN KEMATIAN LAIN ORANG AMERIKA
"Oh Tuhan. Di manakah ini akan berakhir? Kita masih berada di awal."
• Dr. Anthony S. Fauci (pakar terkemuka penyakit infeksius, AS)
Jumlah kematian karena perang, epidemi, serangan, dan bencana (angka-angka dibulatkan)
Pearl Harbour (1941): 2.400
Serangan teror 11 Sept 2001: 3.000
Gempabumi San Francisco 1906: 3.000
Badai Galveston 1900: 8.000
Perang Korea (1950-53): 36.600
Perang Vietnam (1955-75): 58.200
Perang Dunia I (1914-18): 116.500
Covid-19 (per 16 Juni 2020): 117.000
Perang Dunia II (1939-45): 405.500
Flu Spanyol 1918-19: 675.000
The fight against Covid-19 is not over! We are still at the beginning of it.
Pertempuran melawan Covid-19 belum selesai. Kita masih berada di awal. Tak ada seorang pun yang berharap bahwa jumlah korban Covid-19 di AS nanti akan mencapai jumlah korban Perang Dunia II!
"Ada kematian yang bisa dielakkan. Ada yang tidak bisa. Kematian karena Covid-19 bisa diminimalisir dan dihentikan, jika manajemen krisis atas bencana ini dilaksanakan dengan cepat, cermat, tepat dan ketat."
☆ ioanes rakhmat
https://www.latimes.com/world-nation/story/2020-05-01/covid-19-death-toll-wars-disasters
https://www.battlefields.org/learn/articles/civil-war-facts
Persentase kematian berdasar jumlah populasi di saat kejadian
Perang Sipil (1861-65): 620.000 (1,973%)
Pandemi Flu Spanyol (1918-19): 675.000 (0,654%)
Perang Dunia II (1939-45): 405.399 (0,301%)
Penyakit Jantung (rata-rata per tahun): 647.457 (0,197%)
Kanker (rata-rata pertahun): 599.108 (0,183%)
Perang Dunia I (1914-18): 116.516 (0,113%)
Pandemi Flu (1957-58): 116.000 (0,067%)
Pandemi Flu (1968-69): 100.000 (0,050%)
Covid-19 (per 24 Juni 2020): 121.846 (0,037%)
Perang Vietnam (1955-75): 58.220 (0,030%)
Perang Korea (1950-53): 36.574 (0,024%)
Flu Musiman (2017-18): 61.000 (0,019%)
Flu Musiman (2016-17): 38.000 (0,012%)
Flu Musiman (2018-19): 34.157 (0,010%)
Pandemi Flu (2009): 12.469 (0,004%)
"Jika dilihat persentase kematian orang Amerika karena Covid-19, angka 0,037% terkesan kecil. Tapi jika dilihat jumlah orang yang telah mati, 124.415 (per 26 Juni 2020, pk. 03:00 AM EDT/pk. 19:12 WIB), terlihat jelas bahwa kematian karena Covid-19 di sana adalah suatu mimpi buruk."
☆ ioanes rakhmat
https://elemental.medium.com/amp/p/2a7495a43280
Dua tempat saya mau sebut pada momen ini, Bergamo dan New York City.
Bergamo, suatu provinsi di Italia utara, berpenduduk kurang dari 1 juta orang. Lazimnya, per bulan ada kurang dari 1.000 orang yang mati. Tapi selama puncak epidemi Covid-19, Maret 2020, hampir 6.000 orang telah mati, 6,67 kali lipat. (Data resmi, 3.000 kematian). Mungkin, sejauh ini, Bergamo adalah tempat yang terpukul paling keras dalam dunia oleh Covid-19.
Walkot Bergamo, Giorgio Gori, menegaskan, "Tapi kami tidak dapat mengatakan bahwa provinsi Bergamo telah mencapai 'herd immunity'".
New York City, yang lama menjadi episentrum epidemi di AS, telah mengalami salah satu pelonjakan paling ekstrim dalam kematian karena Covid-19. Dalam April 2020, kematian mencapai hampir 6 kali lipat (persisnya 5,83 kali lipat) dari jumlah kematian normal per bulan. Puncak kematian terjadi pada 7-9 April 2020, dengan rerata 10.824 orang. Mengerikan!
Per 29 Juni 2020, pukul 11:32 GMT, di New York terdata ada 416.787 kasus positif, total kematian 31.484, dan kasus aktif 296.266.
"Ketika orang membicarakan kematian, maka segera muncul dalam diri kita rasa takut, rasa ngeri, rasa tak suka, rasa galau, rasa terancam, dan rasa tak berdaya. Betulkah kematian tak bisa dikalahkan sekarang dalam dunia kita?"
☆ ioanes rakhmat
26 Juni 2019
pk. 23:30 WIB
29 Juni 2020
https://www.aa.com.tr/en/europe/bergamo-italy-to-leave-virus-behind-via-renaissance/1870923
https://www.nytimes.com/interactive/2020/06/10/world/coronavirus-history.html
https://coronavirus.jhu.edu/data/new-cases-50-states/new-york
https://www.worldometers.info/coronavirus/country/us/
_______________________________________
22 Juni 2020
"LOCKDOWN LONELINESS" HARUS DITANGANI
Di masa pandemi Covid-19, jika "lockdown" tidak diberlakukan, orang yang mati karena tertular virus corona akan luar biasa jauh lebih banyak dibandingkan jika lockdown diberlakukan.
Itu sudah jelas karena lockdown bertujuan untuk memperlambat atau menyetop penyebaran virus lewat karantina ketat suatu kawasan, suatu daerah atau suatu kota yang telah menjadi "hotspots" virus corona yang menyebar dari sana.
Heran makanya, jika ada orang yang mempersalahkan lockdown. Mereka lebih suka melihat makin banyak orang yang terinfeksi dan makin banyak orang yang mati.
Mereka itulah penganut ide "natural herd immunity" (NHI) yang berkhayal bahwa jika orang dibiarkan berinteraksi sosial dengan bebas, lalu terinfeksi virus, mereka akan jatuh sakit, tetapi mereka akan sembuh sendiri, sekaligus menerima imunitas alamiah, tanpa lewat vaksinasi. Setelah 70-80% populasi suatu negara terinfeksi, maka akan dicapai kekebalan umum yang membuat seluruh populasi suatu negara tidak bisa lagi terinfeksi. Dengan begitu, penyebaran wabah terhenti sendiri. Selain itu, kata mereka (dalam khayalan) ekonomi negara tidak akan terganggu.
Mereka tentu tahu, ekonomi yang terhantam masih bisa diperbaiki, tetapi nyawa yang sudah melayang tak bisa dibeli kembali. Akan ada berapa persen penduduk yang akan mati ("Infection Fatality Rate", yakni rasio antara jumlah kematian dan jumlah aktual orang yang terinfeksi), tidak mereka mau perhitungkan. Akan tinggi sekali.
Ide NHI sungguh-sungguh suatu ide khayalan, yang dipercaya para epidemiolog Swedia yang telah gagal total dengan strategi NHI mereka. Kematian di sana sangat tinggi (jauh di atas tiga negara Nordik lainnya Denmark, Finlandia dan Norwegia yang memberlakukan lockdown!), sekaligus ekonomi juga terperosok ke dalam krisis.
Di bawah ini, saya berikan kurva kasus positif terinfeksi harian per 22 Juni 2020 di Swedia, Inggris, Belanda, Denmark, Norwegia dan Finlandia. Tap atau ketuk gambarnya untuk dapat ukuran besar. Terdata, kasus positif di Swedia tertinggi, jauh lebih tinggi dibandingkan Denmark, Norwegia dan Finlandia.
https://ourworldindata.org/grapher/daily-cases-covid-19?yScale=log&time=2020-02-01..&country=SWE~FIN~NLD~NOR~DNK~GBR
Di bawah ini kurva "Case Fatality Rate" atau persentase kematian per 23 Juni 2020. CFR Swedia jauh di atas CFR tiga negara Nordik lainnya yang menjalankan lockdown, tidak memakai pendekatan NHI (Denmark, Finlandia, Norwegia).
https://ourworldindata.org/grapher/coronavirus-cfr?time=2020-03-10..&country=DNK~FIN~NOR~SWE
https://www.nytimes.com/interactive/2020/06/10/world/coronavirus-history.html
Karena pendekatan NHI, jumlah kematian di Stockholm, Swedia, hampir mencapai 3 kali kematian normal di Swedia sejak pertengahan April hingga Mei 2020.
Terbaca pada infografik di atas (dipublikasi 21 Mei 2020), karena Covid-19 di Swedia 376 orang mati per 1 juta penduduk. Sedangkan di Denmark, 96 per 1 juta; di Finlandia, 55 per 1 juta; dan di Norwegia 44 per 1 juta.
https://www.theguardian.com/world/2020/may/21/just-7-per-cent-of-stockholm-had-covid-19-antibodies-by-end-of-april-study-sweden-coronavirus
Tak ada kepastian dalam diri para pakar penyakit infeksius bahwa pasien Covid-19 yang telah dinyatakan sembuh pasti memiliki antibodi yang kuat dalam jumlah besar untuk melindungi tubuh dari serangan infeksi berikutnya. Imunitas penyintas Covid-19 sangat diragukan. Juga, jumlah orang yang mati karena Covid-19 bukan sedikit.
Data dari Johns Hopkins University per 22 Juni 2020, pukul 18:16 WIB (June, 22, 2020, 03:00 AM EDT), angka kematian karena Covid-19 global sudah mencapai 468.589 orang, dan jumlah orang yang terinfeksi tercatat 8.970.977 (beberapa jam lagi akan tembus 9 juta kasus). Di AS, jumlah orang yang mati sudah 119.977, dengan jumlah kasus terkonfirmasi kini tercatat 2.280.969. Tercatat ada 46.845 kasus terkonfirmasi di Indonesia, dengan jumlah kematian 2.500. Dalam 5 hari terakhir, setiap hari kasus positif di Indonesia bertambah rata-rata 1.331 kasus. Jadi, anda masih mau "main-main" atau "berdamai" dengan si Nona Corona?
Tentu, jika lockdown terlalu lama diberlakukan, selain ekonomi negara pasti terpukul keras, kesepian juga makin dalam menggerogoti kehidupan setiap individu, selain rasa takut, cemas, dan rasa sedih. "Lockdown loneliness" adalah hal yang tidak baik. Harus diatasi, atau orang yang mengalaminya harus ditolong.
Sebuah kajian oleh Office of National Statistics, Inggris, menemukan bahwa ada 7,4 juta orang di sana yang kini menderita "lockdown loneliness".
Juga riset atas 5.260 orang di Inggris (3 April hingga Mei 2020) menemukan fakta bahwa orang yang paling kuat terdampak oleh lockdown adalah orang yang masih muda, lajang, hidup sendirian, atau sudah bercerai.
https://www.telegraph.co.uk/health-fitness/mind/lockdown-loneliness-soaring-sociable-important-health/
Sebuah riset lain menemukan bahwa orang yang secara sosial terisolasi, kemungkinan lebih cepat mati rata-rata naik 29%. Orang yang kesepian, kemungkinan mati lebih awal rata-rata naik 26%, dan orang yang hidup sendiri, 32%.
https://pubmed.ncbi.nlm.nih.gov/25910392/
Sebuah riset longitudinal sejak awal pandemi Covid-19 oleh Institute for Social and Economic Research, University of Sussex, Inggris, menemukan bahwa perempuan lebih terdampak negatif oleh isolasi sosial selama lockdown. Masalah mental selama lockdown meningkat baik pada pria (dari 7% sebelum lockdown menjadi 18% di saat lockdown) maupun pada wanita (dari 11% meningkat ke 27%).
Faktor ekonomi menjadi alasan utama mengapa lebih banyak perempuan mengalami dampak mental dari pandemi dibandingkan lelaki. Selain juga karena perempuan harus lebih banyak mengurus rumahtangga, memelihara anak, makin terkendala untuk berolahraga, dan kehilangan banyak kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan teman-teman mereka.
Lebih dari sepertiga perempuan (34%) mengatakan kadangkala merasa kesepian, dan 11% sering merasa kesepian. Di antara lelaki, 23% kadangkala merasa kesepian, dan hanya 6% yang merasa sering kesepian.
Perempuan usia di bawah 30 paling banyak mengalami dampak mental yang ditimbulkan oleh krisis-krisis epidemi Covid-19. Lelaki usia antara 50-69 paling sedikit terdampak.
Orang yang sebelum pandemi memiliki lebih sedikit teman kurang terdampak. Kebijakan "social distancing" tidak terlalu berpengaruh pada mereka.
https://www.theguardian.com/world/2020/jun/14/one-third-of-uk-women-are-suffering-from-lockdown-loneliness
Di masa epidemi Covid-19, tanpa lockdown dijalankan pun dalam masyarakat Indonesia, kemungkinan makin besar, bukan makin turun, untuk orang merasa tidak aman, takut tertular virus, mengalami berbagai gangguan mental, stres, cemas dan gangguan tidur. Bahkan orang makin takut keluar rumah jika di kawasan sekitar dan di tempat-tempat lain orang berperilaku "semau gue", membuat kerumunan tanpa terkendali, dan tak mentaati protokol kesehatan di masa pandemi belum berakhir.
Tanpa lockdown diberlakukan pemerintah pun, kebanyakan orang yang sadar diri dan sadar lingkungan, tidak berperilaku dablek, dan tahu seberapa jauh virus corona akan merusak tubuh orang yang sudah terinfeksi, dan seberapa tajam sengat kematian dari virus ini, akan memilih tetap "stay at home" dan me-"lockdown" diri mereka dan keluarga mereka sendiri.
Ketika sedang berusaha keras menanggulangi Covid-19 di negerinya, PM New Zealand, Ms. Jacindra Ardern, mengajak penduduk NZ untuk bekerja sebagai "satu tim lima juta orang", dan mendorong warganya "untuk bertindak seolah mereka semua sedang terjangkit Covid-19, lalu berdiam dalam 'bubble' masing-masing di rumah."
Kini NZ dinyatakan sudah "bebas virus corona". Ini bisa terjadi karena NZ memberlakukan "lockdown" ketat dengan sangat segera dan agresif, tanpa menunda. Tentang keberhasilan NZ, sudah pernah saya tulis juga; tulisannya ada pada kronik ini (lihat di bawah, tanggal 10 Juni 2020).
https://theconversation.com/why-new-zealands-coronavirus-cases-will-keep-rising-for-weeks-even-in-level-4-lockdown-134774
Lihat juga video youtube https://m.youtube.com/watch?v=ShWPNtell50.
Di atas, Swedia telah saya sebut. Nah, New Zealand memakai strategi penanggulangan Covid-19 yang berbeda dari strategi Swedia. Yakni strategi "mengeliminasi virus corona" lewat lockdown agresif dan protokol menjaga kesehatan diri dan kesehatan umum sebagai "satu tim lima juta warga". Lihat video di bawah ini yang membandingkan strategi dua negara ini dan hasil-hasilnya.
Well, setelah masa PSBB ("a soft lockdown") lewat dan masyarakat Indonesia memasuki masa "new normal", kesepian tetap masih akan dialami banyak orang. Tak ada orang yang bisa bergembira ria karena wabah Covid-19 masih akan berlangsung lama.
Kita semua takut virus corona. Meski demikian, kita harus berani dan cerdas melawan virus ini. Tetapi, kata Prof. John Oxford, dari Queen Mary University, Inggris, ada juga "suatu virus sosial" yang dapat membuat kita lebih cepat mati karena terputus dari interaksi sosial lewat "physical distancing" dan "stay at home". Yang perlu dicapai adalah bagaimana interaksi sosial kita tidak hilang, sementara protokol kesehatan seperti memakai masker wajah kita jalankan di masa epidemi ini.
https://www.telegraph.co.uk/women/life/looming-threat-coronavirus-even-scarier-single/
Jadi, dibutuhkan keterlibatan komunitas-komunitas, gereja misalnya, untuk membantu orang keluar dari "lockdown loneliness" meski mereka tetap "stay at home". Perangkat komunikasi nirkabel smartphones sudah lama dipakai untuk mengatasi kesepian, misalnya lewat video call, atau video calling apps seperti Zoom atau FaceTime, untuk berinteraksi jarak jauh, dengan melihat wajah, dan bercakap-cakap.
Tetapi kita membutuhkan lebih dari itu. Kesepian karena kehilangan interaksi sosial secara fisik, tatap muka, harus diatasi.
Mari kita dengarkan video di bawah ini yang berisi nasihat direktur WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus, tentang mempertahankan kesehatan raga dan mental kita di masa pandemi ini.
Well, lewat risetnya, Prof. Julianne Holt-Lunstad, ahli psikologi, Brigham Young University, menemukan bahwa "kesepian dapat meningkatkan risiko anda mati sebelum waktunya, sebesar 30%. Ini sama dengan akibat dari merokok 15 batang sigaret per hari, dan lebih berbahaya dari obesitas. Isolasi sosial juga berakibat pada timbulnya radang, penyakit jantung dan dementia.
Perjumpaan dan percakapan tatap muka lewat layar smartphones dan PC tidak memberi efek yang sama kuatnya dengan perjumpaan fisik aktual, dekat, bertatapmuka, yang membuat kita dapat mencium aroma tubuh teman dan dapat menyentuh tubuh mereka.
Perjumpaan fisik ini "mengalirkan info" ke amygdala dalam otak kita, yang menjadi pusat emosi kita. Selain itu, semua aktivitas perjumpaan fisik yang ditangkap indra-indra kita yang dasariah dan primitif menghasilkan hormon oksitosin (hormon sosial atau hormon cinta) yang membuat rasa gembira muncul, lalu hormon kortisol (hormon stres atau kecemasan atau depresi) lenyap, diganti dengan hormon endorfin (hormon pereda rasa sakit atau hormon penenang) yang membuat kita merasa damai dan kalem.
Ada "interface" antara sistem saraf kita yang memproduksi hormon-hormon dan sistem imun kita. Semakin merasa sepi, takut, cemas dan gelisah, semakin menurun kekuatan sistem imun kita.
Memberi perhatian dan empati pada orang lain yang mengisolasi diri, lewat berbagai cara, bukan saja membawa kebaikan kepada orang yang kita perhatikan, tapi juga kepada diri kita sendiri. Di saat kita melakukan hal itu, hormon dopamin (hormon kebahagiaan) terproduksi dan mengalir masuk ke fisiologi tubuh kita yang akan memperkuat sistem imun kita.
Sistem imun yang dibuat lebih kuat lewat interaksi sosial secara fisik, sangat diperlukan untuk melawan epidemi ini. Bukan lewat vitamin dan suplemen makanan saja, atau lewat berjemur di bawah cahaya Matahari pagi, tetapi juga lewat "vitamin sosial", yakni interaksi dan kontak sosial.
Jadi, harus ditemukan terobosan-terobosan bagaimana interaksi dan perjumpaan sosial secara fisik dapat terjadi tanpa membuat kita terpapar pada virus corona.
Nah, "social bubble" yang pernah saya tulis (post 17 Juni di bawah), sangat relevan dipertimbangkan dan dijalankan, sesuai sikon masing-masing komunitas dan kecakapan para pemuka komunitas.
"Ketika siapapun kesepian, Tuhan pun dirasakan jauh di sana dan juga sama-sama kesepian. Bagaimanapun juga, dalam kesepian, Tuhan masih bisa kita ajak berbicara. Belajarlah mendengar suara Tuhan yang sunyi."
☆ ioanes rakhmat
22 Juni 2020
9 Juli 2020
____________________________________
INDONESIA: SELAMATKAN WARGA DAN SELAMATKAN EKONOMI!
20 Juni 2020
Saya awali dengan penyajian data statistik Covid-19 di Indonesia, dengan menonjolkan provinsi DKI Jakarta.
https://jeo.kompas.com/update-pergerakan-data-harian-covid-19-di-indonesia
Tap atau ketuk gambarnya untuk dapat ukuran besar
Kurva kasus terinfeksi harian kumulatif terus menanjak, baik kurva DKI maupun kurva nasional. Hanya data yang dimanipulasi, yang akan menghasilkan kurva yang sudah tiba di puncaknya ("plateauing") lalu mulai turun dan melandai.
Artinya, orang yang terinfeksi virus corona di Indonesia terus bertambah. Kasus-kasus baru terdeteksi makin banyak bisa karena test RT (antibodi) atau test PCR (swab) sedang gencar dan meluas diadakan (dalam batas kuota yang disediakan per daerah), dan juga karena jumlah orang yang betul-betul sakit (terinfeksi) dan menunjukkan simtom atau gejala yang nyata memang makin banyak, lalu dimasukkan ke rumah sakit atau melakukan isolasi mandiri, atau tetap berkeliaran bebas karena tergolong OTG.
Maka, sebagai info sampingan saja, dibedakan antara "angka kematian" CFR ("Case Fatality Rate") yang kasus terinfeksinya ("case") dikonfirmasi oleh testings RT atau PCR dan angka kematian IFR ("Infection Fatality Rate") yang kasus terinfeksinya adalah kasus aktual, jumlah sebenarnya orang yang terinfeksi dalam masyarakat, yang mencakup orang-orang yang belum dikonfirmasi lewat testings RT dan PCR. Sangat mungkin IFR (karena "I" lebih besar dari "C") jauh lebih rendah dari CFR.
Terlihat pada data infografis di atas, penambahan kasus per hari, 19 Juni 2020, mencapai 1.041 orang. Jadi, total "confirmed cases" nasional pada tanggal yang sama makin tinggi, 43.803 (dengan 34.148 kasus di antaranya ada di luar DKI). Jumlah orang yang mati 2.373. Akibatnya, "Case Fatality Rate" (CFR) atau "death rate" otomatis turun; per 19 Juni sebesar 5,4%. (IFR bisa jadi lebih rendah dari 5,4%).
Coba anda cek sendiri pada tabel di atas, sudah berapa banyak kasus di provinsi anda. Dari seluruh 34 provinsi di Indonesia, provinsi DKI tercatat memiliki kasus terbanyak (9.655), kemudian Jawa Timur (9.057), Sulawesi Selatan (3.573), Jawa Barat (2.805), Jawa Tengah (2.471), dan Kalimantan Selatan (2.392). Di atas 1.000 kasus, mencakup Papua (1.368), Banten (1.331), Sumatera Utara (1.024), dan Nusa Tenggara Barat (1.022).
Jadi, wabah yang masih terus meluas dan jumlah orang yang terinfeksi makin banyak, dus kurva-kurva terus bergerak naik, adalah sikon dan peta real epidemiologis di Indonesia, meskipun PSBB ("a soft lockdown") resminya diberlakukan.
Di banyak negeri lain di dunia, "lockdown" diadakan dengan sangat ketat justru untuk "melandaikan kurva", "flattening the curve". Sudah banyak negara yang berhasil melandaikan kurva-kurva bahkan sampai kempes datar. Indonesia termasuk negara yang tidak atau belum berhasil ke situ.
Nah, ketika kurva sudah tiba dipuncak lalu turun melandai, di saat itulah baru ada pijakan kuat untuk secara bertahap "lockdown" dilonggarkan sebelum akhirnya diangkat sepenuhnya. Bagaimana dengan Indonesia?
Meski kurva-kurva kasus terinfeksi (harian kumulatif, dan aktif) masih terus menanjak, Indonesia sudah mulai melonggarkan PSBB dan segera masuk ke tenggang "new normal", dengan kegiatan-kegiatan bisnis dan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan lain dibuka kembali, dan dijalankan dengan berpedoman pada protokol kesehatan era "new normal". Ini harus dijalankan untuk menyelamatkan ekonomi. Itu alasan pemerintah yang bisa dipahami, meski kurva-kurva epidemiologis tidak mendukung.
Tetapi langkah yang dipersiapkan negara itu tentu membuat orang dapat memprediksi bahwa "infection rate" atau jumlah orang yang aktual terinfeksi akan makin bertambah banyak, bukan makin berkurang, meski sudah ada berbagai pedoman tentang bagaimana kehidupan sosial dan bisnis harus dijalankan di masa "kebiasaan-kebiasan normal yang baru".
Nah, dalam sikon yang sekarang dan segera kita jalani ini, ada banyak orang berpendapat bahwa pemerintah RI memilih menyelamatkan ekonomi, dan, akibatnya, merelakan warga terinfeksi, dan yang akan mati tokh para lansia saja. Warga muda tahan virus. Betulkah pendapat dan kebijakan ini? Salah! Lagian, itu juga bukan kebijakan pemerintahan Pak Jokowi.
Siapa bilang orang muda (40-an tahun ke bawah, katakanlah) lebih tahan terhadap Covid-19? Itu mitos. Covid-19 membunuh semua golongan umur, dari bayi hingga manula. Tak pilih-pilih. Laki-laki juga perempuan, diinfeksi Nona Corona, dan tak sedikit yang dibunuhnya dengan cara-cara yang sangat menyakitkan.
Orang tua juga tidak selamanya rentan mati, asal tidak ada penyakit ikutan kronis (komorbiditas) seperti diabetes, tekanan darah tinggi, sakit jantung, obesitas, otoimun, gangguan ginjal, pneumonia, ketika mereka terkena Covid-19.
Jangan lupa, warga Indonesia itu kebanyakan dablek, hidup semua gue, terserah gue. PSBB yang lebih ketat dari protokol "new normal", tidak jalan. Kalau pun berjalan, cuma sebagian, dan hanya di sejumlah kawasan. PSBB yang ketat dan sangat membatasi gerak saja diabaikan, disepelekan, apalagi yang lebih longgar dan lebih ringan. Ya, "new normal" pasti akan lebih disepelekan lagi. Akan tinggal sebagai teori atau formalitas saja. Wait and see, now and tomorrow!
Tuh lihat sekarang di pasar-pasar becek/tradisional. Para pedagang tetap berkerumun, tak ada "social distancing". A, b, c, d, ... protokol kesehatan "new normal" tidak dijalankan. Yang terinfeksi virus makin banyak.
Dalam inspeksi mendadak ke Pasar Jembatan Lima, fraksi PSI DPRD DKI menemukan bahwa pengawasan kebijakan protokol kesehatan Covid 19 di pasar tradisional masih minim.
Eneng Malianasari, anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PSI, dalam keterangan tertulisnya, Jumat 19 Juni 2020, menyatakan bahwa belum ada sosialisasi ataupun pengawasan sehingga aturan protokol kesehatan hanya sekadar formalitas, teori saja.
Di Pasar Jembatan Lima, Jakarta Barat, Eneng melihat protokol kesehatan hampir tidak diterapkan sama sekali. Sebagian besar pedagang tidak menggunakan masker wajah, ketentuan jaga jarak maupun mekanisme kios ganjil genap seperti yang sudah ditetapkan Pemprov DKI juga tidak diikuti.
Eneng menilai, hal itu membuat tes Covid-19 yang gencar diadakan di pasar akhirnya sia-sia karena penyebaran virus terus terjadi. Dia memprediksi pasar-pasar akan jadi klaster baru (disebut klaster jika ditemukan minimal ada 10 orang yang positif terinfeksi) atau "hotspots" atau "hotbeds" (jika di suatu kawasan terbatas ada puluhan hingga ratusan orang yang terinfeksi) virus corona di Jakarta. Tidak usah diprediksi, saya kira, tapi sudah jadi kenyataan.
Anda berani masuk ke pasar-pasar tradisional yang ramai dan semrawut untuk berbelanja sekarang atau kemarin-kemarin? Belanja sayur-mayur, buah-buahan, dll di pasar-pasar swalayan besar apakah juga aman dan sehat, mengingat antara lain sayur-mayur dll yang dijual di sana juga dipasok dari pasar induk tradisional, Pasar Kramat Jati, Jakarta, misalnya? Waduuh!
Data dari Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (IKAPPI) menunjukkan ada lebih dari 400 pedagang di 93 pasar tradisional terinfeksi virus corona, sejauh ini. Di Indonesia, ada 14.000 pasar tradisional. Penularan virus SARS-CoV-2 di pasar-pasar tradisional sangat cepat dan tinggi karena "contact rate" antar kerumunan orang di sana sangat tinggi, dan berlangsung di ruang-ruang yang sempit.
Selain itu, terdata juga bahwa dari total 3.031 pedagang yang sudah ditest, ada 137 pedagang pasar positif terinfeksi di 18 pasar di Jakarta. Jumlah kasus terbanyak ditemukan di Pasar Induk Kramat Jati. Jumlah kasus masih akan meningkat karena ada 690 orang yang masih menunggu hasil test swab mereka keluar. Selain itu, klaster-klaster virus corona juga terdeteksi di Pasar Raya Padang, Sumatera Barat, dan di Pasar Besar, Palangkaraya, dll.
Selain itu, diingatkan juga oleh Eneng bahwa para pedagang kaki lima (PKL) harus pula menjalankan protokol kesehatan dengan dikontrol oleh petugas kelurahan dan kecamatan, jika kita memang mau sama-sama melawan virus corona! Setuju, setuju saya, Bu Eneng!
Ketika seorang pedagang di Pasar Raya Padang ditanya apakah dia tidak takut tertular, si pedagang menjawab, "Kalau nggak jualan, mau makan apa?"
Loh, kalau mati karena terkena Covid-19, lalu mau jualan apa? Ruwet juga ya.
https://metro.tempo.co/amp/1355327/sidak-ke-pasar-dki-psi-protokol-kesehatan-hanya-formalitas
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-53094297
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/06/20/15321351/49-pedagang-pasar-induk-positif-covid-19-wali-kota-kalau-ditutup-muncul
Klaster-klaster baru "super-spreaders" virus akan muncul juga di pusat-pusat grosir, di kawasan pergudangan dan distribusi, di rumah-rumah pemotongan hewan dan pemrosesan serta pengepakan daging, dan mungkin juga di gereja-gereja yang aktif lagi, dan di rumah-rumah ibadah lain, selain di rumah-rumah tahanan, di kawasan bedeng-bedeng tukang bangunan, di sekolah-sekolah yang baru dibuka kembali, di stasiun-stasiun angkutan umum, dll.
Lalu, yang harus diingat betul, adalah tidak boleh warganegara dikorbankan, meski lansia, lewat wabah Covid-19. Jika itu dilakukan, negara melanggar hukum, melanggar etika politik ketatanegaraan dan kewarganegaraan. Kewajiban negara adalah melindungi warganya, dari semua golongan umur, from womb to tomb.
Memang pemerintah RI lewat BNPB pada 2 Juni 2020 sudah menegaskan bahwa strategi "natural herd immunity" (NHI) bukan opsi pemerintahan Pak Jokowi.
Cukup Swedia saja yang memakai strategi NHI (warga dibiarkan terinfeksi virus, lalu jatuh sakit, kemudian akan sembuh, lalu memiliki kekebalan alamiah, tanpa lewat vaksinasi) yang tak etis ini, yang akhirnya terbukti gagal total: warga yang mati sangat banyak, dan sampai akhir April hanya 7,3% saja dari warga Stockholm yang berhasil membangkitkan antibodi dalam tubuh mereka (padahal para epidemiolog Swedia memprediksi pada pertengahan Juni NHI akan dialami 40 hingga 60% warga Swedia). Menurut WHO, dari seluruh populasi dunia, hanya 1 hingga 10% saja yang akan memiliki antibodi setelah sembuh dari Covid-19. Sekaligus juga, ekonomi Swedia terpukul keras.
Strategi Swedia ini (yang nyaris diikuti Inggris, dan juga Belanda) yang berakhir tragis sudah saya tulis berpanjanglebar pada Kronik Covid-19 Internasional (Bagian 1) dalam sekian hari terpisah-pisah.
Jadi, sekali lagi, adalah salah jika orang berpikir bahwa pemerintah RI memilih mengorbankan nyawa warga Indonesia ke Nona Corona demi menyelamatkan ekonomi nasional. Jadi, seharusnya bagaimana?
Yang seharusnya dilakukan pemerintah RI adalah mengambil sikap dan kebijakan yang seimbang: menyelamatkan warganegara serentak menyelamatkan ekonomi.
Direktur umum WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, setelah menegaskan bahwa Covid-19 adalah "suatu pandemi", menyatakan bahwa "Pandemi bukan suatu kata untuk digunakan dengan enteng saja atau dengan semberono. Pandemi adalah sebuah kata yang jika salah dipakai dapat menimbulkan ketakutan yang tak masuk akal, atau mengakibatkan sikap pasrah yang tak dapat dibenarkan bahwa pertempuran sudah usai. Akibatnya, timbul kematian dan penderitaan yang tak perlu."
Selanjutnya, Gebhreyesus mengakui bahwa langkah-langkah pengendalian wabah Covid-19 "pelan-pelan akan menghancurkan masyarakat dan ekonomi". Jadi, semua bangsa dan negara "harus mengupayakan suatu keseimbangan yang bagus antara melindungi kesehatan publik dan meminimalisasi goncangan-goncangan sosial dan ekonomi."
https://www.bioworld.com/articles/433645-officially-a-pandemic-but-covid-19-fight-far-from-over-says-who-director-general
Jelaslah, tugas rangkap dua itu, menjaga keseimbangan, harus dijalankan dengan cermat, sinambung, konsisten dan efektif, dan rakyat dengan sadar mendukung penuh, tidak dablek. Ini hanya bisa terjadi, jika ada pengetahuan, kemauan politik, tindakan dan hukuman tegas bagi para pelanggar protokol kesehatan, sarana dan wahana medik yang tangguh, serta pekerja medik yang dapat diandalkan, kejujuran, transparansi, dan tentu saja dana.
Logis, jika makin banyak orang yang mati dibunuh Nona Corona di era "new normal", juga dari golongan usia muda, ya ketakutan dan kepanikan akan timbul lagi. Lalu warga tidak mau keluar rumah lagi. Memilih "stay at home" lagi. Trauma dialami. Jiwa terguncang lagi. "Lockdown loneliness" atau rasa kesepian karena lockdown, akan terasa lagi, makin dalam. Mall dan restoran dll kegiatan bisnis yang sudah buka kembali tidak dikunjungi lagi. Sepi lagi. Sunyi lagi. Karena semua ketakutan. Saat ini terjadi, "new normal" memukul balik, "backfire", ekonomi anjlok lagi.
Boleh saja CFR yang menurun (menjadi sekitar 5 hingga 6%) dan "recovery rate" (jumlah orang yang dinyatakan telah sembuh) yang meningkat dijadikan bukti bahwa penanganan epidemi Covid-19 di Indonesia sudah membuahkan hasil positif. Tetapi nanti dulu!
CFR bisa menurun ya karena jumlah kasus positif terus meningkat lantaran testing PCR sedang agresif dan luas dijalankan (pertama-tama untuk menemukan orang yang positif terinfeksi, lalu untuk memutus matarantai penularan melalui "tracking" dan "contact tracing"). Tetapi, lepas dari gencar atau tidaknya test PCR diadakan, jumlah orang yang baru terinfeksi ("new cases") menanjak ya karena memang jumlah orang yang aktual baru terinfeksi terus bertambah. Jumlah orang yang sembuh yang makin banyak, juga hal yang bagus.
Tetapi yang diperhatikan masyarakat terutama dan pertama-tama adalah jumlah kasus positif terinfeksi yang terus meningkat. Kurva kasus positif yang terus menanjak, bagi masyarakat, adalah tanda bahwa hidup belum atau tidak aman. Apalagi kalau orang yang sudah terinfeksi tapi tak terdeteksi ikut diperhitungkan. Masyarakat tak peduli pada CFR yang menurun atau jumlah orang yang sembuh bertambah terus. Sembuh atau tidak sembuh, masyarakat hanya punya satu keinginan: tidak mau sakit, tidak mau terinfeksi, tidak mau tertular Covid-19.
Karena itu, warga yang punya pengetahuan dan kesadaran diri tidak akan mau ambil bagian dalam kegiatan apapun dalam masyarakat yang akan memperbesar risiko mereka tertular virus corona. Sikap waspada ini bisa berbalik memukul roda ekonomi yang sedang digerakkan kembali. Hal ini tidak akan terjadi jika kurva kasus positif telah lebih dulu sampai di puncak, lalu mulai turun, melandai hingga kempes datar. Kurva yang seperti ini adalah tanda hidup sudah mulai aman.
Selain itu, di masa epidemi Covid-19, perusahaan apapun yang telah dibuka kembali menghadapi persoalan lain yang juga serius.
Ketika karyawan kembali bekerja sementara epidemi Covid-19 masih berlangsung dan makin meluas (sampai ada vaksin dan obat yang aman dan manjur), dua hal berikut pasti akan terjadi: sebagian karyawan jatuh sakit terkena Covid-19, selanjutnya akan muncul banyak tuntutan hukum lewat pengadilan untuk perusahaan menyediakan lingkungan dan kondisi kerja yang lebih aman, atau untuk memberi kompensasi terhadap gaji yang hilang dan tagihan pengobatan.
Hal-hal lain yang dapat diperkarakan mencakup antara lain:
• perusahaan belum cukup melakukan langkah-langkah menjaga karyawan dan keluarga mereka bebas dari coronavirus
• hak-hak privat pegawai
• diskriminasi usia
• pemaksaan untuk segera bekerja kembali kepada para pegawai yang memiliki risiko tinggi tertular virus
Risiko-risiko legal ini harus siap dihadapi perusahaan, sebab sangat mungkin para pekerja tidak akan tinggal diam sekalipun biaya pengobatan pasien Covid-19 ditanggung negara, seperti di Indonesia.
Tuntutan-tuntutan hukum tetap akan timbul kendati, misalnya, negara sudah punya sistem kompensasi bagi pekerja di masa epidemi (untuk karyawan BUMN, misalnya), atau sudah ada jaminan dari jejaring perusahaan asuransi. Persoalan menjadi jauh lebih rumit ketika tuntutan-tuntutan sangat banyak, yang akhirnya dapat membuat perusahaan bangkrut padahal belum lama dibuka lembali.
Tentu perusahaan bisa memakai taktik meminta bukti-bukti bahwa pegawai mereka yang mengajukan tuntutan betul terkena Covid-19 di perusahaan tempat mereka bekerja. Tanpa bukti, tuntutan jadinya akan gugur. Tetapi di masa epidemi ini, taktik semacam ini tidak etis, dan tidak empatetis, dan mencerminkan budaya perusahaan yang buruk. Budaya tanpa kolegialitas dan solidaritas antara pemilik perusahaan dan para pekerja.
https://www.bloomberg.com/news/articles/2020-06-12/coronavirus-lawsuits-returning-workers-could-sue-businesses
Muaranya: Rakyat yang mati terus bertambah, ekonomi juga terpukul dua kali!
Susah bukan? Rumit bukan?
Nah, jangan dibuat sederhana dengan memilih membiarkan rakyat mati karena wabah. Uang bisa dicari meski sulit, tetapi nyawa tidak bisa dibeli dengan harga berapapun.
Meski "new normal" menjadi pilihan, tetapi tanpa kesadaran warga yang tinggi untuk menjalankan protokol kesehatan di semua bidang kehidupan sehingga "new normal" hanya menjadi teori saja, sebagai formalitas saja, maka kita semua akan jatuh ke dalam bencana dahsyat.
"Dari jurang yang dalam tanpa dasar, kita bertanya, dari manakah pertolongan akan datang. Suara kita tenggelam, lenyap, sunyi, tanpa gema."
☆ ioanes rakhmat
Sabtu, 20 Juni 2020
_______________________________________
MEMBANGUN "SOCIAL LIFE BUBBLE" DI SAAT EPIDEMI COVID-19
17 Juni 2020
INDONESIA kini sedang gencar dan agresif melakukan test PCR per wilayah dengan kuota PCR per wilayah dibatasi. Juga gencar dilaksanakan di DKI Jakarta. Tapi tak lama lagi akan terhenti juga ketika kuota PCR per wilayah habis.
Hasilnya, ditemukan banyak warga Indonesia (di DKI khususnya) yang sudah terinfeksi, dengan tak sedikit yang asimtomatik.
Makin gencar test PCR diadakan, maka kurva kasus positif terinfeksi harian kumulatif akan menanjak terus, dan tidak bisa diketahui kapan kurva akan sampai di puncaknya, lalu mulai melandai sampai akhirnya kempes datar. Selain itu, CFR atau "death rate" akan turun juga, karena jumlah kasus positif meningkat.
Per 16 Juni 2020, pk. 21:35 WIB (atau June 16, 2020, 03:00 AM EDT), kasus positif terinfeksi harian kumulatif Indonesia sudah mencapai 40.400, dengan jumlah kematian 2.231 orang. "Death rate" tentu turun lagi menjadi 5,5%.
Sedangkan kasus terkonfirmasi global sudah tembus delapan juta, tercatat 8.063.488, dengan jumlah kematian 437.532 orang. Amerika Serikat sudah lebih dari dua juta kasus, tercatat 2.114.180, dengan 116.130 kematian. Angka-angka ini mengerikan, bukan cuma angka, tetapi manusia, bagian dari kita.
https://coronavirus.jhu.edu/map.html.
Jumlah orang yang asimtomatik (OTG) di Indonesia perlu diasumsikan sangat banyak, dan dari mereka virus terus menular dan menyebar. Mereka bisa menjadi OTG karena faktor environmental yang keras dan faktor gaya hidup mereka yang lebih banyak "di jalanan". Faktor-faktor ini berinteraksi dengan gen-gen mereka. Di antara mereka harus dianggap ada juga banyak "superspreaders", yakni orang-orang yang membawa muatan virus ("viral load") sangat besar dan menularkan virus ke luar biasa banyak orang lain.
Jika kurva kasus positif harian kumulatif Indonesia belum tiba di puncak (ini masih sangat lama!), tapi PSBB sudah dilonggarkan atau tidak berjalan, dan masyarakat diarahkan untuk hidup dalam "new normal", maka sudah bisa diprediksi bahwa kita akan masuk ke dalam bencana Covid-19 individual dan bencana Covid-19 klaster-klaster. Ini akan mengerikan. Ini ABNORMAL, bukan "new normal". Kecuali Indonesia sudah memiliki vaksin Covid-19 yang aman dan manjur.
Paling baik, jika sikon yang mengerikan itu datang, kita hidup dalam "social life bubble", yakni hidup dalam komunitas kita yang lebih besar dari keluarga sendiri, dengan semua orang di dalam "bubble" atau "gelembung" kita sehat dan tidak membawa atau bermuatan virus dan berinteraksi wajar, dan mempunyai persediaan kebutuhan hidup sosial bersama. "Social distancing" kita lakukan hanya dengan orang lain di luar gelembung kita. Mereka tidak boleh menembus "bubble" kita.
"Social life bubble" kita butuhkan, karena kita tidak akan tahan, dan juga tak baik bagi kesehatan mental, jika kita hidup dan bergaul hanya dalam keluarga inti saja untuk waktu yang lama. Di masa pandemi Covid-19 ini KDRT di mana-mana meningkat. Penyakit-penyakit psikosomatis ditanggung sangat banyak orang. Gangguan mental dan gangguan tidur juga meningkat. "Lockdown loneliness" atau "kesepian yang muncul karena lockdown" dialami banyak orang, tua dan muda, laki dan perempuan.
Kata "bubble" dapat diganti dengan "circle" atau "quaranteam" atau "social pod" atau "widened or extended exclusive household circle" atau "lingkaran keluarga yang diperluas dan eksklusif". Orang yang berada di luar "bubble" atau "circle" kita ("those outside the bubble/the circle"), tidak boleh berinteraksi atau menembus masuk ke dalam "circle" kita. Interaksi dan koeksistensi serta proeksistensi hanya dilakukan oleh anggota-anggota dalam "bubble" kita saja.
Tentu saja, selain semua anggota dalam suatu "bubble" harus sehat dan bebas dari virus, mereka juga harus saling percaya, kalem, bebas, merasa aman, ramah, cakap bermitra, dan sanggup dan mau hidup saling berbagi dan saling melindungi dan menjaga. Jika dirasakan ada kebutuhan untuk "memperluas" atau "memperbesar" gelembung sosial kita, lakukanlah ini dengan sangat hati-hati dan pelan-pelan sampai batas maksimal yang tak boleh diperbesar lagi, yaitu 10 orang.
Video "social bubble"
Gideon Lichfield (editor in chief dari MIT Technology Review) telah menulis panduan untuk membangun "social bubble" atau "quaranteam" khususnya bagi individu-individu yang mau membangun bukan persahabatan ("friendship") tetapi kemitraan ("partnership"), bukan bagi keluarga-keluarga.
Video wawancara dengan Gideon Lichfield
Pasti ada gunanya jika pada kesempatan ini saya memberi garis besar panduannya, berikut ini. Selengkapnya tersedia di sini https://www.technologyreview.com/2020/05/09/1001547/coronavirus-bubble-pod-quaranteam-social-distancing-negotiation/.
Saat anda sedang membicarakan kemungkinan membangun "social bubble" dengan orang lain sebagai mitra, Lichfield memberi sembilan poin bimbingan.
1) Sepakat untuk tidak merasa susah atau tersakiti apapun hasil dari percakapan penjajakan yang anda dan mitra anda lakukan.
2) Pikirkan risiko-risikonya, misalnya jika mitra yang dengannya anda membangun "social bubble" ternyata suatu saat jatuh sakit Covid-19 atau tidak memberitahu anda sebelumnya bahwa dia seorang asimtomatik (mungkin karena dirinya sendiri tak tahu).
3) Bicarakan apa maksud dan tujuan anda mau membangun kemitraan dengannya dalam suatu "social life bubble". Keterusterangan dalam hal ini akan mencegah timbulnya friksi yang tidak enak di kemudian hari.
4) Bersepakat untuk mengikuti aturan-aturan yang sama, dalam hal apapun, misalnya aturan untuk selalu memakai masker wajah, atau selalu mencuci tangan, atau ketika batuk.
5) Percakapkan dengan terbuka hal-hal rutin apa saja yang selalu anda lakukan. Misalnya, hal-hal yang menyangkut kebersihan tubuh, kebersihan rumah, sanitasi dan disinfektasi, pakaian yang berbeda saat di dalam rumah dan saat di luar rumah, pemakaian sarung tangan, sterilisasi benda-benda dalam rumah, pemesanan makanan kiriman dari luar rumah, dll.
6) Menerima fakta bahwa tidak seorang pun dari anda dan mitra anda akan selalu bersikap rasional menyangkut banyak hal. Misalnya, mengenai peringatan dan kewaspadaan terkait protokol kesehatan, prevensi penyakit, di dalam dan di luar rumah. Jangan sampai anda menantang mitra anda untuk mendasarkan sikap dan tindakannya pada fakta-fakta yang anda ketahui dan jalankan. Penghakiman dan penilaian anda harus ganti dengan empati dan pemahaman tentang asal-usul dan latarbelakang mitra anda.
7) Sepakat atas apa yang anda akan komunikasikan, lalu mengkomunikasikannya kembali beberapa kali. Khususnya ketika anda mengubah sedikit atau banyak kegiatan rutin anda, atau perilaku anda, misalnya ketika anda mau bertemu dengan seseorang yang tidak masuk dalam "bubble" anda, atau ketika menerima info-info baru tentang coronavirus. Jika ini anda lakukan, kepercayaan akan terbangun dalam "social bubble" anda demi kesehatan bersama.
8) Apapun yang berlangsung dalam "bubble" anda dengan mitra anda, jangan sebarluaskan hal itu lewat medsos dll.
9) Tentukan bersama berapa lama anda mau membangun "social bubble" dengan mitra anda, satu minggu, dua minggu atau lebih.
Well, kebetulan saya menemukan sebuah artikel yang cukup detail memuat pengarahan yang hati-hati untuk "social bubble" dijalankan keluarga-keluarga orang Alaska yang juga sedang melonggarkan lockdown sementara kasus positif terinfeksi di sana semakin rendah. Kehati-hatian sangat ditekankan khususnya kalau "social life bubble" kita memasukkan manula yang rentan sakit, yang harus berada bersama dengan anak-anak.
Bacalah artikelnya. Adaptasilah dengan kebutuhan anda untuk membangun "gelembung kehidupan sosial" di komunitas-komunitas anda. Ini linknya http://dhss.alaska.gov/dph/PlayEveryDay/blog/Lists/Posts/Post.aspx?ID=466. Baca juga ini https://www.goodtoknow.co.uk/wellbeing/health/what-is-social-bubble-meaning-childcare-539799.
Saya jelas bisa membayangkan, akan muncul berbagai macam reaksi, entah positif dan merasa aman, ataupun negatif dan merasa tidak aman, terhadap usaha-usaha membangun "social bubble" atau "quaranteam" yang sudah digambarkan di atas.
Bagaimanapun juga, "social bubble" adalah suatu usaha untuk kita dapat hidup sehat, fisik dan mental, selama masa pandemi Covid-19 yang telah memaksa kita semua selama beberapa bulan untuk "stay at home" dan melakukan "social distancing".
Kita merasa ada sesuatu yang hilang. Kita jadinya merindukan kehidupan sosial yang biasa, yang normal. Nah, bisa jadi "social life bubble" adalah suatu cara untuk kita bisa dengan relatif aman dan dalam batas tertentu memenuhi kerinduan kita itu sementara wabah Covid-19 belum tertanggulangi.
"Ketika wabah Covid-19 memaksa kita untuk tinggal di rumah saja, dan menjalankan 'social distancing', ternyata kita menemukan diri kita tetaplah organisme sosial yang membutuhkan interaksi sosial fisik dan non-fisik."
☆ ioanes rakhmat
17 Juni 2020
02:00 WIB
_______________________________________
MENENGOK VIETNAM, KAMBOJA, THAILAND, DAN MALAYSIA
15 Juni 2020
Negara VIETNAM berpenduduk 97 juta orang, rata-rata dari golongan ekonomi menengah ke bawah. Sistem kesehatan umum juga tak terlalu maju. Tersedia 8 tenaga dokter untuk 10.000 orang (⅓ rasio di Korsel, menurut data Bank Dunia).
Tap atau ketuk gambarnya untuk dapatkan ukuran dan huruf yang lebih besar!
Pada 23 Januari 2020 kasus terinfeksi pertama (2 orang) terdeteksi pada seorang warga China yang berdiam di Vietnam, yang dikunjungi ayahnya dari Wuhan, China. Dua orang ini segera dibawa ke rumah sakit Cho Ray, Ho Chi Minh City. Si anak sembuh 29 Januari; si ayah 12 Februari.
Besoknya, otoritas penerbangan Vietnam membatalkan semua penerbangan dari dan ke Wuhan.
Vietnam punya pengalaman kaya dalam menangani wabah-wabah penyakit menular, seperti SARS 2002 hingga 2003, lalu influenza avian. Pengalaman ini membantu pemerintah dan masyarakat untuk lebih siap terhadap wabah Covid-19.
Penduduk Vietnam jauh perlu dihargai menyangkut sikap mereka terhadap penyakit-penyakit infeksius dibandingkan mungkin dengan negara-negara maju yang berkelimpahan yang tak pernah melihat penyakit infeksius seperti Eropa, Inggris, dan AS.
"Orang Vietnam memahami bahwa hal-hal yang terkait wabah yang menular perlu dipandang serius dan menjalankan panduan-panduan dari pemerintah tentang bagaimana mencegah infeksi untuk tidak menular", demikian kata Pham Quang Thai, wakil kepala Infection Control Department, National Institute of Hygiene and Epidemiology di Hanoi.
Video di atas memberi gambaran ringkas bagaimana Vietnam memberi respons cepat di awal masuknya wabah Covid-19 ke negeri ini. Silakan ditonton sebelum membaca uraian selanjutnya di bawah ini.
Segera setelah 2 kasus pertama itu ditemukan, 23 Januari 2020, tanpa menunggu panduan-panduan dari WHO, pemerintah Vietnam langsung mulai melakukan pembatasan-pembatasan. Mr. Pham menegaskan, "Kami tidak hanya menunggu panduan dari WHO. Kami menggunakan data yang telah kami kumpulkan dari luar dan dari dalam negeri untuk memutuskan tindakan apa yang harus kami ambil sedini mungkin."
Awal Januari pemindaian suhu tubuh sudah dilakukan terhadap wisatawan Wuhan yang tiba di bandar udara Hanoi. Karantina medis diperkuat pada gerbang-gerbang perbatasan, bandar-bandar udara, dan pelabuhan.
PM Nguyen Xuan Phuc, pada saat merayakan liburan Tahun Baru Lunar 2020, menyatakan perang terhadap virus corona. "Memerangi epidemi ini seperti memerangi musuh", katanya dalam rapat mendesak Partai Komunis, 27 Januari 2020. Tiga hari kemudian, sang PM membentuk Komite Pengarah Nasional Pengendalian Wabah. Harinya bertepatan dengan WHO mendeklarasikan Covid-19 sebagai keadaan darurat kesehatan publik yang harus menjadi perhatian dunia.
1 Februari 2020 Vietnam menyatakan negara sedang dalam wabah nasional sementara kasus positif yang tercatat baru 6 saja di seluruh negeri. Semua penerbangan antara Vietnam dan China dihentikan. Lalu dilanjutkan dengan penundaan visa bagi warganegara China keesokan harinya.
Selama bulan Februari berjalan, pembatasan kunjungan wisata, karantina wisatawan, penundaan visa, diperluas sampai mencakup negara-negara di luar China, seperti Korsel, Iran dan Italia. Akhirnya, semua orang asing dilarang masuk ke Vietnam mulai akhir Maret.
Lockdown diberlakukan 11 Februari 2020 pada seluruh komunitas pedesaan Son Loi yang mencakup 10.600 orang di utara Hanoi selama 20 hari karena ditemukan 7 kasus positif. Ini adalah lockdwon untuk klaster pertama yang meliputi Komunitas Son Loi, Binh Xuyên District, Vính Phúe, setelah sejumlah pekerja kembali dari suatu perjalanan bisnis di Wuhan, lalu mereka menularkan virus ke orang-orang lain yang mengadakan kontak dengan mereka. Pemerintah setempat segera menjatuhkan lockdown sampai 3 Maret 2020. Kebutuhan hidup warga dipenuhi dengan mengaktifkan toko-toko makanan yang bergerak. Masker wajah dibagikan ke mereka.
Sekolah-sekolah dan universitas-universitas (mencakup 22 juta pelajar) yang didaftarkan untuk dibuka kembali Februari 2020 setelah liburan Tahun Baru Lunar diperintahkan ditutup kembali, dan baru dibuka kembali Mei 2020.
Segera akan terlihat, kecepatan Vietnam dalam bertindak adalah kunci suksesnya. Tindakan yang tegas, cepat dan dini dengan efektif mencegah penyebaran virus lewat komunitas-komunitas dan membuat 16 kasus positif per 13 Februari tetap bertahan selama 3 minggu. Infeksi baru tidak ditemukan.
Tetapi gelombang kedua infeksi menerjang Maret 2020 yang dibawa oleh warga Vietnam yang baru kembali dari luar negeri. Segera "contact tracing" diadakan, lalu orang-orang yang sudah mengadakan kontak dikarantina selama 2 minggu.
Ketika RS Bach Mai di Hanoi (salah satu yang terbesar di Vietnam) berubah jadi suatu "hotspot" coronavirus dengan berlusin-lusin kasus terinfeksi di Maret 2020, segera pejabat negara memberlakukan lockdown terhadap fasilitas kesehatan tersebut. "Tracking" dijalankan terhadap hampir 100.000 orang yang berhubungan dengan rumah sakit tersebut, termasuk para pekerja medis, pasien-pasien, pengunjung dan kontak-kontak lain yang dekat mereka. Testing juga dilakukan terhadap 15.000 yang terkait dengan rumah sakit tersebut, termasuk 1.000 pekerja medis. "Contact tracing" dilakukan bukan cuma kepada kontak-kontak langsung dari orang-orang yang terinfeksi, tapi juga kepada kontak-kontak yang tidak langsung.
Usaha untuk membangkitkan kesadaran penduduk juga dilakukan lewat pengeras suara, poster-poster di jalan-jalan, media sosial dan pers.
Pada akhir Februari 2020 kementerian kesehatan merilis sebuah video musik yang menawan dan mudah diingat, "catchy", yang digubah berdasarkan nyanyian populer Vietnam yang mengajar orang untuk mencuci tangan dengan benar, juga kegiatan higienis lain selama wabah. Ini dikenal sebagai "Nyanyian Cuci Tangan" yang segera menjadi viral, dengan 48 juta views di Youtube.
Kata Mr. Pham kepada National Institute of Hygiene and Epidemiology, "Kami memiliki suatu sistem kesehatan yang kuat: 63 CDC (Center for Disease Control) provinsi; lebih dari 700 CDC tingkat distrik, lebih dari 11.000 pusat-pusat kesehatan masyarakat komunal. Semuanya dikerahkan untuk "contact tracing" di saat pandemi ini."
Lockdown diterapkan di seluruh negeri setelah muncul wabah Covid-19 di provinsi Nam Dinh. Pengumuman disampaikan 31 Maret 2020 bahwa sejak 1 April Vietnam menerapkan isolasi nasional selama 15 hari.
Pada Senin, 1 Juni 2020, dilaporkan ada 2 kasus positif baru, yang berasal dari luar Vietnam, termasuk sejumlah warganegara Vietnam yang baru pulang dari Mexico yang langsung dikarantina begitu tiba.
Sebagai suatu negara di Asia Tenggara, sudah 53 hari terakhir ini Vietnam tak memiliki kasus positif terinfeksi yang ditularkan oleh sesama penduduk. Dari total kasus terinfeksi, 331 kasus, 90% sudah sembuh. Ini berarti, pasien yang masih dirawat tinggal 33 orang. Pasien yang mati juga tidak ada (=0).
Lockdown nasional diangkat oleh pemerintah Vietnam pada 5 Juni 2020. Pelonggaran lockdown sejak 23 April sudah mulai dilaksanakan. "Social distancing" ditiadakan akhir April 2020. Selama 40 hari sejak lockdown diangkat, tidak dijumpai satu pun kasus positif baru. Bisnis dan sekolah dibuka kembali. Kehidupan kembali normal secara bertahap.
Dr. Guy Thwaites, kepala Oxford University Clinical Research Unit di Ho Chi Minh City, membenarkan tidak adanya kasus baru di Vietnam.
Sampai dengan 13 Juni 2020, Vietnam memiliki 334 kasus, dengan 323 dari antaranya orang sudah sembuh, dan tidak ada satupun orang yang mati karena Covid-19.
Mengapa Vietnam berhasil? Ya, karena: 1) respons cepat dan dini dari pemerintah; 2) "contact-tracing" yang kuat dan cermat; 3) karantina medis yang kuat; 4) "testing" yang luas dan cermat; 5) komunikasi publik yang efektif dalam menyampaikan protokol kesehatan.
Bukan itu saja. Dalam Mei 2020, Vietnam mengumumkan bahwa vaksin Covid-19 telah mereka kembangkan setelah para ilmuwan berhasil membuat antigen coronavirus dalam lab. Vaksin Vietnam ini dikembangkan dengan kerjasama para ilmuwan dari VABIOTECH di Hanoi dan Bristol University.
Vaksin tersebut akan diuji lebih lanjut ke hewan-hewan lalu dievaluasi untuk keamanan dan kemanjurannya sebelum proses produksi dijalankan. Menurut National Institute of Hygiene and Epidemiology, diperlukan sedikitnya 12 hingga 18 bulan untuk mengembangkan vaksin yang dapat bekerja dengan aman pada manusia.
Uji praklinis dilakukan pada tikus-tikus dengan menginjeksikan vaksin dalam banyak cara dan beranekaragam dosis antigen. Setelah 10 hari, 50 tikus berada dalam kondisi sehat dan dimonitor dengan cermat untuk menemukan respons imun. Setelah didapatkan hasil positif pada respons imun dan produksi antibodi, para peneliti akan mengembangkan vaksin-vaksin yang lengkap dan membangun teknologi produksi dalam skala yang besar.
Video Vietnam di masa pasca-lockdown!
Saya lampirkan di atas ini dua video yang menggambarkan situasi di jalan raya dan kehidupan di Vietnam pasca-lockdown. Nyaris sama dengan situasi di Indonesia.
Bedanya, PSBB (suatu versi lunak "lockdown") di Indonesia sudah akan mulai dilonggarkan sementara kurva kasus aktif masih menanjak terus. Sekali lagi saya mau katakan, test PCR yang sedang gencar dijalankan (dalam batas kuota yang disediakan per wilayah) akan menemukan makin banyak orang Indonesia yang telah terinfeksi (simtomatik, asimtomatik, dan prasimtomatik). Ini akan membuat kurva kasus positif harian kumulatif akan terus menanjak, tanpa diketahui kapan akan mencapai puncaknya lalu mulai melandai. Berbarengan dengan itu, CFR atau "death rate" akan menurun. Namun, "new cases" terus menanjak juga pasti karena orang-orang yang aktual terinfeksi bertambah terus, lepas dari ada atau tidak adanya test PCR, antara lain lewat penularan komunitas.
Jika kurva kasus positif ini belum melandai, tetapi PSBB sudah dilonggarkan atau tak berjalan lagi, Indonesia akan masuk ke dalam bencana besar Covid-19, kecuali jika Indonesia sudah memiliki suatu vaksin yang aman dan manjur.
Kurva Indonesia saya berikan di bawah ini sebagai pembanding yang membuat kita risau, tentu saja. Indonesia jauh terlambat bertindak, dan akibatnya yang negatif kini sangat besar dan akan makin membesar.
Di akhir Januari (menyusul temuan 2 kasus infeksi pertama, 23 Januari) Vietnam telah memberi respons dini dan cepat.
Bagaimana Indonesia? Negeri kepulauan ini sangat terlambat bertindak. Respons baru mulai ditata setelah dua kasus pertama terdeteksi pada 2 Maret 2020, setelah sekian minggu lamanya beberapa politikus mengklaim bahwa Indonesia bebas virus corona karena Tuhan melindungi bangsa dan negara ini yang banyak berdoa, bahkan mereka mengundang para turis untuk masuk ke Indonesia. Padahal, faktanya Indonesia waktu itu tidak memiliki "test kits" yang dapat diandalkan! Saya prihatin betul, dan sungguh berharap kekeliruan ini tidak akan terulang. I am very concerned, expecting that it would not happen again!
Di saat lockdown yang melumpuhkan ekonomi Vietnam diangkat, ketakutan akan datangnya serangan infeksi gelombang kedua muncul dalam pikiran setiap orang. Ketakutan ini ditemukan di mana-mana. Ketika ini terjadi, epidemi akan muncul kembali ke permukaan dengan kekuatan yang baru, yang menyebabkan terulangnya infeksi-infeksi baru yang terus meningkat, yang akan menenggelamkan sistem kesehatan umum, akibatnya lockdown harus dilakukan kembali.
https://vietnaminsider.vn/should-we-worry-about-second-wave-of-coronavirus/amp/
Wakil WHO untuk Vietnam, Kidong Park, menegaskan bahwa, meski Vietnam sudah menghancurleburkan coronavirus, "pertempuran melawan Covid-19 tetap berlangsung terus, dan gelombang berikutnya selalu mungkin terjadi sementara pandemi global masih terus dilaporkan. Vietnam harus tidak kehilangan pegangan dan kendali."
Vietnam pasca-lockdown juga menghadapi masalah-masalah berat karena krisis-krisis ekonomi. Ini gambaran sekilasnya. Vietnam yang 6% GDP-nya diperoleh dari turisme, membuat masa depan negeri ini tidak menentu, khususnya ketika tidak ada seorang pun yang tahu pasti kapan perbatasan-perbatasan harus dibuka sepenuhnya kembali. Menurut ILO, April 2020, sedikitnya ada 10 juta orang Vietnam yang dapat kehilangan pekerjaan atau mengalami pengurangan pendapatan dalam kwartal kedua 2020. IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Vietnam di 2020 akan mencapai hanya 2,7%, turun jauh dari tahun sebelumnya, 7%.
Ekonom Vietnam yang berbasis di Hanoi, Nguyen Van Trang, menyatakan bahwa Vietnam kini sedang menghadapi risiko-risiko eksternal, dan krisis-krisis yang ditimbulkan epidemi Covid-19 telah menambah jumlah tunawisma dan orang yang kelaparan, dan memunculkan ancaman-ancaman perdagangan manusia dan ekploitasi tenaga kerja (terhadap orang Vietnam yang rentan). Walau demikian, katanya, "Daya tahan domestik besar dan kuat. Bagian terbesar populasi telah bertahan hidup selama masa-masa sulit di waktu perang. Jadi mereka akan pulih kembali dengan cepat."
https://amp.theguardian.com/global-development/2020/may/06/vietnam-crushed-the-coronavirus-outbreak-but-now-faces-severe-economic-test
Selain Vietnam, ada beberapa negara lain di Asia Tenggara yang berhasil membuat jumlah kasus positif dan jumlah kematian rendah, seperti Thailand, Kamboja dan Malaysia.
Tentang keadaan itu, Prof. Dale Fisher dari National University of Singapore dan ketua Global Outbreak Alert and Response Network, WHO, menyatakan bahwa KESADARAN PUBLIK menjadi kunci utama di dalam negara-negara di Asia Tenggara yang relatif sukses menangani Covid-19.
Pemerintah di negeri-negeri itu kuat dan menyampaikan "pesan-pesan yang jelas" sehingga publik tidak bingung. Jika pemerintah lemah, dan publik bingung sehingga mereka tidak tahu pasti untuk melakukan apa dan kepada siapa mereka harus percaya, maka situasi semacam ini "melegitimasi ketidaktahuan". Begitu kata Fisher.
Selain itu, karena pemerintah-pemerintah telah "bertindak cepat", dan sebagian karena telah belajar dari wabah SARS di tahun 2003 sehingga sudah membangun sistem kesehatan umum yang sudah mapan, maka departemen-departemen kesehatan di banyak negara Asia Tenggara TELAH BERHASIL menghindari "ledakan penularan komunitas" yang telah terjadi di negara-negara lain.
Di KAMBOJA, 2.900 pekerja medis telah dilatih dan dikerahkan selama Januari dan Februari 2020. Mereka menjalankan deteksi dan "contact tracing" yang cepat dan agresif. Hal ini dikatakan Dr. Li Ailan, wakil WHO di Kamboja.
Ya, ada kesalahan yang sempat dilakukan Hun Sen, pemimpin otoriter Kamboja, yang telah membuat publik cemas oleh sikapnya yang meremehkan wabah Covid-19 selama tahap-tahap awal epidemi.
Tentu saja sudah menjadi pengetahuan kita bersama bahwa banyak pemimpin negara-negara di dunia memanfaatkan pandemi Covid-19 dan dampak-dampaknya untuk kepentingan politik mereka. Ini terjadi bukan saja di negara-negara besar dan maju seperti AS, Russia, Inggris, dll, tetapi juga di negara-negara Asia Tenggara, seperti Pakistan, India dan Thailand. Kita tengok sekilas satu negara saja, Thailand.
Covid-19 membawa Thailand ke dalam krisis-krisis sistem kesehatan publik nasional dan ekonomi; juga berdampak serius pada politik. Epidemi Covid-19 dijadikan momen krusial oleh PM Prayuth Chan-ocha untuk menunda reshuffle kabinet yang perlu dilakukan dan memperpanjang keadaan darurat negara. Meski dampak politik ini menimbulkan ketidakpastian politik, PM Prayuth (seorang jenderal militer) makin kuat memegang kekuasaan.
Selain masalah politik, Bangkok harus menghadapi masalah-masalah lain juga, seperti musim kering, perlambanan ekonomi dan tingginya korupsi. Sementara problem-problem ini makin membara, wabah Covud-19 dijadikan pengalih perhatian ("distraction") yang berguna. Epidemi ini memberi Prayuth "perisai yang sangat dibutuhkan dan rehat sejenak dari kesulitan".
Virus corona menular cepat di populasi yang diabaikan, seperti para narapidana, dan para migran yang tak terdokumentasi. Para migran dan kelompok-kelompok rentan lain sudah menghadapi sejumlah tantangan bahkan sebelum epidemi, karena status mereka, kendala bahasa, stigma sosial, dan diskriminasi. Hal itu dikatakan Thomas Davin, wakil UNICEF di Thailand.
Katanya juga, "adalah tanggungjawab kolektif kami untuk menopang kalangan yang paling rentan, lepas dari status etnis dan legal mereka, serta untuk memastikan bahwa mereka aman dan selamat dan memiliki akses ke pelayanan kesehatan untuk bertahan hidup dan tetap sehat."
Thailand termasuk negara pertama di luar China yang mendeteksi infeksi virus corona pada pertengahan Januari 2020. Sementara ini, di Thailand lebih dari satu juta relawan kesehatan tingkat desa juga membantu memonitor persebaran virus corona di komunitas-komunitas. Sejauh ini, Thailand mencatat 3.000 kasus, dan mati 57 orang.
Sementara sudah mulai dilonggarkan, lockdown nasional di Thailand akan diangkat sepenuhnya awal Juli 2020
Luar biasa, seperti Vietnam, Thailand juga adalah negara di Asia Tenggara yang ikut perlombaan global dalam mengembangkan vaksin Covid-19. Pada akhir Mei 2020, uji praklinis vaksin Thailand pada 13 monyet rhesus (beruk) telah dilakukan, menyusul keberhasilan uji praklinis pada tikus-tikus. Senin, 25 Mei 2020, peneliti utama pengembangan vaksin Thailand ini menyatakan bahwa vaksin akan siap di tahun 2020. Diharapkan, vaksin buatan Thailand ini akan lebih murah dibandingkan vaksin Amerika atau vaksin Eropa.
Vaksin Thailand ini dikembangkan Chula Vaccine Research Center, Universitas Chulalongkorn, yang bekerjasama dengan University of Pennsylvania, AS, dengan menggunakan teknologi berbasis mRNA, sejenis material genetik yang tak pernah sebelumnya digunakan untuk membuat suatu vaksin. Uji klinis ke manusia akan dimulai Oktober 2020.
Di MALAYSIA, kata Dr. Fifa Rahman (bekerja di Drugs for Neglected Diseases), jauh-jauh hari sejak Desember 2019, sudah diadakan rapat-rapat untuk mempersiapkan respons dan meninjau ulang penanganan negara terhadap pandemi.
Reagen-reagen yang diperlukan untuk test-test diagnostik sudah dipesan jauh sebelumnya, dan rencana-rencana sudah disusun untuk mereorganisasi rumah-rumah sakit jika suatu wabah besar pecah. Semua orang yang didiagnosis positif terinfeksi dimasukkan ke rumah sakit, bahkan juga mereka yang asimtomatik.
Negara-negara di Asia Tenggara tersebut tidak melakukan testing massal seluas yang dilakukan Korsel. Mereka fokus pada individu-individu yang berisiko tinggi atau pada testing massal yang ditargetkan pada bangunan-bangunan dan lingkungan yang berdekatan di mana kasus-kasus positif sudah ditemukan.
TETAPI BISA TERJADI, kasus yang rendah mencerminkan testing yang sedikit dilakukan. Makin luas, gencar dan agresif testing (RT dan PCR) dilakukan, maka kasus positif akan terus meningkat dan "death rate" (atau CFR) akan menurun.
Di Kamboja, 17.000 orang telah ditest sejauh ini, dan dari test ini ditemukan 126 kasus positif, kebanyakan terkait dengan kunjungan ke luar negeri. Jadi, sangatlah mungkin ada kasus-kasus yang tidak terdeteksi. Masih untung, rumah-rumah sakit di sana tidak membludak, seperti di sejumlah wilayah di Indonesia. Sejauh ini, Kamboja melaporkan tidak ada kematian.
TETAPI ADA KESALAHAN yang telah dilakukan. Di Singapura, misalnya, pekerja-pekerja migran yang diabaikan dan dibayar murah, yang tinggal di asrama-asrama yang luar biasa padat, menjadikan mereka paling banyak yang terinfeksi dari 40.197 kasus sekarang ini.
Di Malaysia juga terjadi lonjakan kasus setelah ada acara pertemuan besar keagamaan di sebuah masjid besar dekat Kuala Lumpur, setelah usaha mencegah pertemuan ini gagal.
Sepenuhnya, respons Malaysia terhadap wabah sejak semula dipimpin para pakar kesehatan, dan bukan oleh para politikus. Ketika Menteri Kesehatan menyarankan lewat TV bahwa minum air hangat akan menetralisir virus, dengan cepat komentar-komentarnya ini ditolak oleh Dr. Noor Hisham, direktur kesehatan umum. Begitu juga, di saat wakil Menkes Malaysia, Noor Azmi Ghazali, tertangkap kamera tidak mentaati aturan-aturan lockdown yang ketat, dia didenda. Ini menyampaikan pesan-pesan yang kuat kepada masyarakat. Demikian kata Fifa Rahman.
Pembatasan di Malaysia sangat ketat. Hanya 1 orang per keluarga yang diizinkan keluar rumah untuk berbelanja kebutuhan hidup sehari-hari. Olah raga harian juga dilarang.
Tambahan pula, udara yang panas dan kelembaban udara yang tinggi dapat memperlambat penularan virus, meski para ahli berbeda pendapat tentang ini.
Profil hidup masyarakat pedesaan, seperti di Kamboja, dapat berpengaruh pada penularan. Event-event besar yang berisiko tinggi untuk penularan tidak biasa diadakan di sana. Penduduk yang kebanyakan berusia muda di sejumlah negara juga dapat berarti bahwa penduduk menjadi kurang rentan terinfeksi virus.
Faktor-faktor yang telah disebut dalam dua paragraf di atas, menurut para pakar, tidak dapat menjadi alasan untuk tidak atau kurang memproteksi suatu negara ketika semua kegiatan bisnis dibuka kembali tahap demi tahap.
Di Bangkok, misalnya, yang sempat menikmati sebentar udara yang bersih selama lockdown, kini jalan-jalan mulai ramai kembali oleh kendaraan. Pasar-pasar dibuka kembali walau pada meja-meja dipasang layar-layar plastik, dan masker wajah tetap dipakai, dan suhu tubuh tetap dipindai.
Jelas, di saat negara-negara berencana untuk melonggarkan larangan perkunjungan, dan membangun kembali ekonomi, tim-tim kesehatan menyadari tidak ada ruang untuk picik berpuas diri.
"Kok Indonesia bisa kalah jauh dalam capaian menanggulangi epidemi Covid-19 dibandingkan Vietnam? Di manakah putera-puteri bangsa yang mumpuni, yang berilmu, yang berakal, dan bermartabat, kini berada?"
☆ ioanes rakhmat
Senin, 15 Juni 2020
Pk. 02:35 WIB
https://mobile.reuters.com/article/amp/idUSKBN23F00Z
https://www.theguardian.com/world/2020/jun/14/thailand-malaysia-vietnam-how-some-countries-kept-covid-at-bay
https://edition.cnn.com/2020/05/29/asia/coronavirus-vietnam-intl-hnk/index.html
https://www.voanews.com/east-asia-pacific/coronavirus-has-thailand-putting-out-multiple-fires-once
https://www.voanews.com/covid-19-pandemic/thailand-enters-global-race-vaccine-trials-monkeys
https://www.bangkokpost.com/thailand/general/1925868/govt-eyes-july-1-lockdown-end
http://en.bocongan.gov.vn/news-events/nam-dinh-police-drastically-prevent-covid-19-t6678.html
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Template:COVID-19_pandemic_data
_______________________________________
OPERASI TRANSPLAN PARU PASIEN COVID-19 DI CHICAGO
13 Juni 2020
Tim dokter bedah di Northwestern Memorial Hospital, Chicago, AS, Jumat, 12 Juni 2020, telah melakukan operasi transplan satu set paru baru ke seorang perempuan muda (usia 20-an) yang paru aslinya telah rusak akibat ARDS Covid-19. Tim dokter ini dipimpin oleh Ankit Bharat, MD, kepala bedah thorax dan direktur bedah Northwestern Medicine Lung Transplant Program. Tidak banyak pasien Covid-19 yang menerima transplan paru, di China, Eropa dan AS.
Operasi transplan ini dilakukan setelah sebuah ventilator dan sebuah mesin jantung-paru (Extra-Corporeal Membrane Oxygenation atau ECMO) sebagai sebuah mesin penopang kehidupan dipasang ke pasien selama 6 minggu.
Kondisi kesehatan si pasien sangat bagus sewaktu belum pindah dari North Carolina ke Chicago. Ketika sudah dimasukkan ke rumah sakit di Chicago tersebut akhir April 2020, kesehatannya dengan cepat berubah sangat buruk, menjadi pasien yang paling sakit.
Para dokter menunggu selama 6 minggu untuk tubuhnya membersihkan virus corona sebelum mempertimbangkan operasi transplan paru. Si pasien juga menunjukkan tanda-tanda jantung, ginjal dan lever mulai gagal bekerja.
Paru yang sehat tidak menampakkan kabut warna putih seperti pada foto di atas
Transplan paru adalah satu-satunya peluang untuk si pasien bisa bertahan hidup, karena anda memerlukan sepasang paru untuk bernafas dan mendapatkan oksigen yang masuk ke dalam darah.
Setelah dites negatif virus corona, segera si pasien dimasukkan ke daftar tunggu untuk operasi transplan paru. Seringkali, sementara menunggu donor yang cocok (golongan darah cocok, ukuran paru pas), banyak pasien mati. Dalam 2 hari, tim dokter berhasil mengidentifikasi donor yang tepat.
Foto paru asli si pasien yang yang sudah rusak karena Covid-19. Tap atau ketuk gambarnya untuk dapat ukuran besar
Prosedur operasi transplan paru yang berlangsung 10 jam memang menantang karena virus corona telah membuat sepasang paru si pasien penuh dengan lubang dan nyaris menyatu dengan dinding dada. Para dokter mengantisipasi kesembuhannya yang menyeluruh. 85% sampai 90% dari pasien-pasien penerima transplan paru dapat hidup 1 tahun setelah operasi.
Namun, setelah operasi berhasil masih ada masalah penolakan oleh sistem imun tubuh (yang harus diatasi dengan obat-obatan immunosupresan) terhadap organ paru transplan, dan masalah infeksi (yang mudah terjadi karena sistem imun yang ditekan, yang membuat virus, bakteri, jamur dan patogen lain dapat mudah menginfeksi).
"Covid-19 itu bukan flu biasa atau flu musiman. Masih belum dapat dijawab, mengapa pada sebagian pasien penyakit ini mematikan, dan pada sebagian lagi hanya menimbulkan simtom ringan."
13 Juni 2020
https://www.forbes.com/sites/brucelee/2020/06/12/covid-19-coronavirus-leads-to-double-lung-transplant-for-woman-in-her-20s/#5397903ce070
https://www.nbcnews.com/health/health-news/after-covid-19-destroyed-her-lungs-young-chicago-woman-receives-n1229841
_______________________________________
NEGERI KIWI BEBAS VIRUS CORONA!
10 Juni 2020
NEW ZEALAND kini telah bebas coronavirus, dan pengumuman kembali ke kehidupan normal dalam segala segi telah disampaikan PM Ms. Jacinda Ardern, pk. 24:00, Senin, 8 Juni 2020.
Lockdown diangkat dua jam setelah pejabat-pejabat kesehatan mengonfirmasi bahwa NZ kini sudah tidak memiliki kasus aktif lagi setelah satu pasien terakhir sembuh, dan setelah 17 hari terakhir tak muncul kasus baru, di hari pertama tak ada lagi kasus aktif, dan tak ada kematian lagi karena Covid-19.
Sang PM memberitahu bahwa dia di rumahnya spontan berdansa sebentar bersama puterinya yang masih muda setelah mendengar berita yang menggembirakan tersebut.
Warga NZ yang terinfeksi coronavirus berjumlah 1504, termasuk 22 orang yang telah mati. 300.000 testing telah dijalankan. Selain itu, "contact tracing" dijalankan dengan luas dan cermat.
Setelah lockdown diangkat, restriksi ketat tentu saja masih diberlakukan hanya di kawasan perbatasan negara. Dengan Australia, negara tetangga NZ, ada rencana NZ untuk menjalankan "travel bubble" (atau "travel bridges" atau "corona corridors"), yaitu keterbukaan dan kebebasan untuk para turis saling berkunjung pp dalam kawasan negara-negara tetangga yang telah berhasil menanggulangi Covid-19. Orang-orang yang ada dalam "gelembung wisata" bebas bergerak ke mana saja, tapi orang yang berada di luar gelembung tidak bisa masuk. Namun Australia tidak mendukung rencana NZ ini. Alhasil, wajah sang PM Jacinda Ardern menjadi merah.
Sejak awal, strategi NZ bukan cuma mau mengendalikan atau memperlambat dan menekan penyebaran coronavirus, tapi pertama-tama mau "memusnahkan" atau "menyingkirkan" coronavirus dari negeri kiwi itu yang berpenduduk 5 juta orang. Ini adalah suatu "explicit eliminating strategy" yang sebelumnya dinilai banyak pakar sebagai sesuatu yang tak mungkin dicapai.
Untuk menggolkan tujuan itu, di bawah kepemimpinan yang tepat PM Jacinda Ardern yang cakap, empatetis, serius, berani, cepat dan tangkas, dan jujur, lockdown diberlakukan dengan sangat ketat (mulai 25 Maret), sekian waktu setelah kasus pertama ditemukan pada akhir Februari 2020. Lockdown ketat berlangsung 4 minggu, setelah itu tahap demi tahap mulai dilonggarkan.
Lockdown dijalankan dengan dukungan dan kerjasama sebagai satu tim "5 juta warga" yang semuanya memikul tugas untuk menjaga dan memelihara kesehatan warga satu sama lain. Semua protokol kesehatan selama lockdown dijalankan penduduk dengan berdisiplin.
PM Jacinda Ardern mengingatkan, meski kehidupan segera kembali normal, kewaspadaan dan kehati-hatian tetap harus dipertahankan terhadap kemungkinan muncul kasus terinfeksi baru, "the potential return of the virus".
Katanya, "elimination (of the virus) is not a point in time; it is a sustained effort". "Melenyapkan virus bukanlah hanya untuk saat ini, tapi suatu usaha yang masih harus dilanjutkan."
Karena itu, penduduk tetap diminta mencatat setiap kontak yang mereka lakukan, makan makanan yang bergizi, dan tinggal di rumah kalau merasa sedang sakit. Boleh saya tambah deh: makan kiwi yang banyak.
Dalam suatu konferensi pers, sang PM menyatakan NZ kembali ke normal "di mana kehidupan balik lagi senormal-normalnya yang dapat dirasakan di saat pandemi global masih berlangsung."
WHO memuji keberhasilan NZ. Hanya ada segelintir negara yang sedang menuju keberhasilan seperti NZ.
Mantan PM New Zealand, Helen Clark, menegaskan bahwa NZ berhasil mengeliminasi coronavirus karena "kepemimpinan yang jelas, dan publik yang ikut terlibat penuh. Selanjutnya, prinsip-prinsip inklusi, daya tahan dan kesinambungan kini harus memandu usaha-usaha pemulihan di NZ dan di tingkat global."
Kini NZ, sebagai suatu negara pulau di Samudera Pasifik, memasuki tahap pemulihan ekonomi dari resesi yang ditimbulkan lockdown. Ini juga bukan hal yang mudah.
"Ingin makan buah kiwi aaah. Duuh, gak tersedia di rumah. Kiwi, kiwi, di manakah kau kini berada? Kau membuatku depresif!"
☆ ioanes rakhmat
10 Juni 2019
https://www.nzherald.co.nz/nz/news/article.cfm?c_id=1&objectid=12338194
https://www.businessinsider.com/jacinda-ardern-dance-for-new-zealand-beating-coronavirus-2020-6
https://www.abc.net.au/news/2020-06-10/nz-travel-bubble-delayed-coronavirus-state-border-restrictions/12338458
https://www.smithsonianmag.com/travel/five-things-know-about-travel-bubbles-180974983/
0 Komentar untuk "KRONIK COVID-19 INTERNASIONAL (Bagian 2)"